Menyoal Makanan Berlabel Halal Mengandung Babi



#Wacana — Publik dikejutkan dengan beredar makanan yang diduga mengandung babi berlabel halal di tengah masyarakat. Badan  Penyelenggaran Jaminan Produk Halal (BPJPH) dan Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) merilis ada sembilan temuan produk makanan yang mengandung unsur babi. Penemuan produk tersebut memunculkan berbagai pertanyaan di tengah masyarakat, bagaimana mungkin produk-produk tersebut bisa mengantongi sertifikat halal dengah mudah? (detikhikmah.com, 23/04/2025)


Penemuan berbagai produk yang diharamkan beredar di tengah masyarakat bukan kali ini saja terjadi. Sebelumnya beredar sebuah video yang menayangkan produk dengan nama tuyul, tuak, beer, dan wine yang mendapatkan sertifikat halal dari BPJPH Kemenag. Pihak BPJPH berdalih bahwa produk tersebut hanyalah penamaan produk dan bukan soal kehalalan produknya. Setiap produk yang telah bersertifikat halal telah melalui proses halal dan mendapatkan ketetapan halal dari komisi fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) atau Komite Fatwa Produk Halal sesuai ketetapan berlaku (bpjph.halal.go.id)


Beredarnya produk berlabel halal tetapi memiliki unsur yang diharamkan untuk dikomsumsi oleh umat muslim merupakan kasus berulang. Sertifikasi halal makin dipertanyakan dan mengikis kepercayaan masyarakat kepada lembaga yang mengeluarkan sertifikat halal tersebut.   Hal ini tentu memunculkan keresahan dan kekhawatiran  masyarakat terhadap produk makanan yang akan mereka komsumsi. Sungguh aneh tapi nyata, di negeri  yang mayoritas beragama Islam, dengan mudahnya produk makanan mendapatkan label halal padahal produk tersebut mengandung unsur keharaman. 


Di sisi lain, pemerintah sebagai pihak yang berwenang  untuk menjamin masyarakat  agar bisa mengonsumsi makanan yang halal dinilai abai terhadap tanggung jawabnya, karena dengan mudahnya produk yang jelas-jelas mengandung unsur keharaman dengan mudahnya mendapatkan label halal dengan berbagai macam dalih. Fakta ini membuktikan bahwa sertifikasi halal bisa dibeli untuk kepentingan bisnis. 


Tidak dipungkiri bisnis minuman beralkohol merupakan salah satu bisnis yang sangat menggiurkan. Terlebih pemerintah memprioritaskan kepentingan ekonomi dengan memberikan legalitas pada produk-produk yang mengandung keharaman, dibandingkan memberi perlindungan masyarakat dari produk makanan dan minuman nonhalal. Hal ini dilakukan oleh pemerintah agar negara memiliki pemasukan dana segar dari produk nonhalal melalui pajak. Sebab pajak merupakan sumber pendapatan utama di negeri ini, sehingga apa pun akan dilakukan pemerintah agar mendapatkan cuan walaupun harus mengorbankan kepentingan rakyatnya.


Sangat wajar hal ini terjadi, sebab kita hidup dalam sistem pemerintahan yang menihilkan peran agama dalam kehidupan. Mengagungkan materi di atas segalanya dan menghalalkan segala cara untuk mendapatkannya. Setiap kebijakan dan undang-undang yang ditetapkan selalu berkaitan dengan materi/cuan. Halal dan haram tidak berlaku dalam kamus kapitalisme sekuler, yang terpenting bisa mendapatkan keuntungan semata.


Inilah potret pemerintah ala kapitalisme sekuler yang tidak pernah peduli rakyatnya hidup dengan ketakwaan atau kemaksiatan. Justru kemaksiatan menjadi sektor yang terus digencarkan demi meraup keuntungan untuk pemasukan negara. Pajak dunia hiburan menjadikan pemasukan terbesar untuk kas negara yang mencapai hingga Rp1,41 triliun. Sangat jelas pemerintah lebih berpihak kepada siapa, bukanlah keberpihakan kepada rakyat apalagi syariat Islam walaupun negeri ini adalah negeri muslim. Makin menegaskan ilusi sistem kapitalisme sekular untuk memberikan jaminan produk halal kepada rakyatnya. 


Satu-satunya sistem yang mampu menjamin kebutuhan pangan yang halal dan sehat hanyalah Khilafah. Sebab Khilafah memiliki fungsi sebagai penjaga dan pelindung rakyatnya dari ketersediaan bahan pangan yang dapat dikomsumsi oleh setiap individu rakyatnya. Khilafah yang akan mengontrol langsung peredaran makanan dan minuman di tengah masyarakat serta memastikan produk makanan tersebut tidak mengandung unsur keharaman. 


Khilafah tidak membutuhkan lembaga seperti BPJPH atau MUI. Sebab, Khilafah menerapkan syariat Islam di seluruh lini kehidupan rakyat. Bukan hanya produk makanan dan minuman, melainkan hal-hal yang bertentangan dengan syariat tidak boleh terjadi di tengah-tengah masyarakat. Syariat Islam berdasarkan Al-Qur’an dan sunah menjadi landasan lahirnya aturan dan kebijakan yang diterapkan baik untuk sistem pemerintahan maupun untuk pengurusan urusan rakyat.


Siapa pun yang melanggar syariat baik rakyat maupun aparat negara termasuk pemimpin sekalipun akan diberikan sanksi tanpa pandang bulu. Sehingga apabila ada yang dengan sengaja menjual  produk pangan yang diharamkan, maka akan diberikan sanksi yang tegas. Selain itu, negara memiliki sumber pemasukan dan pengeluaran yang telah ditetapkan oleh syariat, sehingga tidak akan melakukan apa saja untuk mendapatkan cuan seperti yang terjadi dalam sistem kapitalisme sekular.


Inilah potret negara yang senantiasa menjadi garda terdepan melindungi dan menjaga setiap individu rakyatnya. Mewujudkan setiap individu masyarakat  yang bertakwa dan beriman, menjadi prioritas negara. Sistem aturan inilah yang seharusnya hadir di tengah-tengah umat hari ini dan harus diperjuangkan agar sistem naungan cahaya Islam inilah yang mengatur kehidupan umat manusia untuk selamanya.[]



Siti Rima Sarinah

Posting Komentar

0 Komentar