Toleransi yang Diterapkan oleh Rasulullah saw. sebagai Kepala Negara




Dewi Purnasari


#Bogor — Kabupaten Bogor yang menjuluki diri sebagai wilayah ‘Tegar Beriman’ didiami oleh masyarakat yang majemuk dengan banyak etnis, suku, dan agama. Tegar Beriman sendiri merupakan akronim dari "Tertib, Segar, Bersih, Indah, Mandiri, Aman dan Nyaman". Label ini menggambarkan kondisi masyarakat dan lingkungan alam Kabupaten Bogor yang diharapkan menjadi masyarakat yang lingkungannya tertib, segar, bersih, indah, mandiri, aman, dan nyaman, dengan landasan iman yang kuat. Kondisi masyarakat yang plural seperti ini dipastikan membutuhkan riayah (pengurusan) yang tidak mudah jika tidak diterapkan aturan yang paripurna di dalamnya.


Kondisi masyarakat seperti ini mendorong Pengurus Cabang Nahdatul Ulama (PCNU) Kabupaten Bogor untuk merawat keberagaman ini. Ketua PCNU Kabupaten Bogor Abdul Somad juga menganggap perlunya mengembangkan sikap hidup toleran. Abdul Somad menyatakan bahwa keberagaman masyarakat bisa menjadi motivasi dalam memperingati hari lahirnya Pancasila sebagai dasar negara. “Sikap dan semangat semacam ini tentu saja selaras dengan nilai-nilai ajaran Islam, khususnya Ahlussunnah wal Jamaah yang menjunjung sikap tasamuh, tawasuth, i’tidal dan tawazun,” ujar Abdul Somad pada Ahad (1/6/2025) untuk BogorUpdate.com.


Masih menurut Abdul Somad, nilai-nilai ini telah dilaksanakan oleh Rasulullah Muhammad saw. saat merumuskan Piagam Madinah. Sikap Rasulullah ini dianggap sebagai penghormatan pada keberagaman entitas di Madinah untuk membangun peradaban Madinah bersama-sama. Pernyataan ini diungkapkan oleh Abdul Somad terkait perayaan Hari Lahir Pancasila 1 Juni tahun 2025 ini. Karenanya, ia menganggap sikap hidup toleran (tasamuh) sangat perlu untuk diterapkan di Kabupaten Bogor.


Menarik jika kita menelisik terkait adagium tasamuh. Ini karena makna tasamuh sendiri adalah sikap toleransi dan penghargaan terhadap perbedaan, seperti perbedaan pendapat, budaya, agama, dan lain-lain. Sikap tasamuh ini dapat mendorong seseorang menerima dan menghargai perbedaan yang ada, baik dalam hal agama, budaya, maupun pandangan hidup. Tasamuh juga mencakup bersikap terbuka dan berlapang dada terhadap pendapat atau tindakan orang lain yang mungkin berbeda dengan kita. 


Dari pengertian istilah, toleransi (tasamuh) memang sesuai dengan pemahaman ajaran Islam, yaitu: "Lakum dinukum waliyadin" yang artinya: "Untukmu agamamu, dan untukku agamaku”, pada bagian akhir Surah al-Kafirun ayat 6. Namun, dalam fakta penerapannya seringkali melenceng jauh dari pemahaman toleransi itu sendiri. Contohnya adalah jamuan makan dan doa yang diberikan kepada 44 Biksu di Masjid Baiturrohman, Bengkal, Temanggung saat para Biksu tersebut melaksanakan ritual Thudong untuk menyambut Hari Raya Waisak (19/05/2024). Pelayanan takmir masjid dan masyarakat sekitar kepada para Biksu tersebut sempat dikritik oleh Ketua MUI Cholil Nafis karena dianggap sebagai toleransi yang kebablasan mengingat fungsi masjid adalah tempat ibadah umat Islam, bukan umat agama lain.


Belum lagi perkara yang selalu berulang setiap tahunnya, yaitu ucapan selamat dari muslim kepada nonmuslim pada hari raya nonmuslim. Itu salah satu fakta toleransi yang kebablasan, karena sudah menyalahi aturan yang ada dalam ajaran agama Islam. Dalam Islam, toleransi memang bukan berarti bebas tanpa batas dan diserahkan pada pendapat masing-masing orang, melainkan ada aturannya. Juga tidak membolehkan mencampuradukkan antara yang hak dengan yang batil. Jadi meski Allah Swt. tidak memaksakan kehendak bagi manusia dalam memilih agama, bukan berarti manusia bebas keluar-masuk agama Islam.


