Perhitungan Kapitalisme vs Pelayanan Islam

 



Shazia Alma


#TelaahUtama — Setiap individu dalam masyarakat memiliki hak hidup yang sama dalam memperoleh jaminan bagi tercapainya kehidupan yang layak. Kebutuhan hidup yang terjamin adalah pondasi dan tujuan utama dari implementasi sebuah sistem ekonomi.


Masyarakat yang tidak tersentuh jaminan hidup layak dalam kapitalisme akan menjadi populasi yang hidup dalam kemiskinan. Sasaran kapitalisme sepenuhnya adalah pada penciptaan kekayaan, dan kemudian mengalokasikannya ke pasar, akibatnya ada kesenjangan kesejahteraan di tengah populasi manusia (StudySmarterUK). Ketimpangan ekonomi ini tidak hanya terjadi di negara dengan pendapatan menengah ke bawah, negara berpendapatan menengah ke atas seperti Indonesia, tetapi juga negara-negara maju. 


Di Indonesia, diberitakan kumparan.com (04/05/2025), menurut data resmi Badan Pusat Statistik (BPS), kemiskinan penduduk negeri ini tercatat 24,06 juta jiwa (8,57%). Sedangkan menurut Bank Dunia, kemiskinan penduduk Indonesia mencapai 60,3% (171,8 juta jiwa). Perhitungan ini menuai kritik dari Achmad Nur Hidayat, seorang Pakar Kebijakan Publik UPN Veteran Jakarta. Menurut pengamatannya, penentuan data kemiskinan hanya berdasarkan pendapatan per bulan tidak realistis. Pemerintah perlu pendekatan yang lebih kompleks, misal dengan memasukkan kebutuhan air bersih, sanitasi, pendidikan, sampai akses digital. Terlebih lagi, angka statistik itu akan jadi pedoman kebijakan pemerintah. Jika tidak sesuai, resolusi tidak akan tepat sasaran (Kbr.id, 08/05/2025).


Menelusuri berbagai informasi daring, didapati bahwa tujuan utama sistem ekonomi laissez-faire (pasar bebas kapitalisme) bukanlah menghitung populasi miskin, melainkan untuk mengakumulasi modal dan menghasilkan keuntungan bagi pemilik modal melalui aktivitas ekonomi di pasar bebas. Penghitungan populasi miskin dan analisis kemiskinan ditargetkan untuk menilai indikator kesejahteraan dan stabilitas sosial, mengetahui potensi pasar, efektivitas kebijakan ekonomi, penentuan CSR perusahaan, dan mengukur daya saing internasional.


Pada dasarnya, setiap sistem ekonomi memiliki tujuan yang sama, yaitu bagaimana menggunakan sumber daya yang tersedia untuk memenuhi kebutuhan masyarakat. Untuk mencapai tujuan tersebut, masing-masing sistem memiliki cara-cara agar kebutuhan setiap individu dapat terpenuhi. Bagaimana sumber-sumber daya tersebut dialokasikan, menjadi ciri yang membedakan masing-masing sistem. 


Dalam hal distribusi, kapitalisme menyerahkan distribusi sumber daya, barang, dan jasa, sepenuhnya kepada pasar, tempat di mana harga ditentukan berdasarkan suplai dan permintaan. Wajar jika kesenjangan ekonomi menjadi persoalan berat yang dihadapi manusia saat ini, tersebab diterapkannya kapitalisme di dunia. Fungsi kapitalisme dalam pemerintahan hanya sebagai regulasi yang memfasilitasi tersedianya sumber daya, tapi untuk mendapatkannya, masyarakat dibiarkan 'bertarung' memperebutkannya di pasar bebas. Takada lagi pelayanan untuk rakyat sebagai tanggung jawab utama penguasa.


Konsumsi memainkan peran penting dalam menjalankan sistem ekonomi kapitalisme, orang pun disimbolkan dengan apa yang mereka kenakan, apa yang mereka makan,  apa yang mereka kendarai, hingga fasilitas seksual sebagai gratifikasi. Maka, materi menjadi tujuan hidup, dan seiring makin kecilnya sumber daya dunia, sementara jumlah orang yang berkompetisi berdasarkan hasrat gratifikasi sensual meningkat, terciptalah apa yang menjadi karakter masyarakat kapitalis (Memahami Kelemahan Kapitalisme, Adnan Khan, hal. 64).


Kapitalisme mengajarkan bahwa bila individu di tengah masyarakat mengejar kepentingan pribadinya, maka sumber daya yang diperlukan pun diproduksi untuk mereka yang memerlukannya. Ini merupakan cara terbaik untuk mengalokasi sumber daya. Filsafat kapitalis meyakini juga bahwa cara terbaik untuk mendistribusikan kekayaan dalam perekonomian ialah dengan membiarkan pasar mengatur alokasi melalui permainan suplai dan permintaan hingga kekayaan dengan sendirinya akan mengalir pada mereka yang membutuhkannya (Kutukan Globalisasi, Adnan Khan, hal. 77).


