Rivalitas US vs China Kian Memanas, di Manakah Posisi Umat Islam Kini Berada? Karina Fitriani Fatimah

 



#TelaahUtama — Melalui slogan “Make America Great Again”, Donald Trump memberlakukan tarif resiprokal secara global sebagai upayanya membangun kembali kekuatan Amerika. Sekalipun kebijakan tersebut ditunda setidaknya selama 90 hari pada Kamis (10/04), negeri Tirai Bambu menjadi negara satu-satunya yang dikenakan tarif resiprokal ekstrem sebesar 245%. Dari sini kebijakan kontroversial Trump terlihat lebih mengerucut menjadi perang dagang antara dua negara ekonomi raksasa yakni US dan China. 



Perang dagang (trade war) merupakan kondisi saat dua negara atau lebih ‘melontarkan’ kebijakan proteksionis dalam perdagangan internasional dengan maksud memberi ‘tekanan’ atau kerugian ekonomi bagi pihak lawan. Berbagai upaya yang dapat dilakukan adalah dengan pemberlakuan tarif dagang lebih besar, pembatasan kuota ekspor-impor hingga embargo ekonomi. Hal tersebut dilakukan tidak lain dengan tujuan menaikkan harga barang yang berasal dari negara pesaing sehingga masyarakat pribumi akan beralih pada produk dalam negeri. Tindakan pembatasan perdagangan yang diberlakukan Trump melalui kenaikan tarif resiprokal dan berlanjut menjadi perang tarif US vs Tiongkok inilah yang kita katakan sebagai perang dagang USA dan China. 


Perang dagang antara Washington dan Beijing sesungguhnya bukanlah hal baru. Pemerintahan Trump pertama (2017—2021) sudah memulai konflik ekonomi dengan negeri Tirai Bambu tersebut. Pada Januari 2018, AS di bawah kepemimpinan Trump memberlakukan tarif tinggi untuk produk panel surya dan mesin cuci asal China. Dari sini Trump mengenakan tarif atas impor panel surya dan mesin cuci masing-masing sebesar US$8,5 miliar dan US$1,8 miliar. Kebijakan tersebut kemudian segera dibalas oleh China dengan mengenakan tarif awal untuk komoditas sorgum asal AS. 


Pada 22 Maret 2018, Trump menandatangani memorandum yang ditujukan kepada Perwakilan Dagang Amerika agar menyelidiki secara menyeluruh apakah kebijakan dagang Tiongkok diskriminatif dan menghambat perekonomian Amerika. Lebih jauh Trump melampirkan ‘bukti’ kecurangan China ke World Trade Organization (WTO) pada hari yang sama. Keesokan harinya Trump mengenakan tarif 25% dan 10% masing-masing untuk komoditas impor baja dan alumunium asal Tiongkok. Tindakan US tersebut kemudian dibalas oleh Beijing dengan mengenakan tarif sebesar 15-25% atas 128 produk impor asal USA. 


Sepanjang tahun 2018 tindakan saling balas (tit-for-tat) perang tarif terus terjadi antara US dan China. Setiap kebijakan kenaikan tarif AS akan segera dibalas oleh pihak Tiongkok. Di tahun tersebut tercatat bagaimana Amerika telah mengenakan tarif atas produk asal China senilai US$253 miliar dan mengancam akan menaikkan tarif tambahan senilai US$257 miliar. Di sisi lain China telah mengenakan tarif tambahan sebesar US$130 miliar bagi komoditas impor asal US (bbc.com, 07/01/2019). 


Di masa jabatan pertamanya, Trump sempat menyuarakan bahwa perdagangan yang dilakukan dengan China justru menyebabkan setidaknya 60 ribu pabrik manufaktur di Amerika harus gulung tikar. Pihak Trump kala itu membeberkan bahayanya membiarkan produk Tiongkok merajalela yang berakibat pada hilangnya lapangan kerja di dalam negeri. Tidak hanya itu, US juga menekankan adanya praktik pencurian teknologi yang dilakukan China melalui proses produksi barang imitasi. Di akhir tahun 2018, Kongres AS menyebut setidaknya terdapat usaha 10 kali lebih banyak dari pihak Tiongkok untuk mengakuisisi perusahaan-perusahaan teknologi asal AS dengan nilai akuisisi mencapai US$5,8 miliar.  


Tidak bisa dipungkiri memang bahwa China cukup banyak mendapat keuntungan dari pasar bebas yang selama ini diberlakukan sang Negara Adidaya, Amerika. Tatkala produk Tiongkok merangsek masuk ke pasar US, pihaknya secara sepihak justru menutup pasarnya sendiri dari produk dan perusahaan milik USA. Praktik dagang semacam inilah yang kemudian cukup memberi pukulan telak bagi industri dan lapangan kerja Amerika. Tidak hanya itu, kemajuan teknologi Tiongkok yang kian mendominasi di era digital seperti teknologi 5G, artificial intelligence (AI), dan robot membuat US khawatir akan dominasinya sebagai pemimpin dalam penguasaan dan inovasi teknologi. 



