Karina Fitriani Fatimah
#TelaahUtama — Sejak awal Juni ramai tagar #SaveRajaAmpat di berbagai platform media sosial. Tagar tersebut menyoroti adanya pelanggaran serius akan aktivitas pertambangan nikel di wilayah Raja Ampat. Dalam berbagai unggahan foto yang beredar, terlihat bagaimana Raja Ampat yang sering dielu-elukan sebagai surga terakhir dunia kini menjelma menjadi pulau-pulau tandus penuh dengan jejak-jejak roda dan gerigi alat-alat berat.
Menanggapi desakan masyarakat untuk menyelamatkan Raja Ampat, pemerintah mencabut empat dari total lima Izin Usaha Pertambangan (IUP) Nikel. Keempat perusahaan yang dicabut IUP nya adalah PT Anugerah Surya Pratama (ASP), PT Mulia Raymond Perkasa (MRP), PT Kawei Sejahtera Mining (KSM), dan PT Nurham. Sedangkan IUP milik PT GAG Nikel tidak dicabut dengan dalih bahwa perusahaan tersebut telah melakukan tata kelola limbah dengan mempertimbangkan dampak lingkungan hidup (Amdal) area pertambangan dan area tambang berada di luar kawasan geopark (tempo.co, 13/06/2025). Namun, mampukah Raja Ampat terselamatkan hanya dengan pencabutan IUP Nikel?
Untuk area Raja Ampat terdapat 16 izin yang diterbitkan untuk aktivitas tambang dengan rincian dua perizinan telah melakukan aktivitas tambang, dua lainnya dalam tahap eksplorasi, satu perusahaan baru akan memulai aktivitas penambangan dan 11 lainnya direaktivasi. Dari 5 (lima) IUP yang dipertimbangkan untuk dicabut, 1 (satu) di antaranya tetap diizinkan untuk kembali beroperasi yakni milik PT GAG Nikel. Perlu diketahui bahwa PT GAG Nikel sudah mengantongi izin kontrak karya (KK) produksi sejak tahun 2017 dan telah melakukan aktivitas pertambangan secara aktif sejak 2018 silam. PT GAG Nikel sendiri beroperasi di sebuah pulau kecil di wilayah administratif Raja Ampat bernama Pulau Gag dengan luas sekitar 6030,53 hektare dan memiliki wilayah izin tambang seluas 13.136 hektare (bisnis.com, 10/06/2025).
Tepat setahun pasca-KK dikantongi PT GAG Nikel, pemerintah sempat melarang penambangan di area hutan lindung semacam Raja Ampat melalui UU Kehutanan. Namun, beleid tersebut kemudian direvisi di era kepemimpinan Megawati Soekarno Putri. Terdapat 13 perusahaan pemilik KK di era Orde Baru termasuk di antaranya PT GAG Nikel mendapat pengecualian dari rezim yang berkuasa saat itu melalui pengesahan UU No. 19/2004 tentang Penetapan Perppu No. 1/2004 tentang Kehutanan. IUP milik PT GAG Nikel baru terbit pada 2017 yang kemudian diperpanjang di tahun 2023.
PT GAG Nikel sendiri merupakan anak usaha BUMN (Badan Usaha Milik Negara) milik PT Aneka Tambang (Persero) Tbk. atau ANTAM. Pada awalnya kepemilikan saham perusahaan tersebut 75% adalah milik Asia Pacific Nickel (APN) Pty, Ltd asal Australia dan sisanya dimiliki ANTAM. Namun pada 2008 ANTAM mengakuisisi seluruh saham APN. Sepak terjang PT GAG Nikel mulai terlihat sejak dirinya menjadi pelopor dan kini satu-satunya aktif memproduksi nikel di wilayah Raja Ampat.
Nyatanya perusahaan-perusahaan yang telah dicabut IUP-nya di Raja Ampat memiliki profil ‘horor’ yang terafiliasi erat dengan oligarki. PT KSM misalnya, terafiliasi dengan sejumlah nama konglomerat negeri ini—Komisaris Utama PT Pantai Indah Kapuk Tbk., Susanto Kusumo, serta kedua putra Sugianto Kusuma (Aguan), yakni Richard Halim Kusuma dan Alexander Halim Kusuma—tercatat sebagai beneficial owner PT KSM. Perusahaan tersebut mengantongi IUP seluas 5.922 hektare di Pulau Kawei yang terbit sejak 2013 dan berakhir di tahun 2033.
