Suprastruktur Ketahanan Pangan Berkelanjutan dalam Islam

 


Rini Sarah


#Wacana — Gerakan Indonesia Menanam (Gerina) yang digagas oleh Ustaz Adi Hidayat seperti angin segar dalam dunia pangan Indonesia. Program kolaboratif antara ulama dan pemerintah ini ditujukan agar masyarakat sadar dan berperan aktif dalam menanam, menumbuhkan, hingga memanen tanaman pangan. Tujuan jangka panjangnya agar terwujud ketahanan pangan dalam keluarga hingga mendukung komitmen Indonesia menuju swasembada pangan. (indopublik.id, 25/04/2025)


Pelajaran

Swasembada pangan sebenarnya bukan isu baru bagi bangsa ini. Zaman Orde Baru di bawah kepemimpinan Presiden Soeharto, Indonesia pernah berhasil. Indonesia awalnya negara pengimpor beras terbesar di dunia pada tahun 1970-an, berubah menjadi negeri swasembada beras pada tahun 1984, bahkan bisa menyumbang 100.000 ton beras untuk korban kelaparan negara Afrika. Atas prestasi ini, Presiden Soeharto mendapatkan penghargaan dari FAO. 


Hanya saja, hal ini tidak berlangsung lama. Ketahanan pangan yang dimaknai terlalu sempit dituding para ahli sebagai penyebabnya. Ketahanan pangan  kala itu dimaknai sebagai stabilnya harga beras saja. Harapannya dengan harga yang stabil bisa menghantarkan kepada pemerataan yang muncul dengan sendirinya. Ternyata, ketahanan pangan dengan swasembada itu tidak sesederhana demikian. (tirto.id, 25/09/2025)


Pada tataran yang lebih teknis, swasembada gagal karena faktor berikut, adanya perubahan paradigma pembangunan dari agraris menjadi industri. Hal ini mengakibatkan  investasi dan perhatian pada sektor pertanian menurun. Selain itu, lahan juga banyak yang mengalami alih fungsi.(historia.id, 30/03/2021)


Penurunan produktivitas lahan akibat pemakaian pupuk kimia berlebihan, abai terhadap prinsip keberlanjutan seperti penggunaan pupuk kimia, irigasi berlebihan serta pembukaan lahan gambut demi mengejar produksi beras, perubahan kebijakan yang meminimalisasi peran Bulog serta mulai membuka kran impor, liberalisasi sektor pertanian yang melepas harga pangan pada mekanisme pasar menyebabkan harga pangan tak terkendali lalu petani kecil tidak mampu bersaing, jumlah petani yang makin sedikit,  korupsi, mismanajemen pendanaan, krisis ekonomi, dan korupsi juga dituding sebagai faktor yang menyebabkan bulan madu swasembada beras tak berlangsung lama.


Eva Kusuma Sundari bahkan mengatakan bahwa program swasembada beras pada era Orba salah kaprah. Selain karena dilakukan secara represif hingga petani tidak punya kebebasan dalam menanam tanaman, terjadi juga perberasan (beras-isasi). Lagi pula, pendanaan program juga dibiayai oleh utang yang dampaknya masih terasa hingga sekarang. (cnnindonesia.com, 20/11/2018)


Sinergi

Prof. Fahmi Amhar, Peneliti dari BIG, mengatakan bahwa pertanian membutuhkan lahan, air, dan infrastruktur. Tanpa lahan, di mana kita akan menanam. Tanpa air tak ada kehidupan. Tanpa infrastruktur seperti jalan atau pasar bagaimana hasil pertanian bisa dijual. Hal ini membutuhkan pengaturan tata ruang. (fahmiamhar.com)


Masalah lahan adalah masalah pertanahan. Saat ini mayoritas petani adalah petani penggarap yang tidak punya tanah. Memang saat ini ada UU Agraria, tapi UU ini kalah saing dengan UU Penanaman Modal yang memperbolehkan investor asing mendapat Hak Guna Usaha hingga 95 tahun. Selain itu saat ini tanah dijadikan objek spekulatif, hingga petani kehilangan tanahnya akibat terjerat riba utang rentenir.


Pertanian butuh air. Tanpa air tanaman tak akan hidup. Oleh karenanya, butuh penjagaan sumber daya air dan teknologi distribusi air seperti irigasi yang memadai. Selain itu air juga harus dijaga kelestariannya dengan tidak merusak alam agar tidak terjadi bencana hidrologi yang menyebabkan gagal panen. 