Praktik proteksionisme yang dilakukan AS dalam perdagangannya dengan pihak Beijing tidaklah aneh. Proteksionisme yang merupakan politik perdagangan luar negeri ala kapitalisme, muncul sebagai metode sistem ekonomi kapitalis dalam melindungi industri dalam negeri dari persaingan produk luar melalui pembatasan impor. Tidak hanya sebagai alat untuk melindungi kepentingan dalam negeri, lebih jauh proteksionisme diberlakukan sebagai alat geopolitik. Tidak jarang negara-negara maju secara sengaja membatasi akses pasar bagi negara-negara berkembang melalui pemberlakuan tarif impor tinggi, hambatan nontarif hingga kebijakan subsidi dalam negeri sembari mendorong ekspor produk asal negaranya ke negara-negara tersebut. 



Proteksionisme inilah yang hingga detik ini secara gamblang menunjukkan sikap hegemonik dan egoistik negara-negara penganut sistem kapitalisme. Praktik semacam ini seringnya meminggirkan konsep keadilan dalam ‘semangat’ pasar bebas global dan justru memunculkan ketimpangan dalam sistem perdagangan internasional. Negara-negara kuat bisa secara sepihak menargetkan negara-negara lemah dalam praktik perdagangan global semacam ini. 



Di sisi lain, kebijakan tarif Donald Trump tidak bisa kita lihat hanya sebagai strategi dagang jangka pendek untuk menekan mitra dagang. Lebih jauh kebijakan tersebut bisa kita lihat sebagai upaya Negara Paman Sam untuk tetap menjadikan dirinya sebagai pemimpin kapitalisme dunia. AS secara terang-terangan menunjukkan sikapnya dalam banyak kebijakan ekonomi yang mengarah kepada proses pembangunan kembali kekuatan industri dalam negeri (reindustrialication). Hal tersebut tidak hanya bertujuan menekan China dan mengubah arah dinamika pasar global yang dalam satu dekade terakhir didominasi oleh Tiongkok, tetapi juga menjawab tantangan dedolarisasi. Artinya, setiap kebijakan ekonomi Trump dilakukan tidak lain adalah untuk menciptakan tatanan perdagangan baru yang lebih menguntungkan negara adidaya, USA. 



Sayangnya, di tengah pusaran kebijakan ekonomi picik ala kapitalis yang diberlakukan Amerika, negeri-negeri Islam justru tampak diam terpaku dan cenderung membebek. Padahal kebijakan ideologis semacam ini seharusnya dilawan dengan kebijakan ideologis pula. Negeri-negeri Islam tidak sepatutnya menggantungkan dirinya pada utang luar negeri, investasi dan produk asing yang kemudian mengabaikan kebutuhan lapangan kerja di dalam negeri sebagaimana yang terjadi di Indonesia.  



Jangan harap Indonesia akan mampu melawan kebijakan tarif Trump tanpa berupaya membangun negeri dengan ideologi yang benar. Karena sesungguhnya hanya negara yang beridelogi kuat sajalah yang mampu membangun negaranya dan memiliki daya tawar tinggi atas negara lain tanpa harus bergantung pada negara-negara besar semacam US dan sekutunya. 



Sesungguhnya, umat Islam memiliki ideologi terbaik yakni Islam yang memiliki jawaban atas sikap proteksionisme USA. Islam secara jelas mewajibkan umatnya untuk terlepas dari ketundukan pada hegemoni kufur. Sistem politik luar negeri Islam bahkan menutup rapat peluang anasir asing untuk menguasai kaum muslim baik secara politik, ekonomi, sosial maupun militer. Dari sini umat diarahkan untuk independen dan militan dalam kompetisi global di berbagai aspek kehidupan. 



Oleh karena itu, negeri-negeri Islam seharusnya bersegera menyatukan visi politik-ekonomi Islam melalui penerapan sistem ekonomi Islam kafah. Kemudian, umat Islam bisa membangun pasar bersama dunia Islam (common islamic market) melalui penghapusan tarif dan hambatan nontarif antarnegara Islam sembari meninggalkan ketergantungannya atas dollar Amerika. Lebih dari itu, umat Islam secara mendesak harus membangun blok kekuatan geopolitik Islam tanpa sistem negara bangsa (nation state) yang mengutamakan dakwah Islam ke seluruh penjuru dunia. Karena satu-satunya cara bagi umat Islam untuk terlepas dari ketidakadilan ekonomi yang diciptakan Amerika adalah dengan menjadikan Islam sebagai satu-satunya solusi dalam seluruh aspek kehidupan, khususnya ekonomi. 

Wallahualam bissawab.[]


Posting Komentar

0 Komentar