Eli Ermawati
#Bekasi — Laporan terbaru dari Indeks Kota Toleran (IKT) 2024 membawa kabar mengejutkan. Dilansir dari RakyatBekasi.com (29/05/2024), Bekasi yang tahun sebelumnya berada di posisi kedua kini tergelincir ke peringkat ketujuh secara nasional. Penurunan ini bukan sekadar angka, melainkan sinyal adanya dinamika sosial dan kebijakan yang patut ditinjau lebih dalam. Masyarakat pun bertanya-tanya, apa yang sebenarnya terjadi di balik kemunduran ini?
Perolehan ini merujuk pada laporan resmi yang dirilis oleh SETARA Institute, menilai sejumlah kota di Indonesia berdasarkan skor Indeks Kota Toleran (IKT) 2024. Penilaian ini mempertimbangkan berbagai aspek, mulai dari regulasi pemerintah daerah, tindakan diskriminatif, hingga keterlibatan masyarakat sipil dalam menjaga ruang toleransi.
Ketua Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) Kota Bekasi menyatakan bahwa hal ini merupakan bagian dari dinamika dalam membina kehidupan yang harmonis antarumat beragama. Sementara itu, laporan IKT 2024 menyoroti dua peristiwa yang dinilai berpengaruh terhadap penurunan nilai Bekasi: dugaan pelarangan aktivitas ibadah oleh salah satu ASN, serta konflik yang muncul dalam proses pendirian rumah ibadah di kawasan Citra Grand, Jatisampurna (BekasiSorotJakarta.com, 29/05/2024).
Menanggapi hal ini, pihak Pemerintah Kota Bekasi menyampaikan komitmennya untuk melakukan evaluasi dan merancang kebijakan baru demi memperbaiki peringkat IKT di masa depan (PojokSatuBekasi.com, 30/05/2024). Namun, yang patut menjadi perhatian adalah arah dari evaluasi tersebut. Apakah benar-benar untuk menciptakan harmoni lintas agama, atau justru menjadi celah untuk memaksakan narasi Islam moderat yang menyudutkan syariat?
Makna Toleransi yang Menyempit
Dalam diskursus publik hari ini, istilah toleransi kerap disempitkan maknanya. Ketika umat Islam menyuarakan penolakan terhadap hal-hal yang bertentangan dengan ajaran Islam, mereka segera dicap intoleran. Bahkan penolakan terhadap pendirian rumah ibadah yang belum memenuhi ketentuan prosedur sering dianggap bentuk diskriminasi.
Padahal, Islam tidak pernah mengajarkan kebencian pada pemeluk agama lain. Prinsip "lakum diinukum wa liya diin" secara tegas menunjukkan sikap Islam terhadap keberagaman keyakinan, saling menghormati tanpa mencampuradukkan akidah. Sejarah mencatat bagaimana peradaban Islam membangun masyarakat majemuk yang damai dari Spanyol hingga Nusantara.
Namun kini, toleransi cenderung menjadi instrumen tekanan. Umat Islam dituntut untuk bersikap longgar, kompromistis, bahkan mengesampingkan prinsip demi citra ramah. Sayangnya, tuntutan ini hanya berlaku satu arah, umat Islam terus didesak berkompromi, sementara pihak lain makin leluasa menuntut.
Islam Moderat: Solusi atau Justru Problem Baru?
Belakangan ini, baik pemerintah pusat maupun daerah gencar menggaungkan moderasi beragama sebagai solusi harmoni. Tujuannya terkesan positif yakni merawat kebersamaan lintas iman. Namun kenyataannya di lapangan, konsep toleransi ini kerap dimanfaatkan untuk melemahkan ajaran Islam yang dianggap terlalu kuat secara ideologis atau terlalu kaku.
Padahal, Islam adalah agama yang menyeluruh bukan hanya membahas ibadah spiritual, tapi juga mengatur urusan sosial, politik, dan ekonomi. Jika moderasi dimaknai sebagai upaya menjauhkan agama dari kehidupan publik, maka itu jelas bukan ajaran Islam, melainkan bentuk sekularisasi terselubung.
Ironisnya, ketika umat Islam ingin menerapkan syariat secara menyeluruh, narasi yang muncul justru tudingan radikal dan mengancam kebhinekaan. Padahal keberagaman yang sehat justru lahir dari prinsip keadilan, bukan pemaksaan toleransi semu. Evaluasi kebijakan yang digulirkan jangan sampai menjadi kedok untuk menyelaraskan masyarakat dengan agenda Islam moderat versi Barat yang menyesatkan.
Islam Menawarkan Jalan Keluar yang Adil
Di tengah kebingungan definisi toleransi dan derasnya narasi moderasi, penting bagi umat Islam untuk kembali merujuk pada ajaran agamanya yang hakiki. Padahal, Islam memberikan jaminan atas kebebasan beragama, bukan sebatas simbol, melainkan dalam penerapan nyata dalam kehidupan sehari-hari. Dalam sejarah Negara Islam, pemeluk agama lain hidup berdampingan secara damai dengan umat Islam. Tidak ada pemaksaan, tapi juga tidak ada ruang untuk mencederai nilai-nilai syariat.
Islam juga memiliki sistem hukum yang adil, bukan reaktif terhadap tekanan opini publik, tapi berdasarkan asas keadilan dan kesejahteraan bersama. Sistem ini telah terbukti secara historis menciptakan masyarakat yang harmonis dan stabil, bukan sistem coba-coba yang rapuh oleh tekanan zaman.
Umat Islam, khususnya di Bekasi, harus sadar bahwa solusi atas persoalan toleransi bukan dengan mengorbankan prinsip. Solusi itu justru lahir dari penerapan syariat Islam secara menyeluruh, yang menjamin hak dan kewajiban seluruh warga secara seimbang.
Momentum Kritis untuk Kembali ke Islam Kafah
Penurunan peringkat IKT di Kota Bekasi jangan sampai dijadikan alasan untuk menekan suara umat Islam, apalagi sebagai dalih untuk menggencarkan paham Islam moderat yang justru mengikis prinsip ajaran Islam itu sendiri. Sebaliknya, momen ini harus menjadi titik balik merumuskan kehidupan sosial yang lebih adil dengan menjunjung tinggi hak setiap warga menjalankan keyakinannya tanpa saling mencampuri apalagi memaksakan narasi sesat.
Karena sejatinya, toleransi yang tulus hanya bisa lahir dari keadilan yang menyeluruh. Dan keadilan hakiki hanya dapat diwujudkan melalui penerapan Islam secara menyeluruh bukan dengan menjauhkan Islam dari ruang publik, tetapi dengan menjadikannya dasar yang mempersatukan umat dalam kebenaran.[]
0 Komentar