Di Balik Skema Chromebook: Fakta Gelap Korupsi di Balik Proyek Pendidikan

 



Karina Fitriani Fatimah

 

#TelaahUtama — Secara resmi Kejaksaan Agung (Kejagung) menetapkan mantan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Mendikbudristek), Nadiem Makarim sebagai tersangka pada kasus dugaan korupsi program digitalisasi pendidikan khususnya dalam pengadaan laptop berbasis Chromebook di tahun 2019–2022. Penetapan tersebut dilakukan setelah Kejagung memeriksa setidaknya 120 saksi dan 4 orang ahli. Nadiem dijerat Pasal 2 Ayat 1 atau Pasal 3 juncto Pasal 18 Undang-undang No. 31/1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 Ayat 1 KUHP (kompas.com, 04/09/2025).

 

Sebelum Nadiem telah ditetapkan beberapa tersangka lainnya yakni mantan staf khusus Nadiem, Jurist Tan; mantan Konsultan Teknologi di lingkungan Kemendikbudristek Ibrahim Arief; Direktur Sekolah Menengah Pertama pada Direktorat Jenderal Pendidikan Anak Usia Dini, Pendidikan Dasar dan Pendidikan Menengah (Dirjen PAUD Dikdasmen) tahun 2020–2021, Mulyatsyah; dan Direktur Sekolah Dasar pada Dirjen PAUD Dikdasmen tahun 2020–2021, Sri Wahyuningsih. Dalam kasus tersebut Kejagung menyebut negara mengalami kerugian sebesar Rp1,98 triliun dari total proyek digitalisasi senilai Rp9,982 triliun (detik.com, 05/09/2025).

 

Kasus ini bermula dari pertemuan Nadiem bersama dengan pihak Google Indonesia terkait program “Google for Education” pada Februari 2020. Pertemuan tersebut kemudian menyepakati penggunaan sistem operasi Chrome dan Chrome Device Management (CDM) untuk proyek pengadaan teknologi informasi dan komunikasi (TIK). Lebih lanjut pada 6 Mei 2020 Nadiem dan jajarannya menginstruksikan penggunaan produk Google dalam proyek TIK kepada para pejabat Kemendikbudristek. Hal tersebut berbeda dengan instruksi menteri sebelumnya, Muhadjir Effendy, yang menolak usulan serupa karena dianggap gagal dalam uji coba di sekolah tertinggal pada tahun 2019. 

 

Penggunaan produk Google dalam berbagai proyek TIK Kemendikbudristek terus berlanjut dengan disusunnya petunjuk teknis (juknis) yang disebarkan kepada pejabat kementerian. Lebih jauh, Nadiem menerbitkan Permendikbud No. 5/2021 tentang Petunjuk Operasional Dana Alokasi Khusus (DAK) Fisik Bidang Pendidikan yang melampirkan secara spesifik penggunaan sistem operasi Chrome. 

 

Menanggapi hal tersebut, pihak Nadiem membantah keras dirinya melakukan tindak korupsi dalam kasus pengadaan laptop berbasis sistem operasi Chrome. Nadiem menyebut bahwa proses pengadaan laptop selama ia menjabat tidak ditujukan bagi daerah 3T (terdepan, terluar, terjauh) yang sulit mengakses internet. Ia memastikan bahwa laptop Chromebook ditujukan bagi daerah-daerah yang infrastruktur internetnya sudah cukup matang. Sedangkan untuk wilayah 3T, Kemendikbudristek pada masa jabatannya memiliki program berbeda yakni “Awan Penggerak”. Ia juga mengklaim 97% laptop telah diterima sekolah pada tahun 2023. 

 

Mengenai alasan pemilihan sistem operasi Chrome, Nadiem menyebut pihak kementerian telah melakukan pengkajian mendetail dengan membandingkan performa beberapa sistem operasi. Menurutnya, penggunaan sistem operasi Chrome bisa menurunkan harga laptop dengan spesifikasi sama hingga 30% karena Chrome adalah sistem operasi yang tidak berbayar. Chrome juga disebut memiliki fungsi kontrol aplikasi untuk anak-anak dan dapat disesuaikan dengan fungsi pendidikan (tempo.co, 11/06/2025). Nadiem juga menambahkan alasan dirinya bersegera melakukan pengadaan laptop Chromebook adalah untuk mencegah learning loss selama pandemi COVID-19 di tahun 2020 silam.

