Annisa B. Suciningtyas
#Wacana — Argo Ericko Achfandi, mahasiswa Fakultas Hukum UGM, meninggal dunia pada kecelakaan yang terjadi di Jalan Palagan, Ngaglik, Sleman, pada Sabtu (24/05). Polisi telah menetapkan Christiano Pengarapenta Pengidahen Tarigan, mahasiswa Fakultas Ekonomi dan Bisnis UGM yang mengemudikan mobil BMW, sebagai tersangka dan saat ini ia ditahan di Mapolresta Sleman. (CNNIndonesia.com 29/05/2025)
Kapolresta Sleman mengungkap adanya upaya menghilangkan barang bukti dalam kasus kecelakaan Argo Ericko, yakni dengan mengganti pelat nomor mobil BMW yang dikemudikan Christiano Pengarapenta. Saat kejadian, mobil memakai pelat palsu F 1206, tapi saat diamankan di kantor polisi, pelatnya berubah menjadi B 1442 NAC. Pergantian dilakukan diam-diam tanpa sepengetahuan petugas, dan pelakunya telah ditangkap. (Tempo.co, 30/05/2025)
Tragedi yang menimpa Argo Erico tidak hanya menyisakan luka yang mendalam bagi keluarga. Insiden kecelakaan ini memberikan gambaran tentang bagaimana nyawa manusia dapat diabaikan dan keadilan dipertaruhkan demi kepentingan tertentu. Yang lebih memprihatinkan bukan soal kecelakaannya, tapi fakta adanya upaya penghilangan barang bukti dengan mengganti pelat nomor mobil yang dikendarai oleh tersangka tanpa sepengetahuan aparat kepolisian. Artinya ada keterlibatan pihak-pihak tertentu dalam upaya menutupi kejahatan.
Miris, kita menyaksikan bagaimana hukum di negeri ini kembali gagal berdiri tegak. Beginilah wajah asli dari sistem hukum sekuler kapitalisme—tajam ke bawah, tumpul ke atas. Saat pelakunya berasal dari kalangan yang memiliki akses, status sosial, atau kekuasaan, keadilan sering kali hanya menjadi jargon kosong.
Nyawa seorang pemuda yang sedang menuntut ilmu tidak cukup kuat untuk melawan pengaruh kekuasaan dan status sosial. Dalam sistem seperti ini, kebenaran bisa dibungkam, dan keadilan bisa dibeli. Negara gagal menjalankan fungsinya sebagai pelindung jiwa dan penegak keadilan. Sebaliknya, ia justru memberi ruang bagi manipulasi dan perlindungan terhadap pelaku kejahatan dari kalangan tertentu.
Berbeda dengan penegakan hukum di dalam Daulah Islam yang memegang amanah besar untuk menjalankan tugasnya secara jujur dan adil. Allah memerintahkan dalam Al-Qur’an agar amanah diserahkan kepada yang berhak dan keputusan hukum harus dibuat secara adil (lihat terjemah QS an-Nisa: 58).
Dalam Islam, nyawa manusia merupakan titipan dan anugerah dari Allah Swt. yang wajib dijaga dengan penuh rasa hormat dan perlindungan. Sebab di dalam Al-Qur’an secara tegas mengingatkan kepada umat manusia bahwa membunuh satu nyawa tanpa alasan yang benar bagaikan membunuh seluruh umat manusia (lihat terjemah QS al-Ma’idah: 32). Islam tidak pernah membedakan hukum berdasarkan status sosial. Tidak mengenal kompromi dalam hal keadilan, bahkan jika yang bersalah adalah seorang pejabat tinggi atau orang terpandang.
Hukum ditegakkan dengan adil dan tegas, sebagaimana sabda Rasulullah saw., “Sesungguhnya yang membinasakan umat sebelum kalian adalah karena mereka bila orang terpandang mencuri, dibiarkan, namun jika yang lemah mencuri, ditegakkan hukum atasnya.”
Keadilan dalam Islam adalah mutlak dan tidak bisa ditawar. Negara dalam sistem Islam—Khilafah Islamiyyah—bertanggung jawab secara langsung dalam menjaga dan melindungi jiwa warganya, mendapatkan perlakuan hukum yang setara tanpa adanya diskriminasi. Dalam struktur Khilafah Islamiyyah, penegakan hukum tidak tunduk pada kekuasaan atau pengaruh materi.
Jika sebuah nyawa melayang karena kelalaian atau kejahatan, maka pelaku akan dikenai hukum sesuai dengan ketentuan syariat. Pelaku pembunuhan disengaja akan dikenai hukuman qishash, sedangkan dalam kasus kelalaian, hukum diyat akan diberlakukan sesuai ketentuan syariat. Tidak ada ruang untuk manipulasi bukti, perlindungan oleh kekuasaan, atau rekayasa hukum demi menyelamatkan pelaku.
Islam menekankan bahwa pemimpin dan aparat penegak hukum harus amanah, jujur, dan bertanggung jawab. Sebab mereka dipilih berdasarkan amanah, bukan kepentingan politik atau materi. Tugas mereka tidak sekadar menjalankan hukum, tetapi juga mempertanggungjawabkan setiap keputusan dan tindakan di hadapan Allah Swt..
Mekanisme pengawasan (hisbah) berjalan efektif karena didasarkan pada ketakwaan, bukan sekadar prosedur administratif. Manipulasi bukti seperti yang terjadi dalam kasus ini adalah bentuk kezaliman yang akan ditindak tegas tanpa pandang bulu.
Kejadian yang menimpa Argo Ericko adalah potret nyata kegagalan sistem sekuler dalam menegakkan keadilan sejati. Selama hukum dibuat berdasarkan akal manusia dan tunduk pada kepentingan duniawi, maka keadilan akan terus menjadi hal yang langka. Umat Islam harus membuka mata dan hati, menyadari bahwa perubahan yang hakiki tidak bisa dicapai hanya dengan reformasi tambal sulam dalam sistem yang rusak. Kita memerlukan sistem yang dibangun di atas landasan wahyu Allah Swt.—sistem Islam secara kafah.
Akan tetapi, semua ini tidak akan terwujud selama sistem sekuler kapitalisme masih menjadi fondasi kehidupan bernegara. Selama hukum dibuat berdasarkan akal manusia dan bukan wahyu Allah, maka keadilan hanya akan menjadi slogan kosong. Kasus Argo Ericko hanyalah satu dari sekian banyak bukti kegagalan sistem ini. Harusnya menjadi pemantik kesadaran umat bahwa perubahan mendasar sangat dibutuhkan.
Sudah saatnya umat Islam menyadari bahwa hanya dengan kembali pada sistem Islam secara total, keadilan sejati dapat ditegakkan. Bukan sekadar hukum pidana yang diganti, tapi seluruh struktur pemerintahan, sistem peradilan, pendidikan, hingga sosial ekonomi harus dibangun di atas pondasi akidah Islam. Khilafah bukan sekadar mimpi sejarah, tapi kewajiban syarak yang menjadi solusi hakiki atas segala ketidakadilan hari ini.[]
0 Komentar