Shazia Alma
#TelaahUtama — Gelombang protes di
Pati beberapa waktu lalu dipicu oleh kebijakan Bupati Sudewo menaikkan Pajak
Bumi dan Bangunan (PBB) hingga 250 persen. Dalihnya adalah meningkatkan
pendapatan asli daerah yang stagnan lebih dari satu dekade. Namun, kebijakan
yang datang tiba-tiba dan disertai komunikasi politik yang kasar justru
menimbulkan gejolak, bahkan berujung pada tuntutan pemakzulan. (Bisnis.com,
06/08/2025)
Apa yang terjadi di Pati hanyalah
potret kecil—rakyat negeri ini yang terjajah ketidakadilan—dari Indonesia
secara keseluruhan. Negara memiliki limpahan kekayaan alam, akan tetapi
menumpukan keuangan negaranya pada pungutan pajak. APBN 2025 misalnya, lebih
dari 70% ditopang pajak (Kemenkeu RI, APBN Kita 2025). Maka, akar masalahnya
bukan sekadar bupati arogan, tapi negara yang mengadopsi sistem fiskal
kapitalis. Selama paradigma itu dipertahankan, krisis serupa akan terus terjadi
di daerah-daerah lain. Ibn Khaldun dalam Muqaddimah menyebut pajak
berlebih melemahkan produktivitas rakyat dan mempercepat runtuhnya negara.
Politik Ekonomi: “Pajak Berlebih”
Mempercepat Keruntuhan Negara
Dalam demokrasi, saat legitimasi
merosot, negara cenderung mengganti “consent” dengan “control”—meningkatkan
razia, denda, sanksi. Ini menaikkan compliance cost dan memperuncing
konflik negara–warga (researchgate.net. The Political Economy of Taxation).
Disusul, distraksi kebijakan. Elite terdorong pada kebijakan jangka pendek
(pungutan baru, one-off windfall) alih-alih reformasi produktivitas;
hasilnya, time inconsistency dan volatilitas aturan (econlib.org,
30/09/2014).
Hal tersebut akan memunculkan koalisi
anti-reform. Pungutan menjadi rente bagi aktor tertentu (izin, kontrak,
konsesi); mereka berkepentingan mempertahankan beban meski merusak basis
produktif (en.m.wikipedia.org. Rent extraction). Terjadi juga elite
capture, yang berarti sumber daya publik atau kebijakan pungutan
dijadikan alat menguntungkan kalangan elite—menyebabkan distribusi yang timpang
dan mengikis kesejahteraan umum (wikipedia).
Dalam sistem politik yang akrab
dengan koalisi patronase, pungutan fiskal digunakan untuk membayar loyalitas,
bukan melayani publik, sehingga memperlemah kemampuan negara untuk melakukan
reformasi fiskal berorientasi produktivitas (elibrary.imf.org). Pajak
berlebihan bukan hanya soal penerimaan; ia adalah bom waktu yang menggerogoti
pondasi ekonomi, sosial, dan politik negara.
Krisis Legitimasi Kepemimpinan
Secara politik, gejolak ini
menandakan hilangnya legitimasi seorang pemimpin ketika kebijakannya dianggap
tak lagi berakar pada kepentingan rakyat. Demokrasi memberi ruang bagi penguasa
terpilih untuk membuat kebijakan, tapi jarang memastikan kebijakan itu sesuai
dengan suara rakyat. Ketika rakyat menolak, yang muncul keputusan sepihak bukan
musyawarah—Surah Ash-Shura [42] Ayat 38 menegaskan bahwa urusan publik
seharusnya diputuskan dengan musyawarah—melainkan represi atau sekadar
klarifikasi yang terlambat.
Kasus “Pati Membara” bukan sekadar
persoalan teknis kenaikan pajak, tetapi refleksi kegagalan sistem politik
sekuler yang cenderung memisahkan penguasa dari rakyat. Demokrasi yang bertumpu
pada pajak dan kepemimpinan yang arogan rentan memicu konflik horizontal.
