Negara Lambat Bertindak, Generasi Makin Rusak



#Tangsel — Water Clash Festival—bermain ala Songkran, diselenggarakan pada 31 Mei di Bumi Serpong Damai (BSD), Tangerang Selatan (Tangsel). Acara dilaksanakan bersamaan dengan pembukaan Green Belt Eastavara Mall BSD. Sebagaimana sebelumnya, acara terutama yang memanjakan anak-anak muda biasanya banyak peminatnya. 


Acara Songkran asal Thailand ini menonjolkan tradisi Budha dan Brahman. Simbolisnya, air melambangkan pembersihan atau pelepasan dari tahun yang sudah lewat untuk siap memulai tahun yang baru dengan menyiramkan air ke patung Budha atau berdoa. Di Thailand, festival ini dibuat sebagai salah satu daya pikat bagi pengembangan pariwisata. Menjual keindahan alam dan makanan untuk menarik para wisatawan yang menjadi pemasukan negara. 


Terlebih lagi, kaum LGBT ikut memanfaatkan  festival Songkran sebagai momen perayaan bagi mereka. Para laki-laki penyuka sesama jenis dari seluruh dunia berdatangan untuk berpesta air. Tidak heran, acara Songkran masuk dalam daftar wisata yang direkomendasikan bagi kaum gay yang ingin berlibur di Thailand. 


Selama ini, Thailand memang negara penyokong komunitas LGBT. Kelompok perilaku menyimpang ini biasa bergaul seperti manusia lain pada umumnya di tengah-tengah masyarakat. Bahkan, Thailand adalah negara pertama di Asia Tenggara dan negara ketiga di Asia yang mengesahkan Undang-Undang Kesetaraan Pernikahan, yang mengakui pernikahan sesama jenis.


Seharusnya, acara Songkran tidak terselenggara di wilayah mana pun di Indonesia. Acara ini hanya berisi hura-hura, terjadi campur baur antara laki-laki dan perempuan. Jelas ada promosi nilai-nilai kebebasan termasuk LGBT yang bertentangan dengan nilai-nilai Islam. Penyelenggaraan festival Songkran di BSD sangat disayangkan karena dapat mengikis keimanan, khususnya generasi muda.


Rasulullah saw. bersabda, "Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum, maka dia termasuk bagian dari mereka.” (HR Ahmad). Ini merupakan peringatan bahwa Islam melarang umatnya untuk tasyabbuh yaitu meniru-niru budaya atau tradisi orang-orang kafir. Rasulullah pun memerintahkan apabila ada kemungkaran, maka cegahlah dengan tangan (kekuasaan). Jika tidak mampu, maka dengan lisan, dan jika tidak mampu juga lakukan penolakan dengan hati, tapi itu selemah-lemahnya iman. 


Pihak yang memiliki kekuatan dan kewenangan untuk mencegah acara-acara maksiat seperti festival Songkran adalah penguasa, dalam hal ini Pemerintah Kota Tangerang Selatan (Pemkot Tangsel). Seharusnya pemkot bisa mencegah acara Songkran karena promosinya  sudah tersebar jauh-jauh hari di media sosia. Sayangnya, tidak ada tindakan apa pun dari pemerintah setempat. 


Tidak tegasnya sikap pemkot ini dikarenakan Sinar Mas sebagai pemilik BSD adalah  partner pembangunan Pemkot Tangsel. Sinar Mas banyak memberikan bantuan melalui program Corporate Social Responsibility (CSR), sampai-sampai Sinar Mas  mendapat penghargaan Tangsel CSR Award dari Pemkot Tangsel. Penghargaan ini menunjukkan Sinar Mas dianggap sebagai  mitra strategis penting dalam pelaksanaan pembangunan di Tangsel.


Selain itu, Sinar Mas sebagai pengembang wilayah BSD City telah membangun banyak perumahan dan fasilitas umum lainnya di atas lahan milik Sinar Mas seluas 6000 hektare. Pembangunan perumahan-perumahan ini meningkatkan pendapatan daerah baik melalui pajak langsung maupun tidak langsung. Pajak langsung seperti Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB). Pajak tidak langsung berupa pajak kendaraan bermotor, pajak hotel, dan restoran. 


