Korupsi Sampah, Bukti Sistem Rusak: Islam Jadi Solusi



#Tangsel — Kasus korupsi kembali mencoreng wajah pemerintahan daerah di Indonesia. Baru-baru ini, Kejaksaan Tinggi Banten menetapkan Kepala Dinas Lingkungan Hidup Kota Tangerang Selatan, Wahyunoto Lukman, sebagai tersangka dalam perkara dugaan korupsi pengelolaan dan pengangkutan sampah tahun anggaran 2024 dengan nilai fantastis mencapai Rp75,9 miliar. Modusnya pun sangat mencederai amanah publik. Sampah dari wilayah Tangerang Selatan dibuang begitu saja ke sejumlah lahan kosong di berbagai wilayah, di antaranya Tangerang, Bogor, dan Bekasi, tanpa adanya proses pengelolaan sesuai ketentuan.


Ironisnya, perusahaan yang digandeng oleh pemerintah daerah, yakni PT EPP, diduga tidak memiliki kelayakan teknis maupun administrasi untuk menjalankan proyek besar tersebut. Perusahaan ini tidak memiliki fasilitas dan kapasitas pengelolaan sampah sesuai standar, bahkan item pekerjaan yang tertera dalam kontrak pun tidak dilaksanakan sebagaimana mestinya. Dugaan persekongkolan antara pihak pemerintah kota dengan perusahaan ini pun makin kuat setelah penyidik menemukan berbagai kejanggalan dalam pelaksanaan kontrak kerja sama (news.detik.com, 15/04/2025).


Kasus ini hanyalah salah satu potret dari sekian banyak kasus korupsi yang mencuat di Indonesia. Sayangnya, korupsi di negeri ini bukan sekadar kejahatan individu, tetapi telah bertransformasi menjadi penyakit sistemik yang mengakar kuat. Bukan hanya di tingkat pusat, tetapi juga hingga ke pelosok pemerintahan daerah. Semua itu terjadi lantaran sistem yang diterapkan saat ini membuka celah lebar bagi praktik-praktik kotor tersebut.



Kapitalisme: Akar Masalah Korupsi


Salah satu akar persoalan ini tak bisa dilepaskan dari ideologi kapitalisme yang saat ini menjadi dasar sistem kehidupan di berbagai negara, termasuk Indonesia. Kapitalisme memosisikan materi dan keuntungan finansial sebagai tujuan utama dalam berbagai aktivitas. Ketika keuntungan dari jalur legal terasa kurang memuaskan, para pelaku korupsi tak segan-segan mencari jalan pintas, meskipun harus melanggar aturan, hukum, bahkan norma agama sekalipun.


Budaya materialistis ini melahirkan mentalitas serakah. Keberhasilan seseorang diukur dari seberapa besar harta yang berhasil dikumpulkan, bukan dari integritas atau kontribusi bagi masyarakat. Dalam sistem ini, jabatan sering kali dipandang sebagai alat untuk memperkaya diri dan kelompok, bukan sebagai amanah yang harus dipertanggungjawabkan di hadapan manusia dan Sang Pencipta.


Lebih dari itu, sistem hukum sekuler yang saat ini diterapkan pun cenderung lunak terhadap pelaku kejahatan korupsi. Hukuman bagi koruptor bisa dinegosiasikan, bahkan peluang untuk bebas lebih cepat dari masa hukuman yang seharusnya kerap terjadi. Belum lagi praktik jual beli jabatan dan kepentingan politik yang mengatur proses penegakan hukum. Kondisi ini membuat pemberantasan korupsi berjalan setengah hati.


Kasus-kasus besar sering kali luput dari pengawasan atau ditangani dengan sangat lambat. Sebaliknya, kasus-kasus kecil di daerah justru cepat terbongkar. Sayangnya, tindakan ini tak lebih dari sekadar formalitas untuk menunjukkan bahwa pemerintah serius dalam memberantas korupsi. Kenyataannya, kepercayaan publik terhadap lembaga penegak hukum terus menurun seiring dengan berbagai polemik yang terjadi.



Islam: Solusi Menyeluruh Pemberantasan Korupsi


Di tengah kondisi yang makin memprihatinkan ini, Islam hadir menawarkan solusi yang bersifat fundamental dan menyeluruh. Islam memandang korupsi bukan hanya sebagai tindak pidana yang merugikan negara dan masyarakat, tetapi juga sebagai dosa besar yang mendatangkan murka Allah Swt.. Oleh karena itu, penanganan korupsi dalam Islam tidak cukup hanya dengan sanksi fisik, tetapi juga melalui pembinaan moral dan ketakwaan individu.


Sistem peradilan Islam menerapkan prinsip persanksian yang tegas dan efektif. Hukuman dalam Islam memiliki dua fungsi utama, yaitu sebagai zawajir (pencegah) agar orang lain tidak melakukan pelanggaran serupa, dan sebagai jawabir (penebus) bagi pelaku, sehingga dosa yang diperbuat dapat diampuni setelah menjalani sanksi di dunia.


Lebih dari itu, sistem Islam membangun ketakwaan dalam diri setiap individu. Rasa takut kepada Allah Swt. dan keyakinan akan adanya hisab di akhirat menjadikan seseorang berhati-hati dalam setiap tindakan. Pelaku kejahatan tidak akan tahan berlama-lama memikul beban dosa dan biasanya akan segera bertaubat serta menyerahkan diri untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya di dunia sebelum diadili di akhirat.


Kondisi ini sangat kontras dengan kenyataan di Indonesia saat ini. Para koruptor tidak hanya tak jera, tetapi bahkan kerap mengulangi perbuatannya setelah bebas. Celakanya, sebagian dari mereka malah kembali menduduki posisi strategis di pemerintahan atau lembaga negara.



Menegakkan Sistem Islam: Menyelamatkan Negeri


Fakta demi fakta tentang korupsi di Indonesia menunjukkan bahwa permasalahan ini bukan sekadar persoalan teknis atau kelemahan individu, tetapi merupakan akibat dari penerapan sistem sekuler kapitalistik yang rusak. Oleh karena itu, solusi yang ditawarkan pun harus bersifat sistemik dan mendasar.


Sudah saatnya Indonesia, sebagai negeri dengan jumlah penduduk muslim terbesar di dunia, berani mengambil langkah nyata dengan menerapkan sistem Islam secara kafah. Sistem ini telah terbukti berhasil menciptakan masyarakat yang adil, sejahtera, dan bebas dari korupsi selama berabad-abad dalam sejarah peradaban Islam.


Sistem Islam tak hanya mengatur persoalan ibadah dan akhlak, tetapi juga sistem pemerintahan, ekonomi, peradilan, serta hubungan internasional. Semua diatur berdasarkan wahyu Ilahi, bukan hawa nafsu manusia yang sering kali dipenuhi ambisi dan kepentingan pribadi.


Hanya dengan penerapan sistem Islam secara menyeluruh, negeri ini dapat terbebas dari lingkaran setan korupsi yang telah lama mencengkeram. Korupsi tak lagi dianggap hal lumrah, tetapi dipandang sebagai kejahatan besar yang harus ditindak tegas dan menjadi aib di mata masyarakat.[]




Noor Hidayah

Posting Komentar

0 Komentar