#CatatanRedaksi — Seolah tak henti masalah mental health di negeri ini, sebelumnya ramai dibicarakan terkait doom spending (tindakan belanja berlebihan yang negatif), sekarang malah muncul istilah mental health lain lagi yakni duck syndrome. Disebut duck (bebek) krn dia dianalogikan seperti bebek yang berenang tampak tenang wajahnya di permukaan, tapi sejatinya kaki yang dibawah air sedang mengayuh sekuat tenaga dan bekerja keras dengannya. Fenomena ini banyak muncul dalam kondisi sekarang menimpa kelas menengah.
Dilansir dari laman Republika.co.id (24/4/2025), fenomena duck syndrome ini dinilai sebagai cerminan nyata dari tekanan sosial dan ekonomi yang tengah dihadapi kelas menengah Indonesia. Di tengah tuntutan gaya hidup modern, persaingan karier yang ketat, dan biaya hidup yang terus meningkat, kelompok ini seringkali merasa terbebani untuk selalu tampil sukses dan mapan. Validasi eksternal menjadi tolok ukur, sehingga sebenarnya dia habis-habisan tapi mau tampak baik-baik saja. Kondisi ini dalam jangka panjang akan membuat seseorang itu benar-benar depresi dan tertekan yang ujungnya akan membuat kesehatan mentalnya terganggu. Maka butuh solusi komprehensif terkait hal itu.
Solusi yang diberikan jika memang butuh tenaga ahli maka segera bisa mendatangi psikolog atau psikiater untuk mendapatkan pengobatan yang intens. Sementara, terkait faktor-faktor pemicu salah satu jenis mental health ini adalah bisa berasal dari faktor internal diri dan faktor luar. Faktor dalam diri bisa di antaranya genetis, cedera kepala, atau ada luka/trauma di masa lalu baik dalam interaksi keluarga atau pergaulan dengan teman, misalnya bullying, dsb.
Faktor luar yang tidak kalah penting adalah sistem kehidupan yang diterapkan hari ini yakni sistem kapitalisme sekuler. Memicu tekanan hidup yang luar biasa berat dengan kesenjangan yang luar biasa antara si kaya dan si miskin, sehingga ada kalanya untuk bisa menandingi gaya hidup banyak yang menghalalkan segala cara, belum lagi tekanan kelas menengah sebagai bagian yang terjepit dari atas bawah. Misalnya, kelas menengah dengan penghasilan pas-pasan digempur dengan aneka pajak dan kenaikan harga barang padahal tidak dapat bansos, tidak dapat keringanan apa pun, sehingga dengan tekanan yang begitu dahsyat mereka harus memaksa diri tetap bertahan. Maka yang tidak mampu benar-benar bertahan akan jatuh miskin. Terlebih dengan PHK di mana-mana yang akhirnya mau tidak mau untuk bisa bertahan hidup mereka harus bekerja apa saja demi mencukupi kebutuhannya. Belum lagi output pendidikan di sistem sekuler ini menghasilkan pribadi-pribadi yang rapuh tidak punya arah, ketika hasil hanya diukur oleh nilai dan angka-angka, sementara akal dan jiwanya tidak diberi asupan yang memadai menjadikan mereka tak punya arah dan tujuan hidup. Walhasil, tidak jelas akan ke mana mereka melangkah. Malahan, tidak jarang langkah mereka hanya ditentukan oleh hawa nafsu belaka. Padahal harusnya manusia itu ingat kenapa dia ada di dunia ini, kenapa Allah menciptakan dia di dunia ini dengan segala ujian hidup yang dia alami. Maka, disinilah pentingnya agama. Islam sebagai agama mayoritas di negeri ini sejatinya telah memiliki formula yang sempurna dalam penyelesaian masalah kejiwaan ini. Dimulai dengan tindakan preventif (pencegahan) yaitu dengan kekuatan iman yang kokoh dan visi-misi hidup yang terarah, dia tahu bagaimana seharusnya menjadi pribadi yang tangguh, berjalan sungguh-sungguh untuk hal yang mampu dia upayakan dan menerima dengan keikhlasan jika ada takdir yang menimpanya, takdir baik dan buruk adalah dari Allah, termasuk dia harus menyadari bahwa ujian kesabaran dan keistikamahan akan terus menghiasi hari-harinya, karena itulah hidup di dunia.
Dunia adalah ujian bagi orang yang beriman. Selain itu, hendaknya dia juga paham hakikat penciptaannya yakni untuk beribadah kepada Allah. Ibadah itu tidak hanya semua hal yang bersifat ritual tetapi juga nonritual, misalnya masalah pergaulan dalam kehidupan sosial kemasyarakatan, ekonomi (jual-beli), sewa menyewa, bahkan juga masalah politik. Kekuatan muslim adalah ketundukan secara totalitas kepada semua aturan yang Allah berikan. Semua konteks ibadah itu dilakukan sebagai wujud kesadaran akan kelemahan dan kekurangan dirinya sebagai makhluk yang harus mengikuti apa yang diperintahkan dan menjauhi larangan-Nya. Jadi syariat atau aturan dari Allah itu sebagai pegangan hidupnya, dia tidak mudah goyah dengan tekanan apa pun karena dia berpegang kepada-Nya saja.
Terus bagaimana jika tetap mengalami masalah padahal dia sudah berpegang kepada-Nya, terlebih tantangan kehidupan hari ini dengan penerapan sistem kapitalisme sekuler. Islam memberikan tindakan kuratifnya (pengobatan), yakni konsultasi kepada pihak-pihak yang kompeten di dalamnya mungkin psikiater atau psikolog Islam. Sesungguhnya, muslim memang sudah sewajarnya hidup dalam sistem Islam, bukan sistem kapitalisme sekuler seperti sekarang ini, alih-alih muslim bisa hidup nyaman dalam sistem ini, justru mereka malah terus nestapa. Ibarat ikan yang menggelepar-gelepar bahkan mati karena tidak hidup di air sebagai habitatnya, maka sungguh benar Firman Allah dalam QS Thaha ayat 124:
وَمَنْ اَعْرَضَ عَنْ ذِكْرِيْ فَاِنَّ لَهٗ مَعِيْشَةً ضَنْكًا وَّنَحْشُرُهٗ يَوْمَ الْقِيٰمَةِ اَعْمٰى ١٢٤
wa man a‘radla ‘an dzikrî fa inna lahû ma‘îsyatan dlangkaw wa naḫsyuruhû yaumal-qiyâmati a‘mâ
"Siapa yang berpaling dari peringatan-Ku, maka sesungguhnya baginya kehidupan yang sempit. Kami akan mengumpulkannya pada hari Kiamat dalam keadaan buta.”
Solusi sejati duck syndrome pada muslim adalah dengan mengembalikan habitat hidup sejatinya, yakni dengan penerapan Islam secara kafah dalam semua bidang kehidupan (politik, ekonomi, sosial kemasyarakatan, hankam) dengan sistem Khilafah Islamiah ala minhajin nubuwwah. Wallahu a'lam bi asshawwab.[]
Hanin Syahidah
0 Komentar