Rakyat sudah membuktikan bahwa suara mereka tak bisa dipadamkan dengan
intimidasi. Namun, lebih jauh lagi, solusi tuntas hanya ada bila sistem yang
zalim diganti dengan sistem yang adil.
Krisis legitimasi dalam demokrasi
bukanlah kasus individual, melainkan konsekuensi struktural dari sistem yang
meniadakan peran wahyu sebagai dasar hukum dan kepemimpinan.
Solusi Krisis Legitimasi: Khilafah
Dengan Khilafah, legitimasi
kepemimpinan tidak ditentukan oleh popularitas, melainkan oleh ketaatan penuh
pada syariat Allah, sehingga lebih stabil, adil, dan jauh dari krisis seperti
yang terus berulang dalam demokrasi kapitalis.
Negara Khilafah adalah pelayan umat,
bukan penguasa. Jika dipandang dari perspektif Khilafah, solusi yang ditawarkan
bukan sekadar pencabutan pajak, tetapi perombakan menyeluruh dalam tata kelola
ekonomi dengan kembalinya pengelolaan SDA ke tangan negara, agar APBD tidak
bergantung pada pajak rakyat. Dari aspek politik, kepemimpinan harus berbasis
syura (musyawarah) dan amanah, bukan arogan dan menantang rakyat. Secara
sosial, negara menjamin pelayanan kesehatan, pendidikan, dan infrastruktur dari
baitulmal, bukan dari pungutan memberatkan.
Dalam sistem Islam, seorang pemimpin
bukanlah penguasa yang bisa menekan rakyat, melainkan ra’in
(penggembala) yang bertanggung jawab penuh di hadapan Allah atas kesejahteraan
rakyatnya. Rasulullah ﷺ bersabda, “Imam adalah pengurus rakyat, dan ia akan
dimintai pertanggungjawaban atas rakyatnya.” (Hadis Riwayat al-Bukhari,
Muslim)
Islam ideologis melalui Khilafah
menghadirkan solusi menyeluruh: pemimpin yang amanah, sistem keuangan negara
yang independen dari pajak rakyat, dan kebijakan publik berbasis musyawarah.
Hanya dengan kerangka seperti ini, konflik serupa dapat dicegah, dan hubungan
pemimpin–rakyat kembali dalam koridor pelayanan dan keadilan. (Taqiyuddin
an-Nabhani, Daulah Islam, hlm. 120–126, tentang kewajiban Khilafah
mewujudkan keadilan ekonomi dan politik.
Islam Menawarkan Model Kepemimpinan
Ideologis
Kepemimpinan dalam Islam harus
terlegitimasi secara syariat. Pemimpin dipilih untuk menegakkan hukum
Allah, bukan menjalankan ambisi politik. Islam memiliki aturan akuntabilitas
ganda, yakni rakyat berhak mengoreksi (muhasabah) penguasa, dan pemimpin akan
dihisab di akhirat.
Aturan Islam yang kafah, seperti
penerapan sistem ekonomi Islam dalam hal fiskal, berkarakter adil—sumber
keuangan dari pengelolaan SDA dan zakat, bukan pajak memeras rakyat. Adanya
kontrol umat dan ulama—ada mekanisme hisbah dan mahkamah mazhalim
untuk mengadili penguasa zalim.
Kasus “Pati Membara” memberi
pelajaran penting bahwa demokrasi yang bertumpu pada pajak dan kepemimpinan
yang arogan rentan memicu konflik horizontal. Rakyat sudah membuktikan bahwa
suara mereka tak bisa dipadamkan dengan intimidasi. Namun, lebih jauh lagi,
solusi tuntas hanya ada bila sistem yang zalim diganti dengan sistem yang adil.
Khilafah Islam menawarkan jalan itu: negara yang kuat tanpa menindas rakyat,
sejahtera tanpa pajak permanen, dan pemimpin yang amanah tanpa arogansi.
Wallahualam bissawab.[]
0 Komentar