Dalam Al-Qur’an Surat al-Baqarah ayat 256 Allah Swt. berfirman, “Tidak ada paksaan dalam (memasuki) agama (Islam), sesungguhnya telah jelas (perbedaan) antara jalan yang benar dan jalan yang sesat. Barang siapa yang ingkar kepada tagut dan beriman kepada Allah, sungguh ia telah berpegang (teguh) pada tali yang sangat kuat yang tidak akan putus, dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” Jadi tidak ada paksaan bagi nonmuslim untuk memeluk agama Islam. Siapa pun boleh memeluk agama yang diyakininya tanpa paksaan dan tekanan. 


Akan tetapi, ketika seseorang telah memeluk Islam maka ia harus taat pada semua aturan yang telah Allah Swt. tetapkan dan Rasulullah contohkan. Contohnya adalah sikap Rasulullah saat menerima delegasi Kristen Najran. Saat tiba waktu orang-orang Kristen itu harus beribadah, Rasulullah memberikan kesempatan bagi mereka untuk beribadah. Dalam sirah, Rasulullah saw. memang mengundang kaum Najran ke Madinah untuk diajak memeluk Islam. Dalam hal ini posisi Rasulullah saw. adalah sebagai Kepala Negara Madinah, sedangkan kaum Najran hanyalah sebuah kelompok kecil. Jadi, relasi antara Rasulullah dengan kaum Najran adalah relasi antara pemimpin dengan rakyat.


Singkatnya, di akhir diskusi mereka, karena kaum Najran menolak masuk Islam Rasulullah saw. mengikat mereka dengan perjanjian. Ini menjadikan status kaum Najran tersebut adalah sebagai harbi hukman (kelompok kafir yang terikat dengan perjanjian dengan negara Islam). Salah satu poin dalam surat perjanjian tersebut adalah: “Janganlah mendebat orang-orang Yahudi dan Nasrani yang berselisih pendapat denganmu, kecuali dengan cara yang paling baik. Kecuali dengan orang-orang yang melampaui batas dan katakan: “Kami percaya dengan apa yang diturunkan kepada kalian (Taurat dan Injil). Tuhan kami dan Tuhan kamu adalah satu, dan kami hanya tunduk kepada-Nya semata.”


Poin perjanjian ini persis mengacu pada Surah al-Ankabut ayat 46, yang artinya: “Dan janganlah kamu berdebat dengan Ahli Kitab, melainkan dengan cara yang paling baik, kecuali dengan orang-orang zalim di antara mereka, dan katakanlah: “Kami telah beriman kepada kitab-kitab yang diturunkan kepada kami dan yang diturunkan kepada kamu, Tuhan kami dan Tuhan kamu adalah satu, dan kami hanya berserah diri kepada-Nya.”


Jadi, penting untuk kita memahami konteks ketika Rasulullah saw. mengatur masyarakat Madinah yang muslim dan nonmuslim yakni dalam posisi beliau sebagai kepala negara. Umat nonmuslim boleh tinggal di dalam negara Islam Madinah, tetapi statusnya sebagai warga negara yang harus taat pada aturan Islam yang dterapkan oleh negara. Mereka boleh beribadat sesuai dengan keyakinan mereka, tetapi mereka harus menghormati kaum muslim dengan tidak menyebarluaskan ajaran mereka sehingga dapat memicu ketidaknyamanan bagi kaum muslim. Mereka juga dilarang memurtadkan orang Islam dengan berbagai macam tipuan yang tidak disadari oleh orang Islam tersebut. 


Alhasil, perjanjian dengan kaum kafir seperti contohnya Piagam Madinah diambil untuk konteks di negeri ini, tentu tidak tepat. Ini karena Indonesia bukan negara Islam yang menerapkan sistem Islam dalam pengaturan negara. Indonesia menerapkan sistem demokrasi, yang bahkan pemimpin negaranya yang muslim setiap tahunnya ikut merayakan Natal bersama dengan umat Kristen dan selalu meyampaikan ucapan resmi di setiap perayaan hari besar agama-agama yang ada di negara ini. Khatimahnya, hanya dengan penerapan sistem Islam secara kafah saja yang bisa menjadikan pengaturan antarumat beragama menjadi adil dan melahirkan keberkahan.[]

Posting Komentar

0 Komentar