Zindy
#Tangsel
— Ironis. Indonesia sebagai negara dengan penduduk mayoritas muslim
mendapatkan skor Indeks Persepsi Korupsi atau Corruption Perception Index
(CPI) yang sangat rendah. Skor Indonesia adalah 31,2 dari skala 1-100. Makin tinggi indeks suatu negara maka negara tersebut
makin dipersepsikan bersih dari korupsi. Di Asia Pasifik, skor Indonesia berada
tepat di bawah India dan di atas Nepal (worldeconomics.com, 2025).
Berita tentang tindak korupsi sudah seperti makanan
sehari-hari bagi masyarakat Indonesia; dari korupsi dana haji hingga sampah.
Salah satu yang belum lama ini terkuak adalah kasus korupsi terkait pengelolaan
sampah di Kota Tangerang Selatan (Tangsel), Banten. Kasus ini melibatkan Dinas Lingkungan Hidup
(DLH) Tangsel yang melakukan pekerjaan pengangkutan dan pengelolaan sampah,
bekerja sama dengan pihak ketiga. Kepala DLH Tangsel, Wahyunoto Lukman sebagai pihak pemberi
pekerjaan disinyalir melakukan persekongkolan dengan Direktur PT Ella Pratama
Perkasa (EPP), Syukron
Yuliadi Mufti sebagai pihak penyedia barang dan jasa. Wahyunoto diduga
melakukan kecurangan dalam proses pengadaan dengan tujuan memenangkan PT EPP
dalam proses lelang. PT EPP kemudian
mendapatkan kontrak senilai Rp75.940.700.000 (tujuh puluh lima miliar sembilan
ratus empat puluh juta tujuh ratus ribu rupiah). Namun, PT EPP tidak
menjalankan pekerjaan pengelolaan sampah sesuai ketentuan, dan tidak melakukan
distribusi sebagian besar sampah ke lokasi yang sesuai dengan kriteria tempat
pemrosesan akhir (TPA). PT EPP juga
mengalihkan pekerjaan utamanya kepada beberapa pihak lain, padahal dalam surat
perjanjian atau kontrak hal tersebut tidak dibolehkan.
Orientasi Bisnis dan Celah Korupsi
Tak dipungkiri bahwa Indonesia saat ini menerapkan sistem
kapitalisme. Sistem
ini mendorong penguasa untuk menjalankan tugasnya dengan orientasi bisnis,
alih-alih kepentingan rakyat.
Contohnya saat terjadi penumpukan sampah di Pasar Ciputat
yang tidak kunjung ditangani. Alih-alih
diangkut ke TPA, sampah dari luar malah ditampung di sana hingga
menggunung. Hal ini merugikan masyarakat
termasuk para penjual di pasar tersebut.
Ditambah lagi, DLH Tangsel sebagai dinas pemerintah kota yang seharusnya
menangani sampah, malah memanfaatkan proyek pengelolaan sampah untuk keuntungan
pribadi, yang merugikan negara dan rakyat. Ini menunjukkan bahwa kualitas
pejabat pemerintah tidak amanah. Pejabat
pemerintah yang seharusnya memberikan layanan publik tidak menjalankan tugasnya
tetapi malah
berlaku curang dan merugikan negara dan rakyat.
Kapitalisasi Sampah
Penerapan sistem kapitalisme telah menutup banyak pintu yang
seharusnya menjadi jalan masuk bagi pendapatan negara. Dalam sistem ini,
pemasukan utama negara berasal dari pajak dan utang. Pemerintah menjadi sangat
bergantung pada investasi asing, dan menjadikan negeri ini sebagai ladang
bisnis bagi asing. Padahal masuknya dana asing harus disikapi dengan
kewaspadaan. Sebab ia berpotensi menjadi alat penjajahan nonfisik yang
digunakan dalam imperialisme gaya baru.
Pengelolaan sampah di Indonesia dianggap sebagai peluang
bisnis yang menarik banyak investor asing. Beberapa daerah sudah melakukan
kerja sama dengan investor asing. Contohnya, Pemerintah Kabupaten (Pemkab)
Kudus Jawa Tengah bekerja sama dengan investor dari Denmark, Pemkab Ciamis Jawa
Barat dengan investor dari Korea Selatan, dan Pemkot Palu Sulawesi Tengah
dengan investor dari Eropa & Amerika.
Negara-negara seperti Singapura, Jepang, Tiongkok, hingga Eropa disebut
antre untuk masuk ke sektor pengolahan sampah menjadi energi listrik, dan
Indonesia bersiap untuk memperbaiki sistem birokrasinya untuk mempermudah
masuknya investasi asing tersebut
(menitini.com, 11/04/2025).
