#Bekasi — Polri menetapkan sembilan tersangka terkait pembangunan pagar laut ilegal di pesisir Tarumajaya, Bekasi, di antaranya MS (anggota DPRD, eks Kades Segarajaya) dan AR (Kades aktif), serta staf desa dan tim PTSL. Mereka diduga memalsukan sertifikat tanah dan mengubah data hukum secara ilegal. Pembangunan ini melanggar hukum, merusak lingkungan, dan meresahkan warga. (bekasitoday.com, 10-04-2025)
Secara hukum, tindakan tersebut berpotensi melanggar Pasal 263 KUHP tentang Pemalsuan Surat serta Ketentuan dalam Undang-Undang Pokok Agraria. Pembangunan dilakukan tanpa dasar hukum yang sah dan menyebabkan kerusakan lingkungan pesisir serta keresahan di tengah masyarakat. Lebih dari sekadar pelanggaran hukum, kasus ini memperlihatkan lemahnya pengawasan terhadap tata ruang dan pengelolaan wilayah pesisir yang rentan dieksploitasi.
Pesisir sebagai Penyangga Ekologis dan Sumber Kehidupan
Kawasan pesisir memiliki fungsi ekologis yang sangat penting, termasuk sebagai penyangga abrasi, habitat biota laut, dan wilayah penyangga perubahan iklim. Ketika pembangunan dilakukan secara serampangan dan ilegal, maka yang dikorbankan bukan hanya bentang alam, tetapi juga keberlanjutan hidup masyarakat yang menggantungkan kehidupannya pada ekosistem laut dan pesisir.
Keterlibatan aparat desa dan anggota legislatif menunjukkan bahwa sistem pengawasan internal dan mekanisme akuntabilitas publik belum berjalan optimal. Langkah nyata perlu diambil untuk meningkatkan keterbukaan dalam proses perizinan, penataan lahan, serta penerapan hukum yang adil dan tidak tebang pilih. Tanpa reformasi yang menyentuh akar masalah, kasus serupa hanya akan menjadi pola berulang yang menggerus kepercayaan masyarakat terhadap institusi pemerintah.
Situasi ini menunjukkan pentingnya reformasi birokrasi yang lebih menyentuh akar masalah. Selama ini reformasi cenderung bersifat administratif dan prosedural, belum menyentuh aspek etika, integritas, dan pengawasan yang kuat. Diperlukan sistem yang memastikan setiap pejabat bertanggung jawab secara hukum dan moral terhadap kebijakan yang mereka ambil.
Reformasi perlu mencakup upaya perlindungan terhadap kawasan publik dan kelestarian lingkungan hidup. Negara tidak boleh kalah oleh kepentingan ekonomi jangka pendek yang merugikan kepentingan masyarakat luas. Penataan wilayah pesisir harus menjadi prioritas dalam agenda pembangunan yang berkelanjutan, bukan hanya demi kelestarian lingkungan, tetapi juga demi menjaga hak hidup masyarakat yang bergantung padanya.
Zalim dalam Penguasaan Tanah adalah Dosa Besar
Dalam perspektif Islam, penguasaan tanah secara zalim merupakan dosa besar. Islam memiliki aturan jelas tentang kepemilikan dan penggunaan lahan. Tanah tidak boleh dimiliki atau dikuasai dengan cara memalsukan dokumen atau menyingkirkan hak orang lain. Rasulullah saw. bersabda: “Barang siapa mengambil sejengkal tanah secara zalim, maka kelak akan dikalungkan kepadanya tujuh lapis bumi di hari kiamat.” (HR Bukhari dan Muslim)
Islam juga menekankan bahwa kekuasaan merupakan tanggung jawab yang harus dijalankan dengan amanah, bukan wewenang yang dapat disalahgunakan sesuka hati. Ketika seorang pemimpin atau pejabat publik menyalahgunakan wewenangnya adalah bentuk ghulul atau pengkhianatan terhadap amanah. Dalam sejarah Islam, Khalifah Umar bin Khattab sangat tegas terhadap pelanggaran semacam ini. Ia bahkan tidak segan mencopot pejabat yang dinilai menyalahgunakan jabatan, meskipun memiliki prestasi di bidang lain.
Dari aspek lingkungan, tindakan membangun pagar laut tanpa izin juga bertentangan dengan prinsip Islam dalam menjaga bumi. Al-Qur’an mengutuk perbuatan yang merusak alam, sebagaimana dalam surah al-Araf ayat 56: "Dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi setelah (Allah) memperbaikinya.” Lingkungan pesisir adalah bagian dari ciptaan Allah yang harus dijaga. Ketika pembangunan dilakukan secara serampangan, maka dampaknya bukan hanya kerusakan ekologis, tetapi juga hilangnya keberkahan dan rahmat dari Allah.
Kezaliman Terstruktur Butuh Solusi Menyeluruh
Sejarah peradaban Islam membuktikan bahwa pengelolaan tanah dan sumber daya alam pernah dilakukan secara adil dan bertanggung jawab. Pada masa Khalifah Umar bin Abdul Aziz, pembagian tanah diarahkan untuk kesejahteraan rakyat tidak untuk memperkaya segelintir kelompok elite. Beliau bahkan menolak pembangunan yang merugikan lingkungan atau rakyat kecil.
Kasus pagar laut adalah bentuk kezaliman terhadap hukum, lingkungan, dan masyarakat. Penyelesaiannya tidak cukup dengan penindakan hukum semata, tetapi harus disertai perbaikan moral, penanaman nilai-nilai Islam, serta reformasi sistemik agar keadilan dan keberkahan dapat terwujud dalam tata kelola pemerintahan.
pendidikan moral berbasis nilai-nilai Islam harus ditanamkan dalam sistem birokrasi. Islam tidak memisahkan antara urusan dunia dan tanggung jawab akhirat. Seorang pejabat tidak hanya bertanggung jawab kepada hukum negara, tetapi juga kepada Allah atas apa yang dia lakukan terhadap harta, tanah, dan jabatan. Kesadaran ini penting untuk membangun budaya kerja yang berintegritas dan takut akan konsekuensi di akhirat.
Dengan menerapkan prinsip-prinsip Islam secara kafah, solusi terhadap permasalahan seperti pembangunan ilegal di wilayah pesisir tidak hanya berhenti pada penegakan hukum, tetapi juga mendorong terbentuknya sistem pemerintahan yang adil, bersih, dan berorientasi pada keberkahan serta kemaslahatan umat.
Dibutuhkan solusi menyeluruh yang tidak hanya menyentuh aspek struktural dan hukum, tetapi juga aspek moral dan spiritual. Prinsip-prinsip Islam menawarkan panduan yang kuat dalam hal keadilan, amanah, pengawasan publik, dan tanggung jawab pemimpin. Ketika nilai-nilai ini dijadikan landasan dalam sistem birokrasi, maka pemerintahan tidak hanya akan berjalan efektif, tetapi juga membawa keberkahan dan rasa keadilan yang dirasakan oleh seluruh lapisan masyarakat.
Khatimah
Reformasi sejati adalah reformasi yang berakar pada kesadaran bahwa jabatan adalah amanah, bahwa bumi adalah titipan, dan bahwa setiap keputusan akan dimintai pertanggungjawaban, baik di dunia maupun di akhirat. Dengan kesadaran ini, semoga tata kelola negeri dapat dibersihkan dari praktik zalim dan disusun kembali atas dasar hukum, akhlak, dan kepedulian terhadap keberlangsungan hidup bersama. Wallahualam bissawab.[]
Meta Nisfia Falah
0 Komentar