PHK di Depan Mata Akibat Kebijakan Relaksasi Impor

 




Ruruh Hapsari


#Wacana — Dilansir dari kompas.com bahwa Prabowo telah menetapkan kebijakan deregulasi dengan dua pendekatan yaitu kebijakan impor dan kemudahan berusaha. Menurut pemerintah, kebijakan deregulasi ini dilakukan agar mempermudah pelaku usaha dalam mempercepat investasi dan meningkatkan daya saing industri nasional khususnya padat karya (01/07/2025).


Langkah berikutnya Menteri Perdagangan Budi Santoso mencabut Permendag Nomor 8 Tahun 2024 dan menggantinya dengan mengeluarkan Permendag Nomor 16 Tahun 2025 tentang kebijakan dan pengaturan impor. Dalam hal ini Kemendag melonggarkan aturan impor terhadap 10 komoditas mencapai 482 produk yang sebagian besar adalah kehutanan. Banyaknya produk kehutanan yang diimpor menurut Budi tidak terdapat larangan dan pembatasan (lartas) dengan tujuan agar menghindari eksploitasi hutan di Indonesia.

Relaksasi Impor

Bukan menjadi lebih baik, kebijakan pelonggaran impor justru mengakibatkan pelonjakan barang luar negeri yang akhirnya produk lokal tertekan. Lebih jauh, tentu hal ini akan mengakibatkan tutupnya industri lokal yang berimbas pada Pemutusan Hubungan Kerja (PHK).


Menurut Piter Abdullah, Direktur Kebijakan dan Program Center for Policy Studies, PHK terjadi akibat relaksasi impor yang dilakukan pemerintah dilakukan tanpa pertimbangan. Tersebab barang selundupan pun disinyalir termasuk yang juga diimpor oleh pihak luar negeri (tirto.id, 30/06/2025). 




Piter menyatakan dalam rangka mencapai pertumbuhan ekonomi sebesar delapan persen yang menjadi idaman Prabowo sesungguhnya tidak cukup dengan hanya melakukan deregulasi kebijakan. Piter juga mengatakan bahwa deregulasi harus dibarengi dengan kemudahan perizinan dan kepastian hukum bagi pelaku usaha. Hal itu menurutnya menjadi efektif guna mendorong daya saing industri lokal dan dapat mendatangkan investasi.



Karena menurutnya, bila pemerintah hanya melakukan deregulasi saja hal itu tidak bisa mengembalikan kebangkitan ekonomi nasional yang sedang merosot. Menurutnya pula bahwa upaya pemerintah dalam hal deregulasi hanya menyentuh permukaan saja dan hal ini merupakan solusi semu belaka.

Selaras dengan Piter, Pengamat Ekonomi Pembangunan dari Universitas Pasundan, Acuviarta Kartabi menyatakan bahwa kebijakan deregulasi ini terlalu prematur untuk diputuskan oleh pemerintah. Acuviarta juga melihat bahwa komoditas yang menjadi sasaran relaksasi impor merupakan sektor strategis. 


Ia juga menyatakan bahwa relaksasi impor ini terdapat ketidakjelasan apakah pemerintah akan mengadakan evaluasi atau tidak termasuk dalam hal tidak adanya kejelasan jangka waktu pelonggaran impor hingga kapan. Acuvirta juga menduga bahwa relaksasi ini untuk mengeluarkan barang impor yang menumpuk di pelabuhan yang tertahan akibat ketidakstabilan ekonomi secara global (pikiran-rakyat.com, 03/07/2025).


Acurtiva khawatir kebijakan relaksasi impor ini kemungkinan menjadi kontradiktif terhadap semangat hilirisasi yang selalu digaungkan oleh Presiden. Terlebih produk dengan menggunaan bahan baku impor justru dijual di dalam negeri yang tentunya akan menjadikan produk ekspor menjadi tidak kompetitif. Bila itu terjadi justru akan menekan neraca perdagangan termasuk pembayaran dan nilai tukar. 

Kebijakan Penguasa

Kestabilan ekonomi negara merupakan tanggung jawab penguasa untuk menstabilkan semua faktor pendukungnya dalam rangka mensejahterakan masyarakat. Sedangkan kesejahteraan masyarakat merupakan kewajiban pemerintah karena mereka dipilih untuk melaksanakan hal tersebut. Sehingga otomatis negara mempunyai kewajiban pula untuk memikirkan dengan sungguh-sungguh segala aspek yang mereka lakukan agar kesejahteraan masyarakat dapat maksimal bukan justru merugikan rakyat.


Segala keputusan penguasa dalam hal deregulasi produk impor justru berakibat timbulnya kekhawatiran terhadap produk lokal yang bukan hanya kalah saing di dalam negeri bahkan luar negeri. Tersebab banjirnya produk impor yang tidak hanya lebih murah tetapi juga lebih kreatif dan inovatif.


Dari sini, perlu diperhatikan jual beli produk impor kemudian ketahanan ekonomi negeri. Saat ini Indonesia merupakan negara dunia ketiga yang jumlah penduduknya tidak sedikit sedangkan negeri-negeri lain butuh pembeli dari produk-produknya. Dengan adanya banyak perjanjian, maka dibuatlah segala alasan agar barang luar negeri dapat lolos dan masuk ke negeri ini. 


Sesungguhnya persoalan ini butuh akan adanya ketegasan penguasa, lebih baik mengoptimalkan produk dalam negeri daripada terus meloloskan impor yang justru mengakibatkan matinya industri anak bangsa. Bukan hanya itu, populasi negeri yang dominan usia produktif, justru seharusnya pemerintah mempunyai perhatian agar lapangan kerja lebih mudah didapat. Tidak hanya dengan membuka lowongan kerja, tetapi juga meningkatkan kualitas usia produktif. 


Hal itu akan selalu menjadi cita-cita bila pemerintah tidak betul-betul melepaskan diri dengan perjanjian luar negeri yang tentu saja banyak yang merugikan. Bukan hanya mencari negara konsumen, melainkan mereka juga berusaha menanamkan kecenderungan yang jauh dari nilai-nilai Islam. Layaknya konsumtif, kebebasan berpakaian, khamr, obat-obatan terlarang, dan lain sebagainya.  


Tentunya semua itu bisa dihadang apabila syariat ditegakkan oleh negara. Hal ini bukan khayalan dan isapan jempol belaka karena selama ratusan tahun Islam telah tegak di dua pertiga dunia dan hari ini pun jejaknya masih ada. 


Bukan hanya bisa menolak produk impor dan membuat ketahanan ekonomi sendiri, Daulah Khilafah saat itu justru menjadi mercusuar dunia. Segala yang dilakukannya menjadi kiblat dan Barat pun tunduk terhadapnya. Sehingga apakah keterkungkungan terhadap perjanjian luar negeri menjadi hambatan untuk bangkit? Padahal Islam telah menjawabnya. Wallahualam.[]





Posting Komentar

0 Komentar