Duck Syndrome di Balik Topeng Kapitalisme: Pemicu Penyakit Mental

 


Shazia Alma


#TelaahUtama — Duck Syndrome! Fenomena ini pertama kali diamati oleh psikolog Stanford, Dr. Madeline Levine, yang menemukan bahwa banyak mahasiswa di perguruan tinggi elite mengalami stres dan depresi, meskipun mereka tampak sukses dan bahagia di permukaan (The Standford Daily, January 31, 2018). Opini terkait gangguan psikis ini di Indonesia sendiri mulai ramai dibahas oleh beberapa tulisan dan sumber daring  dua tahun belakangan.  


Gejala psikologis sindrom bebek disinyalir juga terjadi di Indonesia. Beberapa pakar sepakat bahwa Duck Syndrome bukanlah hanya masalah individu, tetapi juga fenomena sosial yang dipengaruhi oleh struktur sosial, budaya, dan ekonomi. Realitas sindrom bebek di Indonesia dapat memengaruhi berbagai kalangan usia dan profesi karena tekanan untuk tampil sempurna dan memenuhi ekspektasi sosial makin meningkat. Beberapa kelompok yang rentan mengalami Duck Syndrome adalah pelajar dan mahasiswa, dewasa muda, profesional, dan kalangan menengah bawah. 


Guru besar bidang psikologi di Universitas Indonesia, Prof. Rose Mini Agoes Salim, memberikan beberapa pendapatnya mengenai sindrom bebek ini.  Orang dengan Duck Syndrome tampak tenang meski sedang menanggung banyak beban. Masalah psikologis akan muncul jika pembawa gejala ini tak sanggup mengatasi tekanan yang dialaminya. Dia membeberkan pemicu utama Duck Syndrome dihasilkan dari desakan lingkungan, tuntutan akademik, pekerjaan, hingga target sosial dari pertemanan atau keluarga. Akhirnya, individu yang masuk kelompok muda atau lainnya ini bisa mengalami kecemasan, stres, hingga kehilangan arah dalam hidup. Mereka tak mengenali batas dirinya. Berupaya melampaui kapasitas tak terukur, tidak tahu cara membagi waktu, dan sulit menentukan prioritas (Republika.co.id, 25/4/2025).


Meskipun belum ada data spesifik tentang Duck Syndrome di Indonesia, kita bisa melihat beberapa statistik terkait kesehatan mental remaja yang mungkin terkait dengan fenomena ini. Sekitar 1 dari 3 remaja Indonesia (15,5 juta) memiliki masalah kesehatan mental, dan 1 dari 20 remaja (2,45 juta) memiliki gangguan mental dalam 12 bulan terakhir, menurut Survei Kesehatan Mental Nasional Remaja Indonesia (I-NAMHS) tahun 2023. Gangguan mental yang paling umum dialami remaja adalah gangguan cemas (3,7%), diikuti oleh gangguan depresi mayor (1,0%), dan gangguan perilaku (0,9%). (ugm.ac.id) 


Anisa Dwi Utami, menyoroti fakta ini dengan keadaan personal tampak damai dilihat tapi sebetulnya sedang berjuang keras di bawah tekanan yang berat. Terlihatnya tekanan sosial dan ekonomi yang tengah dihadapi kelas menengah Indonesia adalah salah satu eksistensinya. Mereka seakan dituntut tampil sukses, stabil, dan bahagia, walaupun sebenarnya mereka menghadapi tekanan besar secara emosional dan finansial. (medcom.id, 23/04/2025)


Sebagai dosen Fakultas Ekonomi dan Manajemen IPB University, Anisa juga mengamati  bahwa pemutusan hubungan kerja (PHK) dan peralihan pekerja ke sektor informal memperburuk keadaan mental. Menurunnya daya beli dan sulitnya pendapatan, menunjukkan keterbatasan kelas menengah untuk bertahan dengan biaya hidup yang melonjak. Tingginya inflasi, harga pangan terutama beras meroket dan mendesak banyak keluarga menghabiskan sebagian besar income hanya untuk kebutuhan pokok. Apalagi jika kenaikan upah minimum hanya berkisar 3%-4%. Ditambah harapan tinggi dari keluarga, persaingan akademik dan profesional, serta ekspektasi sosial yang diperkuat oleh media sosial membuat banyak orang merasa harus terus tampil "sempurna". (mediaindonesia.com, 24/04/2025)


Menurut medicinenet.com, Duck Syndrome tidak secara resmi diakui sebagai penyakit mental, tetapi dapat meningkatkan risiko seseorang mengalami masalah kejiwaan seperti gangguan cemas dan depresi. Apabila diabaikan atau disepelekan, Duck Syndrome bisa membuat penderitanya mengalami depresi berat hingga keinginan untuk bunuh diri (ruangguru.com, 14/08/2024).


