Pemekaran Wilayah untuk Kesejahteraan, Mampukah Menjadi Solusi?



#Analisis — Pemekaran wilayah menjadi sebuah fenomena yang tidak asing lagi di Indonesia dan sering kali menjadi topik hangat dalam pemberitaan dan perdebatan publik. Tujuan utama dari pemekaran wilayah adalah untuk meningkatkan pelayanan publik dan pembangunan di daerah yang lebih terpencil atau terpinggirkan, serta untuk mempercepat proses pengambilan keputusan dalam pemerintahan. 


Saat ini, Provinsi banten digaungkan untuk melakukan pemekaran dengan membentuk provinsi baru bernama Provinsi Tangerang Raya (ayobandung.com, 30/03/2025). Pemekaran ini diharapkan dapat menjadi solusi untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat, mendekatkan pelayanan pemerintah kepada rakyat, dan mengoptimalkan pengembangan potensi wilayah.


Dasar Filosofis dan Historis Pemekaran Wilayah


Pemekaran wilayah, dalam tatanan filosofis bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Secara historis, The Founding Fathers menetapkan Pasal 18 Undang-Undang Dasar Tahun 1945 sebagai dasar hukum pemerintahan daerah di Indonesia.


Pasal 4 ayat (3) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 menentukan bahwa pembentukan daerah otonom dapat berupa penggabungan beberapa daerah atau pemekaran dari satu daerah menjadi dua daerah atau lebih. 


Sementara itu, Pasal 1 Angka 7 Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2007 mengatur bahwa pembentukan daerah adalah pemberian status pada wilayah tertentu sebagai daerah provinsi atau daerah kabupaten/kota.


Sebelumnya, Indonesia telah mengalami pemekaran beberapa wilayah, terutama di Papua. Hingga tahun 2022, empat provinsi baru di Papua terbentuk antara lain Papua Selatan, Papua Tengah, Papua Pegunungan, dan Papua Barat Daya. Meski pemerintah pusat memberlakukan moratorium untuk pemekaran wilayah, wacana tentang pemekaran wilayah tetap hidup. Saat ini, terdapat 329 usulan daerah otonom baru (DOB) yang terdiri dari 56 usulan provinsi baru, 236 usulan kabupaten baru, dan 37 usulan kota baru (musianapedia.pikiran-rakyat.com, 02/01/2025).




Pemekaran Provinsi Banten


Provinsi Banten yang resmi dipimpin oleh Andra Soni sebagai Gubernur bersama pasangannya Achmad Dimyati sebagai Wakil Gubernur pada periode 2025—2030 memiliki luas sekitar 9.352,77 km persegi. Calon provinsi baru diperkirakan akan memiliki luas 1.370,97 km persegi. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014, pemekaran dilakukan untuk menciptakan daerah yang lebih mandiri, meningkatkan pelayanan publik, dan mempercepat pemerataan pembangunan. 


Calon provinsi baru di Banten direncanakan terdiri dari Kabupaten Tangerang, Kota Tangerang Selatan dan Kota Tangerang, yang disiapkan untuk menjadi calon ibu kota. Karena persyaratan pemekaran harus memiliki minimal 5 wilayah, maka terdapat 2 Calon Daerah Otonom Baru (CDOB) yang juga dipersiapkan akan dibentuk. Daerah tersebut rencananya dibentuk dan dimekarkan dari Kabupaten Tangerang dengan nama Kabupaten Tangerang Utara dan Kabupaten Tangerang Tengah. 


Pembentukan Provinsi Tangerang Raya didasarkan pada Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, yang mengatur mekanisme pembentukan Daerah Otonomi Baru (DOB). Pemekaran ini dirancang dengan mempertimbangkan aspek administrasi, efisiensi pemerintahan, dan pemerataan pembangunan. Dengan posisi strategis di dekat ibu kota negara, Provinsi Tangerang Raya berpotensi menjadi pusat pertumbuhan ekonomi baru yang signifikan di Indonesia.



Problem Kesejahteraan


Salah satu tujuan pemekaran wilayah adalah untuk meningkatkan kesejahteraan dan mengentaskan masyarakat dari kemiskinan. Namun, dengan penerapan sistem kapitalisme di negeri ini, mampukah hal itu menjadi solusi?


Kapitalisme, sebuah sistem ketika penguasa tidak berperan sebagai pengurus rakyat (raa'in). Para pejabat justru melayani kepentingan pemodal, bukan kepentingan rakyat. Memang dalam sistem ini, pihak yang memiliki modal (kapital) dialah yang menang dan berkuasa. Para pemilik modal menguasai sebagian besar ‘kue' ekonomi, sementara rakyat kecil makin tergerus dan berebut porsi ‘kue' yang tidak banyak mereka miliki. Lapangan pekerjaan sulit, modal terbatas, banyak PHK yang mengakibatkan rakyat miskin makin miskin.


Sistem kapitalisme mengabaikan rasa keadilan bagi umat manusia sehingga akhirnya membuat kemiskinan makin merajalela. Faktanya, jumlah penduduk miskin di dunia terus bertambah, sedangkan orang kaya makin menumpuk hartanya. Kesenjangan ekonomi pun menjadi realitas yang tidak bisa dihindari.


Setidaknya ada tiga kerusakan pemahaman yang membuat kemiskinan tumbuh subur di dalam sistem kapitalisme ini. Pertama, menganggap kelangkaan barang dan jasa sebagai problematik ekonomi mendasar. Akibatnya, solusi yang diambil adalah menggenjot produksi. Sedangkan problematik sebenarnya adalah pada aspek distribusi, bukan kelangkaan barang/jasa.


