Pati Memanas, Demokrasi Kandas?

 



 

Karina Fitriani Fatimah

 

#TelaahUtama — Pada Rabu (13/08) lalu warga Pati melakukan demonstrasi besar-besaran di depan Kantor Bupati Pati. Ribuan warga menuntut mundurnya Bupati Pati, Sudewo, pascapenerapan kebijakan kontroversial yang diterapkannya. Beberapa kebijakan zalim tersebut ialah kenaikan tarif Pajak Bumi dan Bangunan Pedesaan dan Perkotaan (PBB-P2) hingga 250%, perubahan ketentuan hari sekolah, pengisian direktur Rumah Sakit Soewondo, hingga pemangkasan anggaran termasuk dalam sektor pendidikan dan kesehatan (tempo.co, 14/08/2025).

 

Menanggapi permintaan warga untuk turun jabatan, Sudewo menyebut dirinya sebagai Kepala Daerah yang dipilih rakyat secara konstitusional dan demokratis. Oleh karenanya,  ia bersikukuh dirinya tidak bisa mundur dari jabatan yang sudah ‘dipercayakan’ oleh rakyat. Di sisi lain, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kabupaten Pati segera membentuk Panitia Khusus (Pansus) Hak Angket terkait pemakzulan bupati pada 13 Agustus lalu. Angggota dewan menilai Sudewo telah melanggar sumpah jabatan dalam mengedepankan kesejahteraan rakyat banyak (cnnindonesia.com, 13/08/2025).

 

Tidak hanya kebijakan-kebijakan zalim keluaran Sudewo yang memberatkan rakyat, ternyata Sudewo tersangkut pula kasus dugaan korupsi proyek jalur Kereta Api (KA) pada Direktorat Jenderal Perkeretaapian (DJKA) Kementerian Perhubungan (Kemenhub). Sekalipun Sudewo telah mengembalikan uang yang diterimanya, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memastikan pengusutan keterlibatan Bupati Pati tersebut dalam kasus dugaan korupsi yang menjeratnya akan tetap berjalan. Sudewo diklaim menerima commitment fee pembangunan jalur kereta api tatkala masih menjabat sebagai anggota DPR pada masa jabatan sebelumnya (detik.com, 14/08/2025).

 

Viralnya sosok Sudewo pada akhirnya menjadi pengingat bagi kita betapa bobroknya sistem demokrasi yang masih saja diterapkan di negeri ini. Demokrasi yang menjadikan jargon “vox populi vox dei” (suara rakyat adalah suara Tuhan) nyatanya hanya omong kosong belaka. Sistem demokrasi membutuhkan suara rakyat hanya pada perhelatan pesta demokrasi, selebihnya para penguasa akan menggunakan kuasanya untuk kepentingan oligarki. Tidak jarang kemudian para pemimpin ikut mencatut uang rakyat dengan dalih kompensasi menutupi mahalnya biaya demokrasi dengan melakukan tindak korupsi.

 

Kebusukan sistem demokrasi bukan lagi di ranah cabang tetapi justru dari asasnya. Sistem demokrasi yang katanya “menuhankan” suara rakyat secara nyata mengagungkan ide kebebasan bagi setiap individu masyarakat termasuk para penguasa. Demokrasi secara struktural membuka peluang seluas-luasnya bagi para wakil rakyat yang disebut-sebut sebagai pilihan rakyat untuk merumuskan kebijakan tanpa batasan halal-haram. Oleh karenanya, adalah hal yang ‘wajar’ bagi seorang Sudewo selaku Penguasa Pati untuk mengobok-obok kebijakan seenak jidatnya.

 

Adalah hal yang wajar pula di dalam demokrasi munculnya berbagai lontaran ketidakpuasan salah satunya melalui aksi demonstrasi. Aksi demontrasi diklaim sebagai salah satu jalan bagi rakyat untuk menyampaikan aspirasinya di hadapan penguasa. Namun pada kenyataannya, demokrasi yang disebut-sebut menjunjung tinggi kebebasan berpendapat tidak serta-merta ‘mendidik’ para pemimpin untuk manut pada kemauan rakyat. Lihat saja bagaimana sikap Sudewo di awal pecahnya demo yang menantang balik rakyat dengan ‘ancaman’ konstitusi. 

 

Akan tetapi, seiring dengan memuncaknya kemarahan rakyat, penguasa di alam demokrasi akan terus berupaya mecari ‘titik temu’ guna meredakan amarah masyarakat sekaligus melanggengkan kekuasaannya. Titik temu yang dimaksud ialah penetapan kebijakan yang semaksimal mungkin menguntungkan oligarki tetapi masih bisa ditolerir rakyat hingga batas tertentu. Artinya kebijakan-kebijakan ‘susulan’ pascakegagalan penerapan kebijakan zalim di awal, tidak lebih hanya sekedar ‘obat penenang’ agar masyarakat diam. Inilah yang sempat dilakukan Sudewo tatkala dirinya menyatakan telah menganulir penetapan kenaikan PBB-P2 hingga 250%. Sikap yang ditunjukkan Sudewo bukanlah untuk kepentingan rakyat, melainkan sekedar upaya meredam amarah masyarakat sementara.

 

Lalu apakah permasalahan Pati khususnya serta berbagai permasalahan negeri ini akan terselesaikan dengan pemakzulan para penguasa semacam Sudewo? Sayangnya tidak! Sistem demokrasi meniscayakan munculnya Sudewo-Sudewo lain yang lebih mengedepankan kepentingan para cuan dibanding rakyat banyak. Para pemimpin dalam sistem demokrasi akan senantiasa menelurkan kebijakan-kebijakan kufur tanpa benar-benar mengakomodir kebutuhan rakyat. Hal ini terjadi karena memang demokrasi adalah sistem politik yang cacat sejak lahir. Seluruh hukum turunan demokrasi bersifat ‘relatif’ bergantung pada siapa yang saat ini tengah berkuasa. 

 

Dari sini jelas yang seharusnya dilakukan oleh warga Pati khususnya dan rakyat Indonesia pada umumnya adalah mengembalikan negeri ini kepada fitrah yakni dengan memilih jalan kebenaran hakiki yang hanya datang dari Sang Pencipta, Allah Swt.. Karena hanya dengan menerapkan semua hukum-Nya sajalah negeri ini akan terbebas dari cengkeraman oligarki serta menggapai kesejahteraan rakyat. Allah Swt. berfirman, “Dan Kami turunkan kepadamu Alkitab (Al-Qur’an) untuk menjelaskan segala sesuatu dan sebagai petunjuk, serta rahmat dan kabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri.” (Surah An-Nahl Ayat 89) 

Wallahualam bissawab.[]

Posting Komentar

0 Komentar