Hanin Syahidah
#CatatanRedaksi — MBG sudah berjalan 5,5 bulan, banyak kontroversi dan masalah yang ditimbulkan. Mulai dari dugaan korupsi dana MBG, seperti yang terjadi di dapur MBG Cilandak diduga merugi sampai 1 milyar meskipun akhirnya dibuka kembali. Di Sumenep, Madura dilaporkan juga berhenti beroperasi lantaran beban kerja sama besaran upah tidak sepadan. Kemudian yang terjadi di beberapa tempat kualitas makanan yang dihasilkan sangat buruk, banyak keracunan di mana-mana. Setidaknya 1.376 anak sekolah diduga menjadi korban keracunan Makan Bergizi Gratis (MBG) di berbagai daerah.
Pakar gizi masyarakat menyarankan agar program ini dihentikan sementara sambil menunggu evaluasi menyeluruh terhadap insiden keracunan yang terjadi di berbagai daerah. Hasil investigasi Dinas Kesehatan di Bandung, Bogor, dan Tasikmalaya di Jawa Barat serta Kabupaten Penukal Abab Lematang Ilir di Sumatra Selatan menemukan adanya kontaminasi bakteri Salmonella, E.coli, Bacilius cereus, Stapylococcus aereus, Bacillus subtilis, hingga jamur Candida tropicalis (bbc.com, 25/06/2025).
Kejadian ini menjadikan traumatis kepada orang tua sehingga mereka melarang anak-anak mereka untuk makan dari MBG. Tidak hanya itu, baru-baru ini, di Tangsel pembagian MBG jelang liburan sekolah dibagikan berupa bahan makanan mentah dan hanya snack makanan kering. Dilansir detik.com (23/06/2025), bahwa Program Makan Bergizi Gratis (MBG) di Sekolah Dasar Negeri Tangerang Selatan melakukan perubahan menu dari bahan mentah menjadi makanan ringan, memicu reaksi beragam dari para orang tua murid. Mereka menilai bahwa camilan seperti biskuit, susu, roti, dan buah belum cukup memenuhi kebutuhan gizi seimbang bagi anak usia sekolah bahkan rawan zat aditif di dalamnya.
Beginilah yang terjadi, alih-alih program ini dianggap akan mendongkrak kecukupan gizi pada anak tapi malah mengancam kesehatan anak. Karut-marut ini terjadi karena aneka kesalahan tata kelola sejak awal. Program ini dinilai beberapa kalangan sebagai kebijakan populis untuk meraup suara pemilu, target awal penerima MBG adalah siswa sekolah, santri di pesantren, ibu hamil, menyusui, dan anak balita—bahkan juga menyasar guru berpenghasilan rendah (kompas.com, 19/02/2025). Namun, akhirnya prioritas diberikan kepada anak sekolah saja itu pun tidak semua sekolah mendapatkan MBG. Maka efektivitas pelaksanaannya terus dipertanyakan, nafas proyek yang ada di negeri ini seringkali dikaitkan dengan kondisi rawan korupsi, termasuk MBG.
Korupsi masih menjadi momok terbesar di negeri ini, karena mentalitas korup masih menggejala akan sulit memercayai bahwa proyek yang dijalankan akan bersih dari korupsi, bahkan secara pasti akan diyakini sebagai jalan korupsi baru. Kontroversi MBG di atas dengan tata kelola yang amburadul dan rawan dikorupsi, maka banyak pihak meminta agar program ini dihentikan saja. Bahkan ICW dalam laman antikorupsi.org (21/04/2025), menyimpulkan tata kelola buruk, keliru menyalurkan anggaran, hingga dugaan penggelapan dana mewarnai proyek Makan Bergizi Gratis (MBG)—harus segera dihentikan.
