Banjir Berulang, Saatnya Tinjau Ulang Akar Masalah

 



Noor Hidayah


#Tangsel — Hujan deras yang mengguyur wilayah Tangerang Selatan dan Kota Tangerang pada awal April lalu kembali memicu genangan di sejumlah titik. Wilayah seperti Pondok Aren dan Ciledug terendam, mengulangi kisah lama yang terus berulang setiap musim hujan tiba (news.detik.com, 6/4/2025).


Fenomena ini menunjukkan bahwa banjir tak lagi sekadar bencana alam, melainkan telah menjadi bagian dari rutinitas yang nyaris dianggap biasa. Meski berbagai program penanggulangan telah dicanangkan, hasilnya belum menunjukkan perubahan berarti.


Masalah Sistemik, Bukan Sekadar Teknis


Banjir bukan hanya akibat curah hujan tinggi atau sistem drainase yang buruk, melainkan cerminan dari lemahnya tata kelola dan orientasi pembangunan yang tidak berpihak pada kepentingan rakyat dan kelestarian lingkungan.


Dalam sistem yang berorientasi pada kapitalisme, negara seringkali hanya berperan sebagai fasilitator kepentingan pemodal, bukan pelindung masyarakat. Lahan-lahan resapan air banyak yang dialihfungsi menjadi kawasan bisnis atau permukiman, tanpa memperhatikan dampaknya terhadap lingkungan dan masyarakat sekitar.


Bahkan, pernyataan yang menyepelekan pembukaan lahan sawit sebagai tidak berbahaya menjadi preseden buruk dalam konteks pengelolaan ruang yang berkelanjutan. Padahal, para ahli telah berulang kali mengingatkan bahwa deforestasi adalah salah satu penyebab utama bencana ekologis, termasuk banjir.


Islam Solusi Tuntas Masalah Banjir


Islam memandang bahwa negara memiliki tanggung jawab penuh dalam menjaga keselamatan rakyat. Perlindungan ini tidak hanya berlaku saat bencana terjadi, tetapi dimulai dari perencanaan pembangunan yang matang dan berpihak pada kemaslahatan bersama.


Dalam sejarah peradaban Islam, para khalifah (pemimpin negara) membangun infrastruktur seperti bendungan untuk mengatur aliran air dan mencegah banjir. Kebijakan lingkungan dilakukan secara terstruktur, termasuk pembersihan sungai secara berkala dan pemberian sanksi terhadap pihak yang mencemari lingkungan.


Islam juga mengatur kepemilikan lahan dengan prinsip keadilan. Kawasan resapan air dan lahan konservasi tidak boleh dimiliki secara privat, melainkan harus dikelola oleh negara untuk kepentingan umum. Prinsip ini bertujuan menjaga keseimbangan antara pembangunan dan kelestarian alam.


Banjir tidak dapat diselesaikan dengan pendekatan pragmatis semata. Diperlukan perubahan paradigma dan sistem yang mendasarinya. Islam menawarkan solusi komprehensif yang menyentuh akar persoalan—yakni melalui pengelolaan ruang, lingkungan, dan sumber daya alam—yang berlandaskan pada syariat dan nilai kemaslahatan. 


Sudah saatnya kita berhenti menganggap banjir sebagai keniscayaan. Kita butuh keberanian untuk berubah dan menerapkan sistem yang menjamin keberlanjutan lingkungan serta keselamatan generasi kini dan mendatang, yakni sistem Islam kafah. Wallahualam bissawab.[]

Posting Komentar

0 Komentar