Keberadaan perumahan BSD diikuti dengan menjamurnya tempat-tempat kuliner dan pusat perbelanjaan telah meningkatkan pemasukan Pemkot Tangsel. Semuanya bisa untuk membiayai pembangunan dan pelayanan publik. Terlebih Tangsel  bukan wilayah yang kaya dengan sumber daya alam (SDA), sehingga bergantung pada pemasukan yang bersumber dari berbagai proyek  yang dikembangkan BSD.


Model kerja sama pemkot dengan swasta ini memberi celah bagi swasta untuk mempengaruhi kebijakan demi kepentingan bisnisnya. Kedudukan pemkot menjadi lemah ketika berhadapan dengan swasta. Makanya tidak heran, meski melanggar norma agama dan masyarakat, pemkot tidak bisa menghentikan kegiatan Songkran karena ada nama Sinar Mas di belakangnya.


Padahal data menunjukkan kasus demoralisasi di Tangsel  sudah mengkhawatirkan. Data pada 2022 yang dirilis sindonews.com (06-01-2022) mencatat bahwa pelajar yang mengalami kehamilan di Tangsel mengalami peningkatan signifikan. Perkembangan LGBT pun mengerikan. Penderita HIV bertambah, sebagian besarnya berusia produktif sekitar 25 sampai 49 tahun. Penyumbang terbesar penderita HIV adalah kelompok penyuka sesama jenis. Belum lagi persoalan lain seperti tawuran, narkoba, dan kriminalitas lainnya. 


Persoalan itu seharusnya segera direspon dengan kebijakan yang tepat dan segera. Pemkot sendiri yang akan kepayahan dan menanggungnya ketika  tidak segera bertindak. Taruhannya adalah generasi akan makin rusak. Persoalan moral pasti akan melahirkan problem sosial yang  merembet pada ancaman kesehatan dan ekonomi. 


Seharusnya setiap celah yang membuka peluang untuk menyuburkan kemungkaran tidak dilakukan. Penyelenggaraan proyek atau kegiatan bukan mengikuti selera swasta yang hanya berorientasi keuntungan, melainkan berbasis pada kebutuhan masyarakat. 


Semua ini tidak lepas dari kebijakan nasional yang menjadikan pajak sebagai sumber pemasukan utama. Anggaran negara yang kembang kempis berpengaruh pada jumlah transfer pusat ke daerah untuk belanja pembangunan dan pelayanan publik. Minimnya anggaran dari pusat memaksa pemerintah daerah menggenjot apa saja yang berpeluang jadi pemasukan.  


Dengan penerapan sistem sekuler yang menganut prinsip kebebasan dalam hal apa pun, kemaksiatan pun difasilitasi, yang penting bisa mendatangkan uang. Kemungkaran dikapitalisasi dengan balutan hiburan, pariwisata, festival, atau perayaan lainnya. Bagi negara, upaya untuk menggeliatkan roda ekonomi di tengah melambatnya pertumbuhan ekonomi tidak perlu dibatasi. 


Padahal, kelak para pejabat pemkot ini akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannya. Tentang berbagai kerusakan yang terjadi—kondisi masyarakatnya. Mereka memiliki kekuasan untuk bisa mengubah agar kehidupan bisa lebih baik.


Di dalam Islam, penguasa mulai dari tingkat pusat hingga daerah bertugas sebagai pelayan rakyat dan melindungi mereka dari segala hal yang mengancam akidah, harta, keturunan, nyawa, dan akal. Para penguasa harus tanggap terhadap perbuatan dosa sekecil apa pun yang terjadi di wilayahnya. Ketika mereka abai, kemungkaran bisa makin meluas dan mengundang murka Allah Swt.. 


Dalam sistem Islam, pembangunan di wilayah provinsi dan kota atau kabupaten menjadi tanggung jawab pusat. Negara wajib memastikan pembangunan terjadi secara merata, kebutuhan dasar terdistribusi ke seluruh wilayah. Tidak memandang apakah wilayah tersebut jauh atau dekat, kaya atau miskin SDA. 


Indonesia sebagai negara dengan SDA yang melimpah sangat memungkinkan untuk memberikan pelayanan dan penjagaan terbaik kepada seluruh rakyatnya. Tentu saja dengan penerapan sistem politik ekonomi Islam. Ketika sistem Islam diterapkan, para pejabat di daerah tidak perlu memikirkan bagaimana cara menarik pajak karena pusat akan berusaha memenuhi kebutuhan daerah sehingga para pejabat daerah bisa fokus pada pelayanan rakyat.[]

Posting Komentar

0 Komentar