Laporan Tempo.co, sebelumnya menunjukkan potensi konflik kepentingan dalam proyek MBG. Para penyedia makanan diduga terafiliasi dengan Presiden Prabowo Subianto. Inilah faktanya, rasanya benar kondisi MBG yang penuh kontroversi ini dikaji ulang, karakter pemimpin yang amanah dan terbebas dari korupsi dalam sistem sekuler-kapitalisme saat ini seolah pungguk merindukan bulan, sulit terealisasi. Bagaimana tidak, mental korup muncul berbarengan dengan hilangnya rasa malu dan etika apalagi rasa takut kepada Allah termasuk penyalahgunaan wewenang yang akhirnya melayani rakyat dengan ala kadarnya, meskipun klaim BGN bahwa setelah program MBG berjalan 5,5 bulan sudah berhasil memberi makan setara jumlah penduduk Singapura tapi apa kabar dengan kualitas makanannya layak dimakan atau tidak? Konsentrasi capaian hanya angka-angka saja belum memberi hitungan pasti terkait kualitas karena hanya fokus kepada kuantitas. Terbukti ternyata kualitasnya jauh dari kata memadai.
Fungsi negara harusnya tidak hanya berkutat dengan kebijakan "siap pakai" tapi lebih kepada pelayanan dan pengurusan urusan rakyat yang berkesinambungan dan berjangka panjang yang lebih dibutuhkan rakyat hari ini, misalnya membuka lapangan kerja, pendidikan dan kesehatan gratis. Ketika marak PHK dan ekonomi lesu saat ini, dengan kebijakan MBG anak-anak mungkin bisa makan siang di sekolah tapi bagaimana dengan makan pagi dan malamnya, terus bagaimana nasib anggota keluarga lainnya yang tidak masuk dalam kriteria penerima MBG.
Cukup kompleks memang, karena masih sangat banyak PR dalam pengelolaan negara yang memihak rakyat. Maka, kajian ulang terkait proyek apa pun harus dilakukan secara holistik dan komprehensif mulai dari akar masalahnya, bukan hanya muncul dari kebijakan populis semata. Kalau mau mengulik sistem alternatif terkait ini, Islam sebagai agama mayoritas negeri ini punya gambaran jelas, tentu saja ketika Islam bisa diterapkan secara kafah dalam sistem hidup, bukan hanya diambil sisi ritualnya saja.
Gambaran Islam terkait pemenuhan kebutuhan pokok berupa sandang, pangan, papan tidak secara langsung diberikan dalam bentuk barang jadi siap pakai, tapi kepala negara dalam Islam memberi kemudahan yang luar biasa dalam pemenuhannya, misal dengan memberi lapangan kerja yang luas dan iklim usaha yang kondusif untuk kepala keluarga agar mampu memberi nafkah yang layak sehingga kebutuhan sandang, pangan, papan bisa terpenuhi. Hal yang berbeda dengan pendidikan dan kesehatan yang bisa diberikan negara secara langsung secara cuma-cuma dan berkualitas.
Terus bagaimana dengan orang yang sebatang kara yang tidak memiliki wali atau ahli waris misal anak yatim piatu, lansia yang sebatang kara, janda-janda renta atau orang cacat yang tidak mampu bekerja, tentu saja negara hadir untuk mereka secara langsung dengan konsep riayah (pengurusan) negara kepada mereka. Jadi mereka harus diurusi secara langsung oleh negara.
Sebagaimana dulu Khalifah Umar bin Khattab pernah memanggul gandum dan beberapa potong daging dari baitulmal untuk diberikan kepada seorang ibu dan anak-anak yang memasak batu. Satu kondisi yang luar biasa. Intinya, negara tulus ikhlas menjalankan tugasnya sebagai pelayan dan pengurus urusan rakyatnya. Bukan sekadar kebijakan populis yang penuh pencitraan semata agar bisa meraup suara yang banyak, tapi benar-benar basis keimanan kepada Allah dengan rasa takut dimintai pertanggungjawaban Allah di akhirat nanti atas semua amanah yang dipikulnya.
Tentu saja proses pelayanan kepada rakyat oleh negara juga didukung pelaksanaan sistem ekonomi, politik dan sosial kemasyarakatan yang dilakukan berdasarkan akidah Islam, bukan dengan sistem demokrasi-kapitalisme seperti hari ini yang sarat manipulasi dan pencitraan demi menggalang atensi publik. Maka, akankah hidup kita akan berputar-putar terus dengan masalah tanpa ada solusi yang mengakar dan komprehensif. Berupaya segera ada perubahan fundamental untuk hidup yang lebih baik dan diridai Allah Swt., dan semoga tidak lama lagi. Wallahu a'lam bi asshawwab.[]
0 Komentar