Menghapus Sistem Outsourcing, Buruh Sejahtera?

 


Shazia Alma


#TelaahUtama — Janji politik Presiden Prabowo Subianto terkait penghapusan sistem kerja alih daya ditagih para buruh untuk direalisasikan. Penghapusan outsourcing adalah salah satu tuntutan dari enam target demo buruh pada 1 Mei 2025 (kompas.com, 01/05/2025). Outsourcing adalah salah satu praktik bisnis perusahaan, yaitu memakai jasa pihak lain untuk merekrut tenaga kerja guna menyelesaikan tugas-tugas tertentu (myrobin.id, 10/02/2023). Menurut Deloitte Global Outsourcing Survey 2020, 70% rendah biaya, 40% adaptabilitas, 20% ketangkasan pasar, akses ke alat dan proses (15%), dan kegesitan (15%) adalah alasan utama perusahaan mencari solusi alih daya untuk semua bisnis.


Sebaliknya, dari point of view  tenaga kerja, alih daya (outsourcing) mengurangi penghasilan.  Baik upah atau tunjangan pekerja outsource lebih kecil dari karyawan tetap. Terkadang perusahaan tidak mendaftarkan para pekerja outsource dalam program jaminan sosial tenaga kerja dan asuransi. Tercipta kesenjangan antara karyawan tetap dan karyawan outsource. Bahkan, banyak perusahaan memanfaatkan sistem alih daya sebagai lahan mendapatkan tenaga kerja murah (talenta.co, 20/01/2022).


Meskipun sistem alih daya ini hampir dipakai diseluruh dunia, tapi tidak pernah ada penerapan sempurna oleh negara. Diberitakan dw.com (10/01/2025), tenaga alih daya Cina ditemukan dalam kondisi sangat terekploitasi di sebuah pabrik mobil di Brasil. Tersorot bahwa standar perlindungan operasional perusahaan alih daya buruh di negara asing tidak kuat.


Danang Girindrawardana, Direktur Eksekutif Apindo menyatakan menghapus sistem alih daya adalah hal yang tidak bisa diwujudkan. Kebutuhan industri pada sistem alih daya akan memberi kesempatan lulusan muda tanpa pengalaman kerja ataupun tenaga kerja dengan keterampilan rendah. Selain itu, negara akan terbebani sulitnya serapan kerja untuk menampung angkatan kerja. Tidak bisa dipungkiri, outsourcing membuka peluang lapangan kerja untuk para calon pekerja. Terbaik yang bisa dilakukan pemerintah adalah meregulasikan ulang terkait sistem alih daya ini supaya tidak merugikan investor dan tenaga kerja (cnnindonesia.com, 15/03/2019).


Senada, Wakil Ketua Umum Kadin Bidang Ketenagakerjaan dan Hubungan Industrial, Anton J. Supit meragukan jika dihapuskannya sistem alih daya akan menyelesaikan masalah ketenagakerjaan Indonesia. Sebab, masalah utamanya adalah tidak terserapnya usia kerja. Sehingga menurutnya, kebijakan yang separuh hati dan populis tidak dapat menghilangkan masalah. Kebijakan seperti itu hanya menghasilkan bahaya investasi di Indonesia. Lanjutnya, kecenderungan dunia kerja global banyak memilih pekerja paruh waktu yang kebanyakan menggunakan sistem alih daya. Dengan demikian, Indonesia harus beradaptasi agar mampu bersaing di kancah dunia. (cnnindonesia.com, 15/03/2019)


Jika ditelusuri, di Indonesia yang menganut sistem ekonomi kapitalis, sistem alih daya bermasalah dalam hal aturan atau kesepakatan pekerja dan pengusaha di tengah labilnya kebijakan pemerintah. Pekerja membutuhkan upah untuk kesejahteraan hidupnya, sedangkan pengusaha hanya mampu mengupah jasa atau tenaga yang sesuai dengan kebutuhan industri. Terlebih, aturan outsourcing ala kapitalisme terbukti memunculkan manipulasi pada pekerja dengan mudahnya kehilangan pekerjaan bahkan sebelum selesainya masa kerja. Outsourcing memperburuk ketimpangan ekonomi karena perusahaan yang melakukan outsourcing dapat menghemat biaya dengan memanfaatkan pekerja alih daya yang lebih murah. Tak hanya itu, tenaga kerja alih daya tidak sedikit yang bekerja dalam situasi yang buruk, tidak aman, dan bahkan mengalami pelecehan.


Perselisihan seperti ini, antara pengusaha dan pekerja tidak pernah dapat diatasi oleh negara karena andil negara memang secara aturan kapitalisme harus dibatasi. Sehingga, selain ketidakpastian pekerjaan, tidak adanya jaminan sosial dan upah yang rendah, tenaga kerja alih daya juga kurang dilindungi oleh hukum ketenagakerjaan. Walhasil, penerapan sistem alih daya dengan paradigma ekonomi kapitalis menimbulkan berbagai masalah negatif pada pekerja, perusahaan, masyarakat, dan stabilitas ekonomi.