Pertanian juga membutuhkan SDM. SDM andal yang dididik agar mempunyai kemampuan bercocok tanam yang andal sekaligus menguasai teknologi pertanian. Petani juga harus cerdas pasar agar tidak diakali oleh tengkulak. Tak lupa, petani juga harus dididik cerdas politik agar meraka bisa mengenali pemimpin dan sistem politik apa yang ramah terhadap pertanian. Hal ini akan sulit jika lembaga pendidikan berasaskan sekularisme dan diset sebagai BHMN yang hanya bisa diakses oleh orang yang bisa membayarnya.


Teknologi juga sangat diperlukan dalam pertanian. Teknologi ini mencakup teknik persiapan lahan, perbenihan, perpupukan, pemberantasan hama, pascapanen, hingga teknologi untuk mengetahui perkembangan pasar maupun teknologi pertanian itu sendiri, seperti e-agro. Dalam pengembangan teknologi ini diperlukan negara yang siap mendanai berbagai riset dan penerapannya.


Terakhir yang tak kalah pentingnya adalah sosial ekonomi. Pertanian harus dipandang sebagai rantai pasokan dari petani hingga end-user. Itu harus dilembagakan dengan sebuah kontrak. Jika tidak demikian, maka pola pertanian tidak akan berkelanjutan. Harga akan mudah dimainkan baik di pasar komoditas maupun di bursa komoditas berjangka. Di sini perlu perlindungan pasar bagi berbagai komoditas termasuk pangan, agar tidak terjadi distorsi yang merugikan petani dan pengguna akhir.


Islam

Islam memiliki paradigma khas terkait sektor pertanian. Penyediaan lahan pertanian akan sangat mudah dalam Islam. Selain penguasa yang akan membuat kebijakan yang proper dalam tata ruang, kepemilikan lahan pertanian bisa diperoleh tanpa uang. Ada syariat menghidupkan tanah mati dan pemberian negara. Tentu saja jual beli lahan pertanian tetap diperbolehkan, hanya penyewaan lahan pertanian yang tidak diperbolehkan.

 

Hukum syariat lahan pertanian juga dilekatkan pengelolaannya pada pemiliknya. Negara melarang pemilik tanah menelantarkan lahan pertaniannya. Jika penelantaran itu berlangsung tiga tahun, maka negara akan mengambilnya dan memberikan pada yang bisa mengelolanya agar tidak ada lahan yang tidak produktif. 


Jika petani mengalami kesulitan pemodalan, maka penguasa akan memberikannya lewat baitulmal. Sebagaimana dilakukan oleh Khalifah Umar bin Khaththab pada petani di Irak. Untuk teknologi, negara akan menyediakan dana yang cukup untuk melakulan riset dan mengadopsi teknologi terbaru. Sumber dana bisa diambil dari baitulmal atau warga negara yang melakukan riset secara individual lalu hasilnya diwakafkan kepada negara.


Sisi pembentukan SDM, negara Islam akan menyediakan pendidikan gratis. Kurikulum berdasarkan akidah dan ideologi Islam plus mengajarkan juga ilmu pengetahuan dan teknologi. Hingga kebutuhan akan SDM yang mumpuni dalam bidang pangan sekaligus cerdas pasar dan politik akan bisa dipenuhi.


Penyediaan air pun tak usah khawatir. Dalam Islam, air dan perairan termasuk dalam barang milik umat. Penggunaan dan pelestariannya akan diawasi oleh negara hingga semua bisa mengaksesnya dengan mudah dan murah.


Dalam proses pemasaran, Islam akan akan melakukan pengawasan pasar dengan menerjunkan Qodi Muhtasib. Qodi Muhtasib adalah hakim yang akan menegakkan keadilan dalam praktik perdagangan dan hak umum lainnya.  Islam juga melarang praktik penimbunan guna mengakali harga, intervensi harga, pemberian harga yang tak masuk akal (Ghabn fahisy), penipuan (tadlis). Lalu, Islam pun akan memudahkan akses informasi pasar, agar petani bisa mengetahui apa pun yang terjadi di pasar hingga tidak ada pihak-pihak yang bisa mengelabuinya.


Inilah suprastruktur Islam yang bisa diandalkan dalam sistem ketahanan pangan dan swasembada yang berkelanjutkan. Jika ini kembali dalam kehidupan kita, Insya Allah, swasembada pangan tak akan berujung hanya mimpi.[]


Posting Komentar

0 Komentar