Sistem Outsourcing: Sistem Perbudakan Ekonomi Masa Kini

 


Karina Fitriani Fatimah 


#TelaahUtama — Dalam peringatan Hari Buruh (01/05) Prabowo menyampaikan komitmen pemerintahannya untuk menghapus sistem outsourcing (alih daya). Ia pun menyebutkan jajarannya akan membentuk Dewan Kesejahteraan Buruh Nasional sebagai komitmen dalam menjamin kesejahteraan pekerja. Lembaga tersebut nantinya akan berperan sebagai penasihat pemerintah dalam menyusun berbagai kebijakan terkait ketenagakerjaan semisal penjaminan hak dan perlindungan pekerja, termasuk di dalamnya regulasi transisi menuju penghapusan sistem alih daya. 


Akan tetapi, dalam kesempatan yang sama, Prabowo menekankan bahwa penghapusan sistem outsourcing perlu dilakukan secara bertahap dan harus disesuaikan dengan iklim investasi. Pasalnya, penghapusan sistem alih daya tidak boleh bersinggungan dengan kepentingan investor. Prabowo berdalih bahwa tanpa investasi maka akan kian sempit lapangan kerja yang tersedia di negeri ini. 


Menanggapi hal tersebut pihak pengusaha pun mulai ikut bersuara. Ketua Bidang Ketenagakerjaan Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO), Bob Azam, menyebut rencana Prabowo tersebut harus disertai dengan analisa teknokratis secara menyeluruh dan komprehensif. Azam menyebut sistem alih daya marak digunakan di berbagai negara di dunia terutama Filipina dan India. Ia menambahkan bahwa praktik outsourcing sangat berpotensi menjadi salah satu pendukung pertumbuhan ekonomi negara jika diimplementasikan dengan benar  sebagaimana yang terjadi di Filipina (cnnindonesia.com, 03/05/2025). Lebih dari itu Azam mengungkapkan potensi bahaya lain dari penghapusan outsourcing di Indonesia, yakni potensi terhambatnya pemerataan ekonomi. 


Di sisi lain, masih banyak pihak yang menyangsikan komitmen pemerintah dalam upayanya memberantas praktik alih daya. Sekalipun banyak yang berpendapat bahwa langkah tersebut bertujuan untuk memenuhi hak-hak pekerja, tapi implementasi di lapangan sangatlah kompleks. Terlebih dengan kondisi perekonomian global saat ini yang tengah mengalami perlambatan ditambah dengan ketidakpastikan global, langkah ambisius Prabowo tersebut sepertinya hanya utopia belaka. 


Outsourcing sesungguhnya ialah sistem kerja yang memberi peluang perusahaan untuk menyerahkan sebagian pekerjaan atau fungsi tertentu kepada pihak ketiga sebagai penyedia jasa tenaga kerja. Artinya, pekerja outsourcing tidak secara langsung dipekerjakan oleh perusahaan yang membutuhkan tenaga pekerja tetapi oleh perusahaan penyedia jasa tenaga kerja. Dari sini tenaga outsourcing dipekerjakan ke sebuah perusahaan dengan ‘hitam di atas putih’ baik perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT) maupun perjanjian kerja waktu tidak tertentu (PKWTT), tetapi segala hak-haknya sebagai pekerja semisal upah diserahkan kepada perusahaan penyedia tenaga outsourcing. 


Konsep alih daya semacam ini sebetulnya sudah mulai dikenal luas di Indonesia pada awal tahun 1990-an seiring kian terbukanya pasar global. Hanya saja sistem kerja semacam ini baru benar-benar dilegalkan di masa kepemimpinan presiden kelima Indonesia, Megawati Soekarnoputri, melalui penetapan UU No. 13/2003 tentang ketenagakerjaan. Perumusan skema outsourcing kemudian dibahas lebih rinci dalam UU Cipta Kerja yang meliputi perlindungan pekerja, upah, kesejahteraan, syarat kerja hingga perselisihan dan tanggung jawab perusahaan penyedia kerja. 


