Islamic Collaboration Forum: Pelajaran dari Hijrahnya sang Nabi




#Reportase — Islamic Collaboration Forum yang dilaksanakan pada Sabtu, 28 Juni 2025 menghadirkan K.H. Rokhmat S. Labib, M.E.I., Ustaz Ir. M. Ismail Yusanto, M.M., Prof. Dr. Suteki, S.H, M.M., dan Dr. Abdullah Hehamahua, S.H., M.M. Acara ini untuk menyambut tahun baru Hijriah dengan tema "Hijrah, Merajut Ukhuah, Merangkai Peradaban Islam Kafah". 


Untuk mendapatkan pencerahan yang lebih mendalam maka pembahasan hijrah dalam acara ini dibagi menjadi beberapa sudut pandang. Pertama, K.H. Rokhmat S Labib, M.E.I., menyampaikan bahwa ketiga poin dalam tema di acara tersebut dijadikan satu kesatuan menjadikan peringatan hijrah Nabi mempunyai esensi bukan hanya seremonial. 


Ustaz Labib menuturkan bahwa persaudaraan yang disyariatkan adalah Ukhuah Islamiyah, seperti yang telah difirmankan oleh Allah Swt. dalam Surah al-Hujurat: 10, ”Sesungguhnya orang-orang mukmin itu bersaudara, karena itu damaikanlah kedua saudaramu (yang bertikai) dan bertakwalah kepada Allah agar kamu dirahmati.


Menurut Fakhrun Arrazi, persaudaraan sesama muslim sangat kuat walaupun mereka bukan satu nasab. Ustaz Labib juga menyatakan bahwa dalam ayat di atas Allah Swt. memberikan pembatasan bahwa ukhuah itu hanya ada pada kaum mukmin saja, sedangkan hubungan antara mukmin dan kafir tidak ada ukhuah. Ia menegaskan bahwa ikatan persaudaran itu hanya ada dengan landasan akidah, karena ada kata mukminun dalam ayat tersebut.


Bentuk ukhuah menurutnya tidak hanya dalam aktivitas pribadi, tetapi juga dalam negara, layaknya masyarakat Gaza saat ini, mempunyai saudara yang banyak tapi tidak ada satu pun dari negeri Islam yang menolong secara nyata untuk mengerahkan kekuatan militer mereka.


Kemudian Ustaz Labib menjelaskan bahwa kafah itu merupakan keterangan dari sempurnanya Islam. Didapati adanya sistem pemerintahan dan mempunyai banyak penunjukkannya dalam banyak dalil. Antara lain nama beberapa surah dalam Al-Qur'an yang menujukkan bahwa Islam mempunyai konsep negara antara lain Surah an-Anfal (rampasan perang), Surah al-Fath (penaklukan), Surah an-Nashr (pertolongan) yang kesemuanya harus ada kekuatan negara dalam melakukannya. 


Kedua, Prof. Dr. Suteki, S.H., M.M., menjelaskan dari sudut pandang bagaimana mengadakan perubahan yang signifikan dan syariat kafah dapat diterima oleh nonmuslim. Menurutnya, negeri Islam tidak mempunyai ‘binding mutual agreement’ (perjanjian saling mengikat) alias tidak ada negara sekutu. Lihatlah Palestina yang negeri-negeri Islam tidak ada yang peduli. Faktor fundamentalnya adalah hukum internsional yang tidak berpihak pada dunia Islam. Hal ini karena pemimpin dunia mempunyai pandangan berbeda yang pandangan mereka adalah sekuler.  


Menurutnya kaum nonmuslim bisa saja menerima syariat sebagai dasar pemahamannya, hal ini didasari oleh artikel yang berjudul Rabi Yahudi Menginginkan Khilafah Kembali Lagi. Menurut Rabi tersebut, Islam memberikan kenyamanan pada masyarakat bukan hanya kepada kaum muslim, melainkan juga kepada nonmuslim yang minoritas.


Ketiga, Dr. Abdullah Hehamahua, S.H., M.M., menyoroti tentang kerusakan negeri dalam hal ini korupsi. Sebagai mantan penasehat KPK di masa SBY ini ia menyatakan bahwa sekitar 30% dari UU Tindak Pidana Korupsi sesungguhnya isinya adalah Ayat dan Hadis, tapi bukan berarti DPR islami, karena landasan aturannya berasal dari KUHP Belanda yang pernah dijajah Perancis dan Islam pernah masuk ke Perancis, sehingga itu adalah hanya nilai-nilainya yang dari Islam. 


Keempat, Ustaz Ir. M. Ismail Yusanto, M.M., mengambil sudut pandang dari pencarian arah dan visi perubahan terkait dengan hijrah, Ustaz Ismail menyatakan bahwa hijrah tidak hanya terkait atas nama individu, tapi lebih luas lagi yaitu masyarakat, dan hijrah adalah berpindah dari tatanan yang penuh dengan kemaksiatan kepada sistem Islam. Sehingga yang harus dilakukan adalah tiap individu muslim harus meningkatkan tsaqofah Islam (pengetahuan yang dasar pembahasannya adalah akidah).


Kemudian dapat diusahakan hijrah pemikiran dan bila sudah terbentuk, jangan dibiarkan untuk berhenti pada diri kita saja, tapi harus didakwahkan, karena kebangkitan umat adalah kebangkitan taraf berpikir. 


Selanjutnya, wajib untuk kelompok dakwah ideologis yang tidak hanya sekedar berbagi kebaikan, tapi juga mendakwahkan bahwa Islam merupakan solusi sistemik untuk melawan pemikiran rusak dan menyuarakan kembali ide-ide besar peradaban Islam. Kemudian kita harus membangun solidaritas lintas bangsa juga mahzab yag harus dikuasai adalah politik belah bambu.


Kemudian, Ustaz Ismail juga menyatakan bahwa Islam tidak menolak keberadaan politik, karena politik kekuasaan merupakan hal yang mutlak harus ada. Ustaz Ismail menyitir kitab Al-Iqtishad fi Al-I’tiqad tulisan Imam al-Ghazali yang menyatakan bahwa agama dan kekuasaan seperti saudara kembar layaknya dua keping mata uang yang tidak dapat dipisahkan, agama itu pondasi dan kekuasaan itu penjaga, apa yang tidak ada pondasi dia akan hancur dan apa yang tidak ada penjaga dia akan lenyap, sebagaimana saat ini Islam tanpa penjaga. 


Lalu Ustaz Ismail menerangkan tentang definisi kekuasan, seperti yang diterangkan Imam al-Mawardi, ia menuliskan dalam Al-Ahkam Al-Shulthoniyah bahwa kekuasan yang menjaga agama dan mengatur dunia dengan agama. Lalu peradaban yang diinginkan adalah peradaban Islam yang rahmatan lil alamin, kerahmatannya diwujudkan ketika Islam diterapkan secara kafah. 


Sebagai penutup dari acara ini diperkenalkan sebuah aplikasi dakwah yang berisi banyak sekali tulisan-tulisan yang menjelaskan bagaimana cara Islam mengatur segala masalah kehidupan.[RH]

Posting Komentar

0 Komentar