Di sisi lain, PT ASP memiliki status penanaman modal asing (PMA) dan merupakan anak usaha dari PT Wanxiang Nickel Indonesia yang terafiliasi dengan grup tambang Vansun Grup asal Tiongkok. ASP sendiri baru mengantongi IUP pada 7 Januari 2024 dan berlaku hingga 10 tahun kemudian. Wilayah operasi tambang PT ASP mencakup luas wilayah 1.173 hektare di Pulau Manuran.
Baik Pulau Gag maupun Pulau Manuran yang menjadi objek tambang nyatanya adalah pulau kecil yang secara UU tidak diperbolehkan di dalamnya aktivitas pertambangan berdasarkan UU No. 1/2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Namun, tampaknya fakta tersebut tidak mengendurkan niat penguasa untuk tetap melanjutkan penggalian nikel di wilayah tersebut, terbukti dengan tidak dicabutnya IUP milik PT GAG Nikel.
Padahal Greenpeace Indonesia telah meliris laporan yang menunjukkan bagaimana aktivitas tambang yang sudah menyentuh pulau-pulau kecil semisal Gag, Kawei, dan Manuran telah menyebabkan kerusakan lebih dari 500 hektare area tutupan hutan. The Nature Conservacy (TNC) bahkan merilis data pada 2023 yang menyebutkan lebih dari 40% terumbu karang di sekitar area Pulau Gag dan Manuran telah mengalami bleaching (pemutihan). Kondisi tersebut diperparah dengan adanya sedimentasi yang menyebabkan lumpur dan material limbah tambang terbawa arus laut. TNC bahkan menyebut Raja Ampat telah kehilangan sekitar 15% populasi terumbu karangnya karena aktivitas tambang.
Kerusakan terumbu karang yang secara masif terjadi di Raja Ampat kemudian secara langsung berdampak pada sektor perikanan yang menjadi sumber kehidupan utama masyarakat adat setempat. Laporan dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) pada 2024 menyebutkan bahwa hasil tangkapan ikan di area Pulau Manuran telah menurun sekitar 35% sejak aktivitas tambang dilakukan. Aktivitas pertambangan yang menurunkan kualitas air laut mengurangi populasi ikan konsumsi di area terdampak.
Tidak hanya ikan konsumsi yang terdampak, tetapi juga ikan-ikan spesies langka akan mulai hilang di Raja Ampat. Dari sekitar 30 jenis mamalia laut yang lalu-lalang melintasi perairan Indonesia, 15 di antaranya melintasi dan menetap di perairan Raja Ampat. Jika kualitas air laut di wilayah tersebut terus-menerus menurun maka dapat diprediksi ada banyak biota laut eksotis nan langka yang tidak akan lagi menjadikan Raja Ampat sebagai jalur migrasi mereka. Fakta menyedihkan tersebut pada akhirnya kian menggambarkan bagaimana keserakahan manusia terutama para penguasa dan konglomerat—lebih memilih untuk ‘menyelamatkan’ hasil tambang senilai 3 juta metrik ton nikel per tahun ketimbang alam Papua yang menjadi rumah bagi 75% spesies laut dunia.
Kerakusan oligarki yang tumbuh subur dalam penerapan sistem kapitalisme benar-benar menjadi malapetaka bagi alam Raja Ampat. Oligarki yang dengan semena-mena mengeksploitasi alam Papua secara nyata didukung keberadaannya oleh hukum-hukum positif besutan sistem kapitalisme yang memang dirancang untuk kepentingan para empu cuan dan puan kekuasaan. Gurita oligarki kian meraja dan berkuasa karena memiliki afiliasi langsung dengan kekuasaan politik—memuluskan jalan untuk lolosnya berbagai kebijakan procuan serta menghindari jeratan hukum.
Sejatinya, nestapa yang dirasakan Raja Ampat seharusnya menjadi pengingat kita akan peringatan Allah Swt. yang tertulis dalam Kitabullah QS ar-Rum: 41, "Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan perbuatan tangan manusia. (Melalui hal itu) Allah membuat mereka merasakan sebagian dari (akibat) perbuatan mereka agar mereka kembali (ke jalan yang benar)." Wallahu a’lam bi ash-shawab.[]
0 Komentar