Dalam kapitalisme, distribusi justru diserahkan sepenuhnya pada mekanisme pasar. Akibatnya, hanya orang-orang yang memiliki uang saja yang bisa mengakses barang dan jasa. Sedangkan orang yang miskin dan tidak memiliki uang, tidak bisa berbuat apa-apa.


Kedua, kesalahan dalam konsep kepemilikan. Sistem ekonomi kapitalisme menganut kebebasan kepemilikan, apa pun boleh dimiliki individu asal punya modal. SDA tambang, mineral, migas dan nonmigas, serta berbagai jenis kekayaan alam sejatinya adalah milik umum. Namun, kapitalisme menghalalkan semua SDA itu untuk bisa dimiliki oleh perorangan dengan mudah. Rakyat sebagai pemilik aslinya justru terhalang untuk mendapatkan manfaat SDA tersebut.


Ketiga, fungsi negara hanya sebagai regulator. Saat ini seluruh bentuk pelayanan yang diberikan negara harus dibayar kompensasinya oleh rakyat, baik secara langsung maupun lewat pungutan pajak. Segala kebutuhan rakyat baik sandang, pangan, papan, pendidikan, keamanan hingga kesehatan, harus dibayar agar rakyat bisa memperolehnya.


Selama sistem kapitalisme yang dipakai, kemiskinan akan tetap lestari dan kesejahteraan hanya menjadi mimpi. Orang yang kaya makin kaya dan yang miskin makin bertambah jumlahnya. 


Pemekaran wilayah tidak akan bisa menuntaskan problem kesejahteraan ini selama pemerintah masih menerapkan sistem kapitalisme.


Paradigma Islam


Pemekaran wilayah sebenarnya tidak menjadi masalah jika visi negara berasas Islam. Dalam Islam, riayah suunil umat adalah prioritas utama khalifah sebagai pemegang otoritas negara Khilafah. 


Dalam pemerintahan negara Khilafah, semua pengaturan terpusat pada khalifah. Adapun gubernur atau wali menjalankan tata kelola pemerintahan yang sesuai syariat Islam atas pengetahuan dan persetujuan khalifah. Mereka bekerja dalam rangka membantu Khalifah menangani wilayah yang dipimpinnya.


Pada sistem Khilafah, tidak ada dikotomi fasilitas dan layanan publik baik di pedesaan atau perkotaan, di wilayah pusat atau daerah. Semua diberlakukan sama. 


Pengentasan kemiskinan untuk meningkatkan kesejahteraan akan dilakukan dengan menerapkan sistem ekonomi Islam, yang menjamin teralisasinya pemenuhan semua kebutuhan primer tiap individu secara menyeluruh dan makruf. Sistem ekonomi Islam memudahkan pemenuhan kebutuhan sekunder maupun tersier sesuai kadar kesanggupan masing-masing individu.


Islam menjamin kelancaran distribusi kekayaan dengan mekanisme yang khas. Islam mewajibkan tiap laki-laki dewasa untuk bekerja. Negara wajib menyediakan segala fasilitas yang dibutuhkan untuk pelaksanaan kewajiban ini, seperti membuka lapangan kerja seluas-luasnya, membangun skill dan keahlian, hingga memberikan modal usaha.


Bagi orang yang lemah, tidak mampu bekerja dan memiliki keterbatasan (sakit, cacat fisik), negaralah yang bertanggung jawab untuk menanggung nafkahnya yang diambil dari kas baitulmal. Islam juga melarang penimbunan harta, agar kekayaan tidak beredar di kalangan orang kaya saja. Selain itu, ada kewajiban zakat mal atas orang kaya yang disalurkan kepada delapan golongan yang telah disebutkan Al-Qur’an.


SDA, hasil tambang, serta berbagai kekayaan alam yang jumlahnya melimpah, adalah harta kepemilikan umum sehingga dikelola untuk hajat hidup orang banyak dan tidak boleh dimiliki/dikuasai oleh individu/swasta maupun negara. Negara berperan sebagai pengelola saja dan wajib untuk mengembalikan hasilnya kepada rakyat.


Terakhir, pemimpin dan penguasa dalam Islam adalah pengatur urusan rakyatnya. Sebagai pelaksana syariat, mereka wajib memastikan seluruh rakyat terpenuhi kebutuhannya, bisa hidup makmur, aman, dan sejahtera. Rasulullah saw. telah bersabda, “Tidaklah seseorang diamanahi memimpin suatu kaum kemudian ia meninggal dalam keadaan curang terhadap rakyatnya, maka diharamkan baginya surga.” (HR Bukhari dan Muslim)


Khatimah


Hanya dengan kehidupan di bawah naungan Khilafah yang menerapkan Islam kafah, kesejahteraan akan terwujud dan problematik kemiskinan akan bisa diatasi dengan tuntas. Allah Taala berfirman, “Sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, niscaya Kami akan membukakan untuk mereka berbagai keberkahan dari langit dan bumi. Akan tetapi, mereka mendustakan (para rasul dan ayat-ayat Kami). Maka, Kami menyiksa mereka disebabkan oleh apa yang selalu mereka kerjakan.” (QS al-A'raf [7]: 96) 


Wallahualam bissawab.[]



Noor Hidayah



Posting Komentar

0 Komentar