Perusahaan biasanya lebih ‘senang’ dengan sistem alih daya karena dinilai mampu menekan biaya operasional. Pasalnya perusahaan tidak harus menyediakan biaya pelatihan hingga peralatan yang dibutuhkan dalam fungsi outsourcing. Perusahaan juga cenderung lebih mudah menambah atau mengurangi pekerja sesuai kebutuhan di saat tertentu. Dari sini perusahaan kemudian bisa lebih fokus pada kegiatan intinya dalam produksi dan menyerahkan fungsi ‘tambahan’ semisal security, catering, ataupun cleaning service kepada pihak penyedia jasa tenaga kerja. Perusahaan pun tidak perlu dipusingkan dengan detil administratif pekerja semisal gaji, tunjangan, asuransi hingga pesangon, karena hal-hal tersebut telah sepenuhnya menjadi tanggung jawab pihak ketiga. 


Sekalipun skema alih daya tampak menguntungkan terutama bagi kaum pengusaha, nyatanya bagi kaum buruh (pekerja) sistem semacam ini sama halnya dengan pemiskinan struktural. Konsep outsourcing lebih jauh menyebabkan hilangnya stabilitas pekerjaan karena tidak adanya jenjang karir, pengurangan hak-hak pekerja dan potensi penurunan kesejahteraan buruh.  


Sistem outsourcing yang katanya hanya boleh untuk fungsi-fungsi ‘tambahan’ perusahaan dan bukan fungsi inti, pada kenyataannya tidaklah demikian. Di sektor manufaktur domestik, sudah menjadi rahasia umum bahwa tenaga outsourcing banyak digunakan untuk tenaga produksi. Hal ini menjadikan pekerja berstatus outsourcing memiliki beban kerja yang sama persis dengan pekerja tetap tapi dengan jaminan dan hak-hak pekerja yang jauh lebih minim. Tidak jarang skema semacam ini dipilih pengusaha justru untuk menghindari kewajibannya dalam memberikan hak-hak pekerja seperti tunjangan, jaminan sosial, dan jenjang karir.  


Ironisnya, sistem alih daya juga masih marak digunakan di berbagai instansi pemerintahan. Di banyak lembaga dan kementerian negara, tenaga kontrak atau sering kita sebut dengan tenaga honorer masih menjadi ‘primadona’. Mirisnya, kompensasi kerja yang diterima tenaga honorer seringnya jauh di bawah para pekerja tetap bahkan cenderung tidak layak. 


Ketidakkonsistenan ini tentu banyak menimbulkan tanda tanya apakah pemerintah benar-benar serius hendak menghapus sistem oursourcing. Sejauh ini pemerintah selalu mengeluarkan retorika dan inkonsistensi kebijakan. Lihat saja bagaimana presiden yang katanya ingin menghapus sistem alih daya tetapi masih sempat memikirkan kepentingan investor.  


Keberadaan sistem outsourcing sesungguhnya merupakan hasil dari sistem ekonomi kapitalis yang benar-benar ‘sakit’ dan tidak kondusif. Sistem perekonomian ala kapitalis menciptakan kondisi pasar kerja yang labil tapi masih harus memenuhi kebutuhan industri global. Celakanya kondisi semacam ini diperparah dengan rendahnya mutu keterampilan pencari kerja yang sejatinya merupakan ‘buah hasil’ dari sistem pendidikan kapitalis-liberal yang hanya berorientasi materi dan manfaat. 


Di dalam sistem ekonomi kapitalis global, kerja kontrak alih daya dan politik upah murah dipercaya sebagai prasyarat keunggulan dan pertumbuhan ekonomi negara di era pasar global. Oleh karenanya, tidak mengherankan jika sistem pendidikan ala kapitalis-liberal mayoritas hanya fokus pada upaya mencetak pekerja yang ‘sesuai’ dengan kebutuhan industri. Sistem pendidikan semacam ini kemudian mengindahkan nilai-nilai lain semisal keimanan, ketakwaan dan akhlak dalam proses pembinaan anak didik. Maka dari itu tidak mengherankan jika sistem kapitalis banyak mencetak para ‘jenius’ yang siap bekerja di pasar global tapi minim etika dan adab, atau bahkan tidak jarang memiliki kecenderungan berperilaku kriminal. 