Cara distribusi sumber daya, yang menyangkut bagaimana barang dan jasa diberikan kepada publik, apakah diberikan kepada orang kaya atau miskin, aristrokrat atau tuan tanah, dan sebagainya, bukanlah suatu pokok bahasan yang berdasarkan realitas. Cara-cara yang menentukan bagaimana mendistribusikan kekayaan, bagaimana mendapatkannya, dan bagaimana mengeluarkan atau menguranginya (sistem ekonomi), tidak akan pernah bisa dilandaskan kepada realitas, karena realitas tidak menjelaskan masalah ini. Barang-barang dan bahan-bahan pembuatnya tidak bisa berbicara untuk mengatakan ke mana mereka harus pergi.


Tidak ada bukti yang menunjukkan bahwa hanya dengan melihat sepenuhnya barang dan jasa maka dapat menjadi cara memutuskan bagaimana barang dan jasa tersebut harus didistribusikan. Karena itulah jawabannya harus diambil dari sesuatu di luar realitas, yakin sistem keimanan atau ideologi (Ekonomi Islam, Adnan Khan, hal. 82). 


Pandangan ekonomi Islam yang unik secara ideologis dapat menghasilkan ciri khas masyarakat yang berbeda jika dibandingkan dengan masyarakat yang berbasis pada kapitalisme. Sistem ekonomi Islam diterapkan untuk memastikan pemenuhan kebutuhan dasar setiap individu seutuhnya, dan memungkinkan individu-individu agar dapat memenuhi kebutuhan akan kemewahan secepat mungkin. Berdasarkan perspektif ini, Islam memperhatikan masyarakat secara individual, bukan keseluruhan. Ini berarti bahwa kebijakan ekonomi harus diarahkan untuk melayani semua orang, tidak menyerahkan mekanisme kepada pasar begitu saja. Tujuan ini dicapai melalui seperangkat aturan yang dimiliki Islam dalam distribusi kekayaan dan keterlibatan pemerintah di dalam ekonomi untuk memastikan ekonomi berjalan pada jalur yang ditetapkan Islam (Ekonomi Islam, Adnan Khan, hal. 83).


Keseimbangan ekonomi dalam Islam tidak dilihat dari kemampuan pemenuhan masyarakat secara agregat melalui perhitungan GNP, GDP, atau perhitungan makro lainnya. Penyamarataan kuantitas kekayaan juga tidak diperlukan karena akan tercapai kondisi-kondisi ideal keseimbangan dalam masyarakat secara alamiah.


Kondisi pertama, kekayaan yang ada dalam masyarakat bisa mencukupi kebutuhan rakyat baik secara individu maupun secara keseluruhan populasi. Kondisi kedua, saat masyarakat seluruhnya melaksanakan hukum-hukum syariat secara sempurna dalam semua aspek kehidupan. Sebab, jika kekayaan itu sendiri tidak ada, bagaimana mungkin memenuhi kebutuhan seluruh masyarakat dan bagaimana mungkin kekayaan terdistribusikan merata jika pribadi masyarakat serakah, individualis, egois, dan tidak melaksanakan hukum syariat (Pengantar Ekonomi Islam, M. Ismail Yusanto dan M. Arif Yunus, hal. 165—168) 


Ketidaksetaraan ekonomi bisa muncul jika perbedaan alami dalam kemampuan fisik dan kecerdasan tidak diatasi dengan baik. Hal ini akan memicu penyimpangan pelaksanaan sistem ekonomi Islam. Sebagai konsekuensinya, langkah-langkah pendistribusian kekayaan yang terencana dibutuhkan untuk mengurangi jurang sosial ekonomi yang lebar dalam komunitas.


Sebagai negara pelayan rakyat, penguasa dalam Islam bertanggung jawab atas jalannya sistem ekonomi secara optimal. Pemerintah harus mampu menjamin kebutuhan pokok setiap rakyatnya, membagikan harta orang kaya kepada fakir miskin yang berhak, serta mengawasi pemanfaatan kepemilikan umum maupun negara. Dalam ajaran Islam, distribusi kekayaan yang merata hingga menjangkau seluruh masyarakat adalah sebuah kewajiban. Pemimpin memiliki tanggung jawab untuk memastikan kekayaan tidak hanya berputar di kalangan terbatas, sesuai dengan perintah Allah Swt. dalam TQS al-Hasyr ayat 7, "... supaya harta itu jangan hanya beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kalian."






Posting Komentar

0 Komentar