Sindrom bebek dapat menjadi lebih kompleks di tengah masyarakat yang hidup dalam sistem kapitalisme sekuler. Menjadi lebih sulit diatasi karena tekanan untuk sukses materiil dan perbandingan sosial dapat meningkat. Paradigma kapitalis menekankan pentingnya kesuksesan materiil dan pencapaian ekonomi akan meningkatkan tekanan pada individu untuk tampil sukses dan sempurna. Media sosial dan budaya konsumtif makin memperkuat perbandingan sosial, sehingga individu merasa tidak cukup baik atau tidak sukses dibandingkan dengan orang lain.


Sistem sekuler dengan prinsip memisahkan agama dari kehidupan menjauhkan nilai-nilai spiritual dan keagamaan sebagai pedoman dalam kehidupan. Akibatnya, individu kurang memiliki sumber daya untuk mengatasi stres dan kecemasan. Meningkatnya individualisme pada masyarakat kapitalis menghasilkan ruang perlombaan semu antar manusia memunculkan individu yang terisolasi dan kurang memiliki dukungan sosial. Sinergis komunal untuk mencapai kehidupan yang damai dengan tolong-menolong dalam kebaikan untuk kehidupan hanya mimpi di siang hari. 


Terlebih, interaksi individu dan masyarakat dengan negara membentuk dinamika yang kompleks dan diwarnai oleh prinsip-prinsip persaingan bebas dan individualisme. Tak sedikit kebijakan negara kapitalisme justru memperlebar dan memperdalam kerentanan sosial. Jurang ekonomi si kaya dan si miskin memunculkan bullying, flexing, bahkan prinsip Machiavelli yang liberal. Pedoman hidup dalam agama yang semestinya berpengaruh mempola hubungan  individu, komunal, dan negara yang ideologis diabaikan. 


Sistem kapitalisme kurang memperhatikan kesehatan mental, sehingga individu kurang memiliki akses ke sumber daya dan dukungan untuk mengatasi Duck Syndrome. Terlebih peran negara di dalam kapitalisme hanya sebagai fasilitator. Perannya untuk rakyat tak lebih sekadar membangun industri kesehatan yang sangat mahal untuk diakses. Alhasil, semua aspek kehidupan pada manusia dalam sistem hidup serba cuan ini hanya berkutat pada individu, takada jalinan harmonisasi interaksi dengan komunitas masyarakat dan bahkan negara. Seolah lingkungan masyarakat dan negara hanya bagian lain dimensi kehidupan manusia.


Sungguh, sangat berbeda dengan sistem Islam ketika diterapkan pada manusia lebih dari 13 abad lamanya. Duck Syndrome bahkan mental illness sangat sulit ditemui. Tersebab Islam memiliki perangkat pemahaman dan penerapan paripurna mencegah mencuatnya penyakit-penyakit kesehatan mental pada individu, masyarakat, hingga tingkat penguasa (negara). 


Sistem-sistem yang diimplementasikan dalam kehidupan berbasis akidah dan syariat Islam dengan gemilang mampu membentuk manusia sampai derajat yang mulia. Seperti halnya dalam bidang pendidikan, Islam mampu menghasilkan manusia dengan pola pikir dan sikap yang terpuji dan berjiwa sosial. Kebermanfaatan dirinya untuk peradaban menjadi tujuan. Gulliver Costauray mengatakan dalam bukunya Hukum Sejarah, “Eropa berhutang kepada kondisi yang memberikan manfaat pada masa-masa pemikiran Arab (Islam). Telah berlalu empat abad tanpa ada peradaban selain peradaban Arab (Islam) yang para ilmuwan mereka merupakan pengibar bendera peradabannya dengan sangat kuat.” (Al-Islam wa Al-Hadharah Al-Arabiyah, Muhammad Kard Ali, hal. 544)


Dengan sistem ekonominya, Islam memberikan kesejahteraan pada manusia tanpa batas dan pilih-pilih. Distribusi kekayaan dengan bertumpu pada pembagian kepemilikan pribadi, umum (komunal), dan negara menutup rapat celah kemiskinan sistemik yang saat ini terjadi di dunia kapitalisme. Ditambah dengan sistem sosial kemasyarakatan yang mendorong manusia berlomba-lomba dalam kebaikan dan takwa. Sistem sanksi yang menjaga keamanan dan keadilan di antara manusia, serta sistem pemerintahan yang policies-nya mengedepankan takwa dan pelayanan terhadap manusia akan mewujudkan masyarakat yang sangat berbeda dengan rakyat dalam kungkungan kapitalisme liberal. Sinergi ideologis tiga pilar tersebut—individu, masyarakat, dan negara—dalam pelaksanaan Islam kafah terbukti menebar rahmat seluruh alam seperti tercantum dalam ayat Al-Qur’an surah al-Anbiya: 107. 


Posting Komentar

0 Komentar