Outsourcing dijadikan alat bagi kaum borjuis untuk menjalankan sistem perbudakan modern. Sistem alih daya menjadikan perusahaan memiliki daya tawar yang jauh lebih besar dibanding pekerja. Celakanya, kondisi ini memposisikan para buruh hanya sebagai komoditas sumber daya yang dapat diakhiri karirnya kapan saja tergantung pada kepentingan para cuan.  


Contohnya dalam kasus PT Jakarta International Container Terminal (JICT) yang memutus kontrak 400 karyawan outsource setelah kerja sama dengan sebuah perusahaan penyedia tenaga kerja, PT Empco, berakhir pada 31 Desember 2017. Tidak lama dari itu PT JICT mengontrak karyawan baru di bawah naungan PT Multi Tally Indonesia yang menjadi pemenang tender penyedia outsource berikutnya (infobanknews.com, 28/02/2018). Drama pemutusan pekerja kontrak PT JICT ternyata tidak berhenti sampai disitu. Para karyawan di bawah naungan PT Empco menolak pemutusan hubungan kerja. Bahkan Serikat Pekerja JICT menuntut perekrutan karyawan outsource PT Empco menjadi karyawan tetap dan menolak karyawan baru yang berada di bawah naungan PT Multi Tally Indonesia.  


Sistem perbudakan semacam ini niscaya terjadi karena watak para cuan di sistem ekonomi kapitalis hanya mengenal untung-rugi tanpa standar halal-haram. Wajar jika kemudian para pengusaha merasa berada ‘di atas’ dan bisa memperlakukan para pekerja layaknya budak belian.  


Di sisi lain, di dalam sistem ekonomi kapitalis tindakan sewenang-wenang kaum borjuis justru ditopang dengan sistem hukum ketenagakerjaan yang tidak memihak kaum buruh. UU Cipta Kerja misalnya, secara nyata berpihak kepada para cuan. Di dalam UU Cipta Kerja bahkan tertera berbagai pasal yang merugikan para pekerja seperti tidak adanya batas waktu PKWT, tidak ada batasan kriteria pekerjaan yang boleh dipekerjakan secara outsource, memiliki waktu kerja yang eksploitatif dengan jam lembur yang lebih panjang, hingga potensi PHK secara sepihak yang kian lebar. Hal ini terjadi karena memang kapitalisme memandang kaum pekerja hanya sebagai faktor produksi yang boleh dieksploitasi sedemikian rupa untuk kepentingan para cuan.  


Kesejahteraan buruh kian merana di alam kapitalis karena peran negara sangatlah minim. Negara hanya berperan sebagai regulator dan fasilitator, bukan sebagai pelayan rakyat. Bisa kita lihat bagaimana hingga detik ini berbagai iuran kerja harus ditanggung sepenuhnya oleh pekerja dan pengusaha, tanpa kontribusi pemerintah. Walhasil tidak mengherankan jika para cuan ‘melampiaskan’ seluruh beban kepada kaum buruh. 


Dari sini tampak jelas bagaimana sistem alih daya kian menunjukkan borok kapitalis yang hanya memandang kaum pekerja sebagai salah satu komponen produksi semata. Celakanya, di dalam sistem kufur semacam ini upah pekerja termasuk dalam faktor produksi yang harus dikeluarkan seminimal mungkin demi mengurangi ongkos produksi. Buruh di dalam sistem ekonomi kapitalis tidak jauh berbeda dengan sapi perah yang harus bekerja hingga titik darah penghabisan demi mengejar target produksi yang tinggi. Hal inilah yang mendorong maraknya praktik outsourcing, sistem perbudakan kekinian. Wallahualam bissawab.[]

Posting Komentar

0 Komentar