Menakar Efektivitas Program Rutilahu di Bekasi

 


Ummu Zhafira



#Bekasi — Tempat tinggal merupakan kebutuhan mendasar bagi masyarakat. Bukan sembarang tempat untuk bisa berteduh, melainkan mesti layak karena di sanalah kita memulai dan melakukan berbagai aktivitas. Sayangnya, kehidupan metropolis membuat sebagian besar masyarakat kesulitan mengakses kebutuhan tersebut. Banyak di antara mereka terpaksa bertahan di rumah tanpa memenuhi standar layak.



Hal semacam inilah yang menimpa dua keluarga penghuni sebuah rumah kontrakan yang kondisinya sangat memprihatinkan. Rumah kontrakan tersebut berada di Kampung Sawah, Kelurahan Bintara Jaya, Kecamatan Bekasi Barat, Kota Bekasi. Rumah itu mencuri banyak perhatian karena posisinya seperti ditelan bumi. Dalam beberapa tahun terakhir, rumah itu amblas sedalam satu meter. Kondisi seperti ini diduga diakibatkan adanya penurunan tanah.



Dengan jarak tanah dan plafon hanya setinggi 180 cm, rumah tersebut disekat menjadi dua ruangan untuk masing-masing dihuni satu keluarga. Salah satu keluarga bahkan sudah menempati rumah yang keadaannya sangat rapuh tersebut selama belasan tahun. Selain dihantui rasa khawatir karena rumah bisa roboh sewaktu-waktu, banjir juga kerap menjadi langganan. Mereka terpaksa bertahan karena terkendala oleh keterbatasan ekonomi. (Kompas.com, 04/08/2025)



Belum lama ini, pelaksanaan Program Rumah Tidak Layak Huni (Rutilahu) di Kampung Pondok Rangon, Kelurahan Jatimurni, Kecamatan Pondok Melati diresmikan oleh Wali Kota Bekasi Tri Adhianto. Program ini merupakan hasil kolaborasi strategis antara Pemkot Bekasi dan Yayasan Bersinar Pelita Hati. Hal ini ditujukan untuk meningkatkan kualitas hidup dan hunian yang layak bagi masyarakat prasejahtera. (Gobekasi.id, 03/08/2025)



Senada dengan Pemkot Bekasi, Pemerintah Kabupaten Bekasi juga melakukan hal serupa. Mereka menaikkan dua kali lipat bantuan untuk program Rutilahu di wilayah mereka. Bantuan itu direncanakan naik menjadi Rp40 juta mulai 2026, yang sebelumnya hanya Rp20 juta per unit. Menurut penjelasan pihak terkait, hal ini dilakukan mengingat harga bahan bangunan dan biaya tenaga kerja mengalami lonjakan yang cukup signifikan. (Radarbekasi.id, 23/05/2025)



Langkah konkret yang telah dilakukan Pemerintah Bekasi, baik kota maupun kabupaten, patut diapresiasi. Namun, sayangnya di saat yang sama masih terdapat kasus tragis seperti keluarga di Bintara. Belasan tahun mereka hidup dalam kondisi ekstrem di tengah kebijakan program Rutilahu. Sebuah ironi yang mencerminkan adanya ketimpangan pelaksanaan dan pemerataan kebijakan.



Ironisnya lagi, berdasarkan data Dinas Perumahan, Kawasan Permukiman, dan Pertanahan (Disperkimtan) pada 2022, setidaknya ada 2.700 lebih rumah di Kota Bekasi yang masuk kategori tidak layak huni. Meskipun mereka merilis ratusan rumah yang menjadi target sasaran program Rutilahu, kenyataan di lapangan menunjukkan masih banyak masyarakat yang hidup di rumah tidak layak.



Tanpa adanya pendataan secara detail pada keluarga rentan, alokasi program bisa salah sasaran. Rumah yang kondisinya tidak begitu parah malah ter-cover, sedangkan kasus darurat seperti rumah amblas di Bintara justru tidak tersentuh dengan cepat. Apalagi ditambah rendahnya pengawasan dan transparansi. Hal ini justru bisa memungkinkan munculnya kasus korupsi, kolusi, atau abuse of power. Problem semacam ini sudah sering terjadi di berbagai proyek infrastruktur lokal dengan kerangka desentralisasi.



Inilah karakteristik kebijakan kapitalisme-sekuler: materi selalu menjadi tolak ukur. Semua urusan publik diukur dari berapa anggaran yang bisa dikeluarkan, bukan sejauh mana masyarakat terjamin kebutuhan dasarnya. Sudah begitu, program seperti ini justru sering menguntungkan pihak tertentu (kontraktor, oknum pejabat) dibanding masyarakat yang menjadi sasaran.



Dalam kapitalisme, negara memang berlepas tangan sebagai penanggung jawab utama kesejahteraan masyarakat. Makanya mereka sering memecah dan melemparkannya pada “mekanisme pasar” atau “program bantuan sementara”.



Berbeda sekali dengan Islam. Sebagaimana yang telah ditegaskan oleh Syekh Taqiyuddin an-Nabhani dalam Muqaddimah ad-Dustur dan Nidham al-Iqtishadi, “Pemeliharaan urusan rakyat (ri‘ayah asy-syu’un) adalah tugas negara, yang harus dilaksanakan sesuai hukum-hukum syara’, bukan sesuai kepentingan politik atau keuntungan materi.” Hal ini sejalan dengan hadis Rasulullah saw., “Imam (pemimpin) adalah pengurus rakyat, dan ia akan dimintai pertanggungjawaban atas rakyatnya.” (Hadis Riwayat Bukhari & Muslim)



Oleh karena itu, negara harus memastikan semua masyarakat terpenuhi hak dasarnya (sandang, pangan, papan), khususnya dalam hal ini adalah memiliki hunian yang layak. Islam juga memiliki mekanisme pengumpulan dan distribusi kekayaan yang adil sehingga tidak ada kesenjangan yang memungkinkan rakyat tinggal di rumah tidak layak. Selain itu, ada sistem pengawasan ketat yang dilakukan oleh qadhi hisbah dan masyarakat secara langsung, bukan sekadar audit anggaran.



Jika masih ditemui masyarakat miskin yang tidak memiliki hunian karena berbagai macam keterbatasan, negara wajib memenuhinya secara langsung melalui baitulmal. Negara membiayai penuh pembangunan ataupun renovasi rumah sesuai kebutuhan. Ketika baitulmal kosong, negara boleh memungut dharibah, yaitu pajak sementara atas kaum muslim yang mampu. Hal ini dilakukan hanya untuk menutup kebutuhan pokok warga miskin, salah satunya untuk membangun rumah yang layak.



Oleh karena itu, penanganan kasus seperti rumah amblas tidak boleh menunggu program tahunan atau proposal yang tenggat waktu dan dananya terbatas, tetapi harus masuk kategori hajat darurat yang ditangani segera. Sebab di dalam Islam, ini masuk pada perkara hifzh an-nafs (perlindungan jiwa) dan hifzh al-milk (perlindungan harta). Maka, efektivitas penanganan Rutilahu hanya bisa terwujud dengan sistem Islam yang rahmatan lil 'alamin.[]


Posting Komentar

0 Komentar