Skenario Manipulasi Chromebook: Pejabat Tidak Amanah, Generasi Jadi Korban

 



Shazia Alma

 

#TelaahUtama — Kasus dugaan manipulasi Chromebook yang menyeret mantan Mendikbudristek, Nadiem Makarim, adalah potret tragis pengkhianatan pejabat terhadap amanah pendidikan. Kejaksaan Agung telah menetapkannya sebagai tersangka pada 4 September 2025 dengan kerugian negara mencapai Rp1,9 triliun hingga Rp9,9 triliun dalam pengadaan laptop, modem, dan proyektor untuk sekolah (reuters.com, 04/09/2025).

 

Korupsi di sektor pendidikan adalah pembunuhan masa depan—merampas hak anak bangsa untuk mendapat fasilitas yang layak, serta menghancurkan kepercayaan rakyat. Allah Swt. telah memperingatkan keras tentang pengkhianatan amanah, “Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanah kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil.” (Surah An-Nisa Ayat 58)

 

Ayat ini menegaskan bahwa amanah kepada penguasa—seperti dalam urusan pengadaan Chromebook sebagai sarana pendidikan—adalah kewajiban ilahiah, bukan sekadar kontrak birokrasi. Rasulullah ﷺ telah memperingatkan bahwa amanah adalah penentu keimanan seseorang, “Tidak ada iman bagi orang yang tidak amanah, dan tidak ada agama bagi orang yang tidak menepati janji.” (Hadis Riwayat Ahmad, no. 12565) Hadis ini menunjukkan bahwa korupsi bukan hanya pelanggaran administratif, melainkan juga penyalahgunaan wewenang dan manipulasi aturan negara, bahkan juga indikasi hilangnya iman dalam hati seorang pejabat.

 

Dalam sejarah Islam, para khalifah dan pejabat negara dituntut hidup sederhana, jauh dari KKN (korupsi, kolusi, dan nepotisme). Umar bin Khattab sebagai Amirul Mukminin pada zamannya pernah menolak untuk hidup berlebihan meski beliau seorang khalifah. Ia bahkan menegur gubernurnya, Khalid bin Walid, karena menerima hadiah, seraya berkata, “Hadiah bagi seorang pejabat adalah pengkhianatan.” (Hadis Riwayat Ahmad, Abu Dawud)

 

Larangan Allah memakan harta dengan cara batil dalam Surah Al-Baqarah Ayat 188, “Dan janganlah sebagian kamu memakan harta sebagian yang lain dengan jalan yang batil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim supaya kamu dapat memakan sebagian daripada harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui.”

 

Umar bin Abdul Aziz ketika menjadi khalifah, memadamkan lampu istana saat berbicara urusan pribadi agar tidak membebani harta negara. Ini menunjukkan standar integritas yang sangat tinggi. Bandingkan dengan pejabat hari ini, fasilitas negara digunakan untuk memperkaya diri, sementara anak bangsa kehilangan hak dan masa depannya.

 

Banyak ulama dan pemikir menyebut korupsi sebagai bentuk pengkhianatan karena ia mengkhianati amanah rakyat, negara, dan juga Allah ﷻ. Ibnu Taimiyyah (w. 728 H) dalam As-Siyāsah as-Syar’iyyah menyatakan, "Setiap pejabat yang mengambil harta rakyat tanpa hak adalah zalim dan khianat. Perbuatan itu termasuk dosa besar yang merusak keadilan negara."

 

Syekh Yusuf al-Qaradawi dalam Al-Ḥalāl wa al-Ḥarām fī al-Islām menuliskan, "Korupsi (risywah, ghulul, dan bentuk manipulasi lainnya) adalah penyakit kronis umat. Ia menghancurkan keadilan, menzalimi rakyat, dan menentang syariat Allah." Prof. Dr. Wahbah az-Zuhaili—ulama fiqih kontemporer, penulis Al-Fiqh al-Islāmī wa Adillatuhu—menjelaskan bahwa korupsi adalah pengkhianatan terhadap amanah dan penggelapan harta publik. Hukumnya haram secara mutlak karena termasuk ghulul dan risywah yang dilaknat oleh Allah dan Rasul-Nya.

 

Syekh Taqiyuddin an-Nabhani dalam bukunya Al-Dawlah al-Islamiyyah; An-Nizām al-Iqtishādī fī al-Islām/The Economic/System in Islam, dan Syekh Abdul Qodim Zallum dalam beberapa bukunya seperti How the Khilafah Was Destroyed dan Al-Amwāl fī Dawlat al-Khilāfah menperjelas bahwa korupsi/penyelewengan adalah salah satu buah dari sistem sekuler kapitalisme yang menomorduakan syariat. Transisi sistem ke Khilafah yang menerapkan aturan Islam adalah cara yang diajukan untuk mengakhirinya.

 

Harta yang diperuntukkan bagi pendidikan generasi bangsa adalah harta yang wajib dijaga secara sistemik. Jika diselewengkan, bahkan oleh pengurus negara tentu adalah perbuatan yang berdosa, merupakan pengkhianatan terhadap amanah berdasarkan ketetapan Allah dalam Surah Al-Anfal Ayat 27, "Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengkhianati Allah dan Rasul (Muhammad) dan (janganlah) kamu mengkhianati amanat-amanat yang dipercayakan kepadamu, sedang kamu mengetahui.”

 

Rasulullah ﷺ juga bersabda terkait pengkhianatan ini, “Barangsiapa yang kami angkat untuk mengurus suatu pekerjaan, lalu dia menyembunyikan dari kami (sesuatu) walaupun hanya jarum atau yang lebih kecil dari itu, maka itu adalah ghulul (pengkhianatan/korupsi) yang akan ia bawa pada hari kiamat.” (Hadis Riwayat Muslim) “Tidaklah seseorang di antara kalian mengambil harta dengan cara yang batil, melainkan dia akan bertemu Allah pada hari kiamat dalam keadaan memikulnya.” (Hadis Riwayat Bukhari & Muslim)

 

Konsep perlindungan generasi dalam syariat Islam adalah menerapkan maqāṣid al-syarī‘ah (tujuan hukum) yang salah satunya adalah ḥifẓ an-nasl (melindungi keturunan) dan ḥifẓ al-‘aql (melindungi akal). Korupsi dana pendidikan berarti merusak dua hal sekaligus: masa depan generasi (nasl) dan perkembangan ilmu (‘aql). Islam melindungi generasi dari kerusakan akibat korupsi pendidikan karena perbuatan tersebut menghalangi hak belajarnya—peserta didik tidak bisa menikmati fasilitas yang seharusnya mereka dapat. Penyelewengan dana Cromebook merusak masa depan generasi karena keterbatasan akses teknologi membuat mereka tertinggal dalam literasi digital. Tak kalah menakutkan, manipulasi pengadaan sarana pendidