Karina Fitriani Fatimah
#TelaahUtama — Berjalan hampir 6 enam bulan lamanya, program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang menjadi program andalan Presiden Prabowo masih dirundung banyak masalah. Per Juni 2025, setidaknya 1376 anak terindikasi keracunan MBG di berbagai daerah. Hasil investigasi Dinas Kesehatan di beberapa wilayah seperti Bogor, Bandung, Tasikmalaya hingga Kabupaten Panukal Abab Lematang Ilir di Sumatra Selatan menemukan adanya kontaminasi bakteri semacam E. coli, Salmonella, Stapylococcus aereus, Bacillus subtilis, Bacilius cereus hingga jamur Candida tropicalis (bbc.com, 25/06/2025).
Masalah lain yang tidak kalah heboh adalah adanya kendala pembayaran yang dirasakan para mitra dapur MBG. Misalnya saja salah satu pemilik dapur di wilayah Kalibata, Jakarta merugi setidaknya hingga Rp975.375.000 karena pembayaran yang tidak kunjung cair. Bahkan pada Maret 2025, sempat ada pengakuan dari staf Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) yang belum mendapat gaji sejak Januari 2025 (tempo.co, 21/04/2025). Sedangkan di wilayah Wamena, Papua Pegunungan sempat terjadi aksi demontrasi dari para siswa yang menolak program tersebut. Mereka menuntut diberlakukannya program pendidikan gratis ketimbang program MBG.
Sejak awal program MBG digembar-gemborkan oleh pasangan Prabowo-Gibran dalam Pilpres 2024, program ini memang menuai banyak pro dan kontra. Beberapa pihak yang menyebut program tersebut merupakan program jitu untuk mengurai berbagai masalah negeri ini seperti masalah stunting, malnutrisi hingga meringankan belanja rumah tangga. Namun, tidak sedikit yang kemudian justru menyangsikan keefektifan program tersebut.
Salah satu tantangan terbesar dalam pemberlakuan program MBG tentu saja adalah masalah anggaran. Tidak dimungkiri bahwa program MBG merupakan program ambisius nan populis yang menelan dana super fantastis. Pada bulan Mei 2025 saja Kementerian Keuangan telah mencatat realisasi program menelan biaya Rp3 triliun. Angka tersebut naik dibandingkan dengan April 2025 yang menyerap dana sebesar Rp2,47 triliun. Padahal per 21 Mei, penerima MBG baru sebanyak 3.977.514 anak sekolah dari mulai tingkat Sekolah Dasar (SD) hingga Sekolah Menengah Atas (SMA/SMK). Angka penerima program MBG kemudian naik menjadi sekitar 5,4 juta jiwa pada Juni 2025 (kompas.com, 25/06/2025). Namun, perlu digarisbawahi bahwa angka penerima tersebut masih sangat jauh dibanding target sebelumnya yakni 17,9 juta jiwa per Juni 2025 dan 82,9 juta anak didik per Desember 2025.
Keterbatasan anggaran terutama yang tersedia di pemerintah daerah pada akhirnya mengorbankan kualitas makanan untuk program MBG. Anggaran yang seringkali tidak tersedia secara mumpuni menjadikan menu makanan MBG kurang variatif dan tidak memenuhi standar kesehatan. Beberapa waktu lalu bahkan sempat viral adanya temuan perubahan menu makanan di salah satu SD di Tangerang Selatan menjadi makanan ringan seperti biskuit, roti, dan minuman kemasan. Sebelumnya sempat pula ditemukan menu MBG berupa bahan mentah seperti beras dan lauk pauk mentah yang harus dimasak sendiri di rumah (detik.com, 23/06/2025).
Padahal tanpa adanya perubahan menu ‘menyedihkan’ semacam itu, menu MBG masih dirasa tidak memiliki komposisi yang cukup untuk bisa dikatakan bergizi. Keluhan yang pernah terdengar adalah rasa makanan yang hambar, tidak tersedianya sumber protein, porsi lauk yang sedikit, buah yang tidak matang dan sulit dikunyah anak hingga keterlambatan distribusi makanan yang baru tiba saat menjelang waktu sekolah berakhir. Kualitas rasa makanan MBG seringkali menimbulkan kekecewaan bagi para siswa yang menyebabkan tidak sedikit anak didik yang menyisakan makanan mereka. Ketidakpuasan semacam itu justru menjadikan MBG sebagai pemantik menumpuknya limbah makanan.
Tidak kita pungkiri bahwa program MBG melibatkan sistem logistik yang rumit. Penyediaan makanan berkualitas nan bergizi tentu saja tidak hanya memerlukan perencanaan yang matang tetapi juga koordinasi yang baik antara pihak sekolah, SPPG, dan pemerintah. Sayangnya sistem logistik semacam ini masih belum bisa terealisasi yang pada akhirnya merugikan para peserta didik yang menjadi target sasaran program tersebut. Konsekuensi terburuk yang harus ditanggung generasi negeri ini dari buruknya kualitas makanan dalam program MBG adalah mulai dari rendahnya potensi kognitif hingga beban kesehatan jangka panjang.
Permasalahan anggaran dalam program MBG tidak hanya mengorbankan kualitas makanan tetapi juga menimbulkan banyak masalah baru. Beberapa kali ditemukan adanya pungutan liar (pungli) oleh oknum sekolah dengan berbagai alasan. Jumlah pungli yang diminta pun bervariatif mulai dari puluhan ribu hingga jutaan rupiah.
Tidak hanya pungli yang merebak, uang rakyat pun ikut disunat oleh pemerintah pusat. Dana MBG yang katanya bisa mencapai Rp171 triliun di akhir tahun 2025 nyatanya mengorbankan sektor-sektor penting seperti pendidikan dan kesehatan. Pemberlakuan efisiensi anggaran dalam APBN 2025 yang dijadikan sumber dana segar bagi pembiayaan MBG justru memangkas banyak dana subsidi bagi rakyat banyak. Misalnya saja di sektor pendidikan, efisiensi anggaran justru menyasar bantuan operasional kampus hingga 50%, program Sekolah Unggul Garuda sebanyak 60% hingga menyasar program-program beasiswa seperti beasiswa KIP-K (Kartu Indonesia Pintar-Kuliah), Beasiswa Pendidikan Indonesia (BPI), beasiswa Afirmasi Pendidikan Tinggi (ADIk), beasiswa Kemitraan Negara Berkembang (KNB), serta beasiswa dosen dan tenaga pendidikan.
Padahal pemerintahan Prabowo tengah menggenjot penerimaan negara dari sektor pajak yang katanya dimaksudkan salah satunya untuk mencukupi anggaran MBG. Setoran penerimaan negara di tahun 2025 ditargetkan harus mampu memenuhi kebutuhan belanja dengan penerimaan perpajakan sebesar Rp2490,9 triliun (ssas.co.id, 21/10/2024). Untuk mencapai target tersebut, pada awal tahun ini pemerintah tega menaikkan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 11% menjadi 12%.
Kenaikan pajak disertai dengan banyaknya pengurangan subsidi yang diberlakukan penguasa, celakanya terjadi saat rakyat negeri ini tengah menghadapi himpitan ekonomi. Laporan Macro Poverty Outlook keluaran Bank Dunia (April 2025) menyebutkan bahwa pada 2024 terdapat setidaknya 60,3% penduduk Indonesia (setara dengan 171,8 juta jiwa) hidup di bawah garis kemiskinan. Angka tersebut adalah ‘wajar’ mengingat maraknya Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) saat kian sulitnya akses lapangan kerja di negeri ini.
Memang benar, program MBG memungkinkan adanya peningkatan kecukupan asupan makanan dan gizi serta akses pangan bergizi. Hanya saja program yang menelan biaya fantastis tersebut juga mengorbankan hajat hidup rakyat banyak dengan adanya pemberlakuan kenaikan pajak dan pemangkasan subsidi. Suka tidak suka, kita harus mengakui bahwa program tersebut justru berkontribusi cukup besar dalam pengokohan kemiskinan struktural yang sudah bercokol lama di negeri ini. Kemiskinan yang sudah terbukti menjadi akar masalah stunting dan malnutrisi, juga tidak akan bisa diatasi hanya dengan program MBG.
Tidak hanya itu, program MBG sama sekali tidak menyentuh akar masalah isu kedaulatan pangan yang terjadi tatkala akses pangan bergizi sulit dijangkau masyarakat. Salah satu penyebab utama rumah tangga tidak mampu menyediakan makanan bergizi bagi ibu hamil dan anak-anak justru karena harga bahan makanan nonberas seperti daging, buah, dan ikan yang tidak terjangkau masyarakat menengah ke bawah.
Celakanya program MBG justru meningkatkan belanja pangan pemerintah yang kemudian makin meningkatkan ketergantungan negeri ini akan impor pangan. Sebelum ada program MBG, negeri ini sudah sangat bergantung pada negara lain dalam memenuhi berbagai kebutuhan pangan dalam negeri semisal beras, bawang putih, daging hingga susu. Ironisnya, kebijakan impor hasil tani tidak jarang terjadi justru pada masa panen yang tentu saja merugikan para petani domestik. Kini dengan adanya program MBG, pemerintah telah banyak bekerja sama dengan pihak asing dalam penyediaan bahan pangan terutama susu dan daging.
Rasa-rasanya program MBG lebih menguntungkan pihak negeri importir pangan ketimbang rakyat Indonesia sendiri. Sebagai contoh Brasil ketiban durian runtuh setelah berhasil menandatangani kontrak impor dua juta sapi dengan Indonesia dalam lima tahun ke depan. Sedangkan untuk bahan pangan lainnya, pemerintah tampak tidak ada niatan untuk menurunkan jumlah barang impor.
Kompleksnya permasalahan yang menyelimuti program MBG membuat rakyat bertanya-tanya, “Patutkan program MBG dipertahankan?”. Program populis yang menelan biaya super fantantis ini nyatanya berakibat pada kian terjerumusnya masyarakat dalam kemiskinan struktural dikarenakan pemberlakuan kebijakan-kebijakan antirakyat para penguasa. Padahal Islam secara jelas menggambarkan betapa besarnya tanggung jawab para pemimpin atas rakyatnya. Dari Aisyah, ia berkata, “Aku mendengar Rasulullah saw. berkata di dalam rumahku ini, ‘Ya Allah, barang siapa memimpin umatku, lalu ia menyusahkan mereka, maka susahkanlah ia. Barang siapa memimpin umatku, lalu ia bersikap lemah lembut terhadap mereka, maka bersikaplah lemah lembut terhadapnya.’” (HR Muslim)
Wallahu a’lam bi ash-shawab.
0 Komentar