 

Di sisi lain, tim penyidik Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) menilai bahwa pangkal utama tindak pidana korupsi Chromebook terdapat dalam program dan pengadaan proyek. Penyidik menyimpulkan adanya berbagai kesepakatan yang secara sengaja dilakukan agar pengadaan proyek diarahkan pada vendor-vendor yang sudah ditentukan oleh pihak kementerian khususnya pihak Google. Tidak hanya itu, pihak Kejagung menilai proyek besutan Nadiem tidak tepat guna karena spesifikasi laptop yang dianggarkan berbasis internet, sedangkan akses internet di Indonesia belum merata (cnnindonesia.com, 11/06/2025).

 

Hingga kini pihak Jampidsus masih menyelidiki lebih dalam dugaan kasus korupsi Chromebook. Tim penyidik mengungkapkan bahwa harga satuan laptop berada di kisaran harga Rp5–7 juta/unit. Namun, Kepala Pusat Penerangan dan Hukum (Kapuspenkum) Kejagung, Harli Siregar menyebut adanya penggelembungan dana pembelian laptop menjadi Rp10 juta/unit (republika.co.id, 04/06/2025).

 

Permasalahan korupsi di negeri ini tampaknya sudah melekat pada para penguasa dan jajarannya. Tidak tanggung-tanggung, tindak pidana korupsi bahkan menjamur hingga lembaga pendidikan. Celakanya, kerugian finansial yang dialami negara cukup besar bahkan bernilai triliunan. Korupsi sendiri sesungguhnya memiliki makna yang cukup luas. Tindak pidana korupsi tidak hanya terbatas pada kasus penyuapan atau perilaku yang secara finansial menambah harta pelaku korupsi. Lebih dari itu korupsi mencakup penyalahgunaan kekuasaan atau jabatan (publik) yang bisa mengarah kepada manipulasi kebijakan. Definisi korupsi semacam ini jelas memenuhi duduk perkara tindak pidana korupsi pengadaan laptop Chromebook karena Nadiem dan jajarannya secara nyata ‘menggiring’ pembiayaan negara kepada pihak-pihak tertentu yang bersepakat dengannya.

 

Ironisnya, kasus korupsi semacam pengadaan Chromebook bisa dengan mudah kita dapatkan di lingkungan kementerian dan lembaga negara. Pasalnya, sistem pemerintahan demokrasi yang diterapkan di negeri ini memang mengharuskan para penguasa melakukan berbagai politik transaksional dengan para cuan sebagai timbal balik atas kursi kekuasaan yang ia dapatkan. Sistem demokrasi telah dikenal luas sebagai sistem pemerintahan ‘mahal’ karena kebutuhan para calon pejabat untuk menggandeng para pengusaha guna mengikuti ajang pemilu. Alhasil, kebijakan yang akan ‘ditelurkan’ penguasa pun lebih banyak memihak para cuan ketimbang rakyat banyak.

 

Bobroknya sistem demokrasi kian diperparah dengan keberadaan para pejabat yang menjadi pengemban sejati sekuler-kapitalisme. Sistem kehidupan sekuler secara nyata dan terstruktur membentuk manusia-manusia yang mendewakan hawa nafsu dan tidak mengenal batasan halal-haram tidak terkecuali para pejabat. Gaya hidup semacam ini lebih jauh membentuk individu-individu yang tidak lagi mengenal dosa dan bahkan terkesan ‘menantang’ Tuhan. Lihat saja bagaimana sikap arogan yang dipertontonkan para anggota dewan sebelum akhirnya masyarakat mengamuk hingga menjarah sejumlah rumah wakil rakyat. 

 

Lebih dari itu, sistem kapitalisme membentuk mental penguasa yang fokus pada kesenangan duniawi. Celakanya lagi, sistem yang kapitalistik ini secara struktural ‘mengkerdilkan’ tanggung jawab penguasa yang seharusnya adalah pelayan rakyat menjadi pihak yang selalu menghitung untung-rugi. Padahal kewajiban penguasa adalah mengurusi urusan rakyatnya bukan mencari keuntungan.

 

Dari sini wajar jika kemudian sistem bobrok demokrasi-kapitalisme-sekuler justru memunculkan berbagai kebijakan antirakyat. Dalam kasus pengadaan laptop Chromebook misalnya, para pejabat terkait hanya fokus pada keberhasilan dalam memenangkan tender tanpa menilai butuh tidaknya pengadaan tersebut. Bagaimanapun lagi-lagi uang rakyatlah yang diambil dengan semena-mena oleh penguasa. Padahal rakyat negeri ini sedang tidak baik-baik saja dan mengalami berbagai himpitan ekonomi yang luar biasa menyesakkan dada. Lalu ke manakah hati nurani para penguasa negeri ini tatkala melihat berbagai kesulitan ekonomi yang dialami rakyatnya?  Wallahualam bissawab.[]

Posting Komentar

0 Komentar