Belajar dari Islam Menghadapi Politik Perang Dagang AS vs Cina

 


Shazia Alma

 

#TelaahUtama — Perang dagang internasional dipicu Presiden AS, Donald Trump yang akan menetapkan tarif resiprokal global menggulir cepat bagai bola bowling siap menundukkan semua negara dunia dalam perdagangan luar negeri dengan monopoli AS. Diamati dengan seksama, pemberlakuan tarif global yang ugal-ugalan ini mendapatkan respon yang beragam dari negara-negara dunia.

 

Budi Mulyana, seorang Pakar Hubungan Internasional menyatakan setidaknya ada tiga respon beragam yang akan diterima AS. Pertama, respon konfrontasi langsung seperti yang dilakukan Cina, Kanada, dan India. Kedua, respon negosiasi yang mengedepankan diplomasi kooperatif seperti yang akan dilakukan Indonesia, Jepang, ataupun Turki. Ketiga, respon dari negara-negara dengan kedekatan tertentu ke AS apakah akan sangat terdampak atau tidak terlalu terdampak.

 

Jika ditelusuri dari berbagai sumber berita, Cina adalah satu-satunya negara yang sangat percaya diri merespon AS dalam perang tarif ini. Setelah Cina resmi menetapkan tarif 125% untuk komoditas Uncle Sam, Washington membalas penerapam tarif 145% untuk barang-barang Cina ke AS (cnbcindonesia.com, 12/04/2025). Untuk menjaga keseimbangan neraca perdagangannya, pemberlakuan tarif pun dilakukan pada UE 200%, Indonesia dengan total 47%, dan negara dunia lainnya sesuai keinginan AS.

 

Cendekiawan Muslim, Ismail Yusanto menyebutkan bahwa teori proteksionisme terpaksa dianut kembali oleh AS setelah melihat kenyataan bahwa pasar bebas (liberalisasi) yang dijalankan Uncle Sam untuk negara-negara dunia menjadi ancaman bagi ekonomi nasionalnya. Terbukti bahwa produk-produk negara pengusung kapitalisme ini tidak kompetitif dengan produk-produk Cina saat ini.

 

Tampaknya AS sudah siap dimusuhi negara-negara besar dunia. Gejolak respon ini, dikabarkan CNBC Indonesia (12/04/2025) menyebabkan kaburnya para investor Cina dari pasar AS, menurunnya nilai dolar, dan memberi pukulan pada industri otomotif negara kapitalis ini. Masih ditangguhkan untuk tiga bulan ke depan saja eskalasi panasnya perang tarif ini luar biasa membara, tak tebayangkan jika benar-benar dipaksakan AS untuk diberlakukan.

 

Perang tarif resiprokal Negeri Panda Raksasa dengan Negara Adidaya dunia ini, cukup tepat digambarkan dengan peribahasa gajah bertarung pelanduk mati di tengah. Situasi ketika pihak-pihak yang kuat atau berkuasa sedang berselisih, sementara pihak yang lemah menjadi korban atau menanggung akibatnya.

 

Indonesia yang memiliki potensi besar tetapi tak kuat menghadapi tarif Trump ini bagai pelanduk yang akan menjadi korban dalam pertarungan. Ekonom Senior, Prof. Ferry Latuhihin mengungkapkan bahwa tarif resiprokal Trump membuat ekonomi Indonesia shocking. Pemerintah harus menyadari bahwa Indonesia saat ini dalam situasi high cost economy. Membuka kran impor tanpa batasan untuk menyeimbangkan keadaan bukanlah Solusi tetapi justru akan lebih lagi menambah PHK yang lebih besar. Melakukan negosiasi dengan Trump juga bukan berarti aman karena Indonesia hanya salah satu chain dalam aktivitas ekonomi global.

 

Tersiar kabar bahwa Indonesia akan mulai mengalihkan pasar ke Eropa dan Australia (Tribunnewslive, 22/04/2025). Langkah antisipasi jika tidak tercapai kesepakatan baru dengan AS. Indonesia mempercepat penyelesaian perjanjian perdagangan bebas dengan UE (IEU-CEPA) dan melakukan pembicaraan dengan Australia untuk meningkatkan penyerapan produk Indonesia. Penjajakan pasar ekspor baru juga dilakukan ke Meksiko dan negara-negara Amerika Latin lainnya.

 

Keseriusan pemerintah dalam mencari solusi menjaga kinerja ekspor Indonesia di tengah ketidakpastian kebijakan berharap membuahkan hasil. Diversifikasi pasar ekspor ini juga menunjukkan upaya Indonesia untuk melindungi kepentingan ekonominya di tengah kepentingan perdagangan global yang terus berubah.

 

Akan tetapi, Ismail Yusanto berpendapat dalam konteks keindonesiaan, negara perlu memperhatikan sisi lain (Islam) agar mendapatkan pelajaran bahwa potensi Islam dengan SDM sekitar 2 miliar, expertise, dan juga SDA di negeri-negeri muslim akan mampu mendorong perubahan dunia Islam saat ini dari pelanduk menjadi gajah.

 

Mendukung pendapat Ismail Yusanto di atas, Muhammad Ishak (CORE Indonesia) menyebutkan bahwa sebagai bagian dari masyarakat global, Indonesia perlu mengambil sikap untuk menjadi negara unggulan yang bisa berkompetisi dengan Cina dan AS. Karena kita memiliki banyak keunggulan SDA dan demografi wilayah-wilayah perdagangan yang dikuasai negeri-negeri muslim. Negara Islam tidak menerapkan suku bunga pada industri dan bisnis, maka akan lebih jauh lebih kompetitif. Kemudian, persoalannya tinggal bagaimana memunculkan satu kepemimpinan yang kuat dengan memiliki visi untuk membentuk negara besar itu.

 

Kapitalisme menjadikan tarif perdagangan global sebagai persaingan antarnegara dengan membatasi pertumbuhan kekuatan negara lain. Motif yang paling berbahaya dalam persaingan global ini adalah perebutan sumber-sumber daya alam, pengaruh, dan menguasai pihak lain dalam segala bentuk dan jenisnya, dengan wujud penjajahan/imperialisme. (An-Nabhani, Taqiyuddin. Faktor Pendorong Persaingan Antarnegara, hal. 75)

 

Berbeda dengan kapitalisme, Islam melakukan intervensi dalam perdagangan luar negeri (foreign trade) untuk memperlakukan negara-negara lain dengan perlakuan yang sama (dengan perlakuan mereka), untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan negara, untuk mengupayakan keuntungan finansial, untuk mewujudkan mata uang, dan dalam rangka mengemban dakwah Islam (An-Nabhani, Taqiyuddin. Perdagangan Luar Negeri, hal. 654). Tentu tidak dengan jalan penjajahan karena Islam rahmatanlilalamin. Agar peristiwa perang dagang ini memberikan dampak positif terhadap umat Islam, diperlukan political will untuk menjadi Islam First sebagai prioritas kaum muslim saat ini. Wallahualambissawab.[]

 

 

 

Posting Komentar

0 Komentar