Hal
tersebut menunjukkan bahwa negara memandang pengelolaan sampah yang seharusnya
berorientasi pada kepentingan rakyat dikapitalisasi menjadi bisnis untuk meraih
keuntungan. Chief Investment Officer
(CIO) Daya Anagata Nusantara (Danantara), Pandu Sjahrir mengatakan bisnis
pengolahan sampah menjadi energi bisa balik modal dalam waktu 5-6 tahun. Dalam mendukung bisnis pengolahan sampah
menjadi energi listrik lewat pembangkit listrik tenaga sampah (PLTSa),
pemerintah akan memangkas birokrasi melalui skema Perpres, termasuk mengatur
biaya listrik dari PLTSa (antaranews.com, 11/04/2025).
Benar ada beberapa manfaat dalam pengolahan sampah
menjadi energi listrik di antaranya mengurangi pencemaran, mengurangi risiko
penyakit yang ditimbulkan oleh sampah, dan melestarikan sumber daya lahan dan air karena sampah
tidak ditumpuk di TPA. Namun, energi listrik yang
dihasilkan dari sampah justru akan dijual oleh pemerintah kepada rakyat. Jadi, yang dikatakan “balik modal” adalah
orientasi bisnis negara dengan menjual kebutuhan rakyat kepada rakyatnya
sendiri. Inilah tabiat dari kapitalisme.
Tanggung Jawab Negara
Sampah adalah salah satu dari sekian banyak urusan rakyat
yang menjadi tanggung jawab negara.
Sampah yang menumpuk selain merugikan secara estetika (merusak
pemandangan) juga merugikan lingkungan (menimbulkan pencemaran) dan berpotensi
menjadi masalah kesehatan (sumber penyakit). Maka pemerintah harus memiliki
mekanisme pengelolaan sampah yang baik agar sampah tidak menimbulkan
kerugian-kerugian tersebut. Sementara
pengelolaannya menjadi beban negara, bukan beban rakyat. Namun, dalam sistem
kapitalisme, tanggung jawab negara dibebankan kepada rakyat. Dalam hal ini, negara menarik pajak dari
rakyat, berencana bekerja sama dengan investor asing dengan energi listrik yang
dihasilkan dari kerja sama tersebut akan dijual kepada rakyat dengan orientasi
keuntungan bisnis. Artinya, rakyat dibebani membiayai modal negara dengan
membayar pajak, lalu harus merogoh kocek lagi untuk membeli kembali hasilnya
demi keuntungan negara, alih-alih keuntungan rakyat.
Islam mengharamkan penguasa menarik pajak dari
rakyat. Sumber pemasukan Daulah Islam
bukan dari pajak tapi
dari banyak sumber, salah satunya adalah sumber daya alam (SDA). Dalam Islam SDA wajib dikelola oleh negara,
bahkan haram dimiliki swasta atau asing seperti saat ini. Indonesia memiliki kekayaan SDA yang
melimpah. Tapi kekayaan itu tidak
tecermin pada kondisi rakyatnya. Padahal
jika dikelola sesuai dengan syariat Islam, hasil SDA akan menjadi pemasukan
negara yang bisa menjamin kesejahteraan rakyat.
Contohnya, dalam pengolahan sampah, biaya yang dibutuhkan
bisa diambil dari baitulmal sehingga negara tidak perlu menarik pajak dari
rakyat dan “mengemis” kepada asing. Hal
ini juga menutup celah ancaman terhadap kedaulatan negara akibat bergantung
kepada asing. Energi yang dihasilkan
melalui PLTSa pun dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan listrik rakyat dengan
biaya yang terjangkau.
Islam Solusi Kehidupan
Penerapan syariat Islam secara menyeluruh akan menghasilkan
paradigma berpikir yang berorientasi kepada akhirat dan menghasilkan pejabat negara yang
amanah. Ia tidak akan berani mengkhianati rakyat dengan berlaku curang dan
melakukan korupsi dalam menjalankan tugasnya, sebab hal itu berarti ia
berkhianat kepada Allah dan Rasul-Nya.
Maka solusi untuk kasus korupsi bukanlah dengan menaikkan
gaji pejabat, mengadakan pelatihan/penataran untuk pejabat, atau tambal sulam peraturan.
Satu-satunya cara menyelesaikan kasus korupsi, termasuk dalam pengelolaan
sampah adalah dengan menerapkan Islam secara menyeluruh (kafah) di segala aspek
kehidupan. Wallahualam bissawab.[]
0 Komentar