Terkait dengan fakta di atas, mengenai penghapusan outsourcing oleh pemerintah, bukanlah solusi melainkan siasat untuk mencari resolusi praktis dalam situasi yang kurang ideal karena sudut pandang yang dipakai sebatas kepentingan pengusaha vs pekerja, tak pernah menyentuh kewajiban negara dalam kondisi seperti ini. Sistem ekonomi kapitalis menjadikan sumber daya dan pekerja sebagai faktor produksi untuk menghasilkan keuntungan. Kesepakatan logis hanya terjadi upah jasa atau tenaga tanpa memperhitungkan kesejahteraan pekerja. 


Islam (penguasa) tidak pernah membedakan status pengusaha atau buruh dalam periayahan urusan rakyat bahkan dalam hal kesejahteraan. Semuanya berhak mendapatkan pemenuhan kebutuhan dasar hidup yang sama (sandang, pangan, papan, pendidikan, kesehatan, keamanan, dan lainnya). Semua itu karena syarak menetapkan kewajiban pemenuhannya ada di pundak penguasa (negara). Negara harus memastikan bahwa setiap warga negara dapat hidup dengan layak. 


Konsep tersebut dikuatkan oleh sebagian dalil Al-Qur'an surah an-Nisa ayat 58, surah al-Maidah ayat 8, serta HR Bukhari no. 7137 dan Muslim no. 1829, tentang pemimpin adalah pengurus/pemelihara rakyatnya dengan pertanggungjawaban langsung kepada Allah Swt.. Artinya, jika terdapat pengalihan tanggung jawab dari pengurus rakyat kepada pihak lain seperti halnya pengusaha atau investor (swasta) untuk rakyat dapat memenuhi kebutuhan hidupnya dengan kompensasi yang sekadar cukup untuk menegakkan punggungnya agar terus bekerja, adalah bentuk khianat terhadap kepercayaan rakyat dan pertanggungjawaban tugas di sisi Allah. 


Hal ini digambarkan juga dalam HR Ahmad no. 16417, HR Ahmad no. 17622, HR Bukhari no. 7150 dan Muslim no. 142. Hadis yang senada dinarasikan Imam Ahmad dari Abu Maryam al-Azdi r.a., "Barangsiapa yang diserahi urusan kaum muslim sedikit saja, lalu ia menutup pintunya dari kebutuhan, kekurangan, dan kemiskinan mereka, maka Allah akan menutup pintu-pintu langit dari kebutuhan, kekurangan, dan kemiskinannya." 


Secara teknis dalam Islam pun, kesejahteraan hidup pekerja tidak menjadi ukuran kompensasi jasa atau tenaganya untuk bekerja. Imbalan berupa upah atau gaji hanya diukur berdasarkan ketentuan kerja, bentuk kerja, waktu kerja, gaji kerja (besaran upah), dan tenaga yang dicurahkan. Itulah yang ditransaksikan ketika akad upah mengupah dalam Islam dijalankan. Islam juga memberikan pijakan yang menjadi dasar perkiraan gaji, tidak ada kewajiban bonus, THR, biaya kesehatan, biaya pendidikan, dan sebagainya. Selama penerima kerja dan pekerja yang direkrut sepakat dan saling amanah, mereka sudah terikat dalam kontrak kerja (Ijarah: Kerja Seorang Pekerja, Taqiyuddin an-Nabhani, hal. 178).


Bekerja dalam Islam masuk dalam pembahasan sebab-sebab kepemilikan harta (Sebab Kepemilikan Pertama: Bekerja, Taqiyuddin an-Nabhani, hal. 174) bukan untuk kesejahteraan hidup mencari pemenuhan sandang, pangan, papan, kesehatan, pendidikan, keamanan, dan lainnya yang merupakan kewajiban negara untuk memenuhi itu semua. Kewajiban ini, tidak akan terwujud dengan penerapan sistem kapitalisme.


Dengan penerapan sistem ekonomi kapitalis yang menguatkan peranan modal (investasi swasta) dalam mekanisme pasar membuahkan pengakuan terhadap hak pribadi terutama dalam hal kepemilikan alat-alat produksi dan kebebasan menjalankan kegiatan ekonomi dalam bentuk apa pun untuk keuntungan sebesar-besarnya yang berdampak pada interaksi sosio-ekonomi di tengah masyarakat (OCBC.id, 14/11/2022). Termasuk kekuasaan negara untuk memiliki sumber daya, alat-alat produksi, dan kewenangan mengatur kegiatan ekonomi rakyat menjadi sangat terbatas karena dominasi investor atau swasta.


Alhasil, untuk keluar dari lingkaran hitam permasalahan buruh dan pengusaha sekaligus mengembalikan kekuasaan dan wewenang pengurusan rakyat pada negara, perlu kiranya menelaah sistem ekonomi Islam yang berdiri paripurna dengan asas akidah dan pemahaman Islam kafah. Sistem yang diturunkan Sang Pencipta dan Pengatur manusia agar sejahtera dan berdaya, tentu  sangat berbeda dengan sistem ekonomi kapitalis buatan manusia yang menyengsarakan. Wallahualam bissawab.[]


Posting Komentar

0 Komentar