#Jakarta — Sebuah video viral memperlihatkan aksi perundungan brutal. Seorang remaja tergeletak di atas aspal, menjerit kesakitan, sementara beberapa pelaku menjambak rambutnya, memukul, dan menendangnya tanpa ampun. Peristiwa memilukan ini terjadi di Tanah Sareal, Tambora, Jakarta Barat, dan dikonfirmasi oleh Kasat Reskrim Polres Metro Jakarta Barat, AKBP Arfan Zulkan Sipayung. Tiga pelaku telah ditangkap (kompas.com, 15/04/25). Namun luka, baik fisik maupun batin masih membekas.
Ironisnya, perundungan bukan lagi kasus langka. Justru sebaliknya, jumlahnya terus meningkat dan bentuknya kian beragam. Mulai dari kekerasan fisik, verbal, sosial, hingga pelecehan seksual. Padahal, secara hukum, tindakan bullying sudah diatur dan dilarang tegas dalam Pasal 76 C Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak, serta beberapa pasal dalam KUHP seperti Pasal 351, 352, dan 170. Bahkan di ranah digital, Undang-Undang ITE juga telah direvisi melalui Pasal 27A dan 27B dalam UU Nomor 1 Tahun 2024.
Namun, realitasnya sungguh mengecewakan. Meski aturan ditegakkan, efek jera masih belum terasa. Kasus terus bermunculan, dan pelaku terus bertambah. Lalu, di mana letak masalahnya?
Remaja adalah harapan masa depan, pemegang tongkat estafet kepemimpinan bangsa. Mereka seharusnya tumbuh dengan nilai-nilai takwa dan integritas. Sayangnya, kini banyak remaja justru tenggelam dalam dunia gelap narkoba, tawuran, kekerasan, seks bebas, LGBT, bahkan aborsi. Seolah-olah masa depan yang cerah digantikan oleh kabut suram yang pekat.
Fenomena ini tentu tidak terjadi begitu saja. Akar masalahnya lebih dalam—adanya sebuah sistem kehidupan yang dibangun di atas fondasi sekularisme—paham yang memisahkan agama dari kehidupan publik dan negara. Sekularisme menyingkirkan peran agama dalam mengatur urusan manusia, membiarkannya berjalan tanpa arahan Ilahi, seolah-olah akal manusia cukup menjadi penuntun segala hal.
Padahal, remaja adalah peniru ulung. Dalam usia pencarian jati diri, mereka sangat mudah menyerap nilai dari lingkungan. Tanpa arah yang jelas, mereka mencari eksistensi di dunia yang dijejali tayangan kriminalitas dan hiburan kosong. Sejak runtuhnya Khilafah Islam pada 1924, remaja muslim kehilangan arah, jauh dari nilai-nilai Islam yang seharusnya membentuk pola pikir dan sikap hidup mereka.
Negara, sayangnya, hanya bergerak di permukaan. Solusi yang ditawarkan kerap bersifat reaktif dan tambal sulam. Undang-undang dibuat, tapi pelaksanaannya longgar, terutama ketika pelaku masih di bawah umur. Kurikulum pendidikan pun tidak membentuk akidah yang kuat karena diadopsi dari sistem sekuler Barat yang jauh dari nilai-nilai Islam.
Maka tak heran jika hasilnya adalah generasi rapuh—mudah terombang-ambing oleh arus globalisasi dan modernitas semu. Jika sistem saat ini terbukti gagal melahirkan generasi emas, maka saatnya beralih kepada sistem yang berasal dari Zat yang menciptakan manusia—Islam—.
Islam adalah agama yang sempurna, diturunkan oleh Allah Swt. untuk mengatur seluruh aspek kehidupan. Dalam sistem Islam, pendidikan dimulai dengan menanamkan akidah Islam sejak dini. Tujuannya bukan sekadar mencetak anak yang cerdas, tapi membentuk pribadi bertakwa yang sadar akan tanggung jawab dunia dan akhirat.
Remaja yang dibekali pemikiran Islam akan memiliki pola pikir dan pola sikap yang kokoh. Mereka akan tumbuh menjadi pribadi saleh dan salehah yang takut akan murka Allah dan menjauhi perbuatan dosa.
Dalam sistem Islam, negara juga berperan sebagai perisai umat. Ia bukan hanya membuat kurikulum berbasis akidah, tetapi juga menegakkan sanksi tegas yang memberikan efek jera serta menjadi penebus dosa di akhirat. Pemerintah aktif menyaring semua tayangan publik; hanya yang sesuai syariat yang boleh disiarkan. Melalui departemen khusus, media diaudit ketat untuk mencegah penyebaran kemaksiatan.
Akan tetapi, peran negara saja tidak cukup. Keluarga adalah pondasi utama pembentukan karakter. Orang tua dalam Islam tidak hanya menjadi pengasuh, tapi juga pendidik utama yang dituntut membimbing anak menuju keselamatan dunia dan akhirat. Allah Swt. berfirman:
“Wahai orang-orang yang beriman! Peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya manusia dan batu…” (QS at-Tahrim: 6)
Ayat ini menjadi seruan tegas bagi setiap orang tua muslim agar menjadikan Islam sebagai pondasi dalam pengasuhan.
Masyarakat pun memegang peranan penting dalam sistem Islam. Budaya amar makruf nahi mungkar tumbuh subur, membentuk lingkungan yang mendukung ketakwaan. Dalam perspektif Islam, remaja bukan beban, tetapi aset peradaban. Mereka adalah calon pemimpin dunia yang akan menorehkan tinta emas sejarah—jika dan hanya jika, sistem Islam diterapkan secara menyeluruh (kafah) melalui institusi Khilafah.
Jika kita benar-benar menginginkan generasi yang kuat, bermoral, dan berkualitas, maka sudah waktunya kita berani mengambil langkah besar dengan berpaling dari sistem rusak buatan manusia dan kembali pada sistem Ilahi yang telah terbukti menyejahterakan umat selama berabad-abad.[]
Euis Hasanah
0 Komentar