Annisa B. Suciningtyas
#Wacana — Melangsir dari laman kompas.com (02/06/2025), Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menetapkan anggaran biaya pemerintahan untuk tahun 2026. Ketentuan ini tercantum dalam PMK Nomor 32 Tahun 2026, yang menetapkan anggaran konsumsi rapat koordinasi (rakor) setingkat menteri sebesar Rp171.000 per orang, dengan rincian Rp118.000 untuk makanan utama dan Rp53.000 untuk snack.
Penetapan anggaran konsumsi ini tentu saja cukup menyita perhatian publik. Angka-angka tersebut menjadi sorotan tajam di tengah kondisi ekonomi rakyat yang makin sulit akibat adanya inflasi yang terus menggerus daya beli, serta kebijakan-kebijakan pemerintah yang dinilai makin membebani rakyat. Saat rakyat berjuang mencukupi kebutuhan dasar, kebijakan semacam ini malah menunjukkan adanya ketimpangan.
Wajar saja jika publik mempertanyakan urgensi dari alokasi anggaran konsumsi rapat yang terkesan mewah ini. Sementara itu, pemerintah terus menetapkan kebijakan-kebijakan yang berdampak langsung ke rakyat kecil, seperti kenaikan harga bahan pokok, pemangkasan subsidi, serta berbagai pungutan yang merambah ke sektor pendidikan dan kesehatan.
Kebijakan ini juga menunjukkan ironi nyata gagalnya suatu sistem. Ketika pemerintah begitu gencar mengampanyekan efisiensi anggaran dan penghematan dalam belanja negara. Namun di sisi lain, alokasi dana untuk konsumsi pejabat justru tetap tinggi, seolah anggaran tersebut tidak tersentuh oleh kebijakan efisiensi yang sedang disuarakan pemerintah. Ketika masyarakat mengencangkan ikat pinggang menahan lapar, para elite justru menikmati sajian mewah.
Kondisi ini sangat berbeda jauh dengan masa Kekhalifahan Umar bin Khattab. Dalam masa kepemimpinannya, wilayah Madinah pernah mengalami krisis pangan akibat musim kemarau yang berkepanjangan. Dengan sengaja Umar bin Khattab menahan diri dari mengonsumsi daging, minyak samin, dan susu hingga musim paceklik berakhir. Baginya, seorang pemimpin tidak layak hidup nyaman ketika rakyatnya menderita.
Bagi Amirul Mukminin, seorang pemimpin tidak akan benar-benar mampu memperjuangkan nasib rakyat jika ia sendiri tidak merasakan penderitaan yang dialami rakyat. Inilah bentuk nyata dari kepemimpinan dalam Islam—yakni pemimpin sebagai pelayan umat—bukan penguasa yang dilayani. Kepedulian Umar mencerminkan bagaimana sistem Islam membentuk karakter pemimpin yang amanah, sederhana, dan berorientasi pada kemaslahatan rakyat.
Berbanding terbalik dengan sistem kapitalisme yang diterapkan oleh negara saat ini. Dalam sistem kapitalisme, pejabat publik sering kali terpisah dari realitas hidup rakyatnya. Mereka hidup nyaman dengan fasilitas mewah. Padahal, semua itu dibiayai dari uang rakyat. Sistem yang menempatkan kekuasaan sebagai alat untuk menikmati privilege, bukan sebagai amanah yang harus dipertanggungjawabkan. Karena itu, para khalifah dalam sejarah Islam dikenal hidup sederhana dan sangat berhati-hati dalam menggunakan harta negara. Mereka memprioritaskan kesejahteraan umat di atas kepentingan pribadi maupun kelompok.
Sedangkan Islam memiliki pandangan berbeda perihal kekuasaan dan kepemimpinan. Dalam sistem Islam (Khilafah), seorang pemimpin bukanlah penguasa yang dilayani, melainkan pelayan umat. Kepemimpinan dalam Islam bukan jalan untuk memperoleh kekayaan dan fasilitas, melainkan beban berat yang akan dihisab di akhirat. Karena itu, para khalifah dan pemimpin dalam sejarah Islam dikenal sebagai pribadi yang zuhud, sederhana, dan sangat menjaga keadilan serta kepentingan rakyat.
Kapitalisme tak akan pernah bisa melahirkan pemimpin seperti Umar bin Khattab, karena sistem ini dibangun di atas asas sekularisme dan kepentingan materi. Selama sistem ini tetap dipertahankan, selama itu pula rakyat akan terus menjadi korban dari keputusan yang tidak adil dan penuh kemewahan bagi segelintir elite penguasa. Maka, solusi mendasar bukan sekadar pergantian tokoh, melainkan mengganti sistem secara menyeluruh.
Kini saatnya umat Islam membuka mata terhadap sistem alternatif yang telah terbukti mampu menciptakan keadilan, kepemimpinan yang amanah, dan pemerintahan yang berpihak pada rakyat secara nyata. Sistem itu adalah sistem Islam—Khilafah—yang menjadikan syariat sebagai satu-satunya sumber hukum, dan menjadikan pemimpin sebagai pelayan, bukan penguasa. Sebab hanya dengan sistem Islam, kehormatan rakyat benar-benar dijaga dan uang negara tidak dihamburkan untuk kesenangan segelintir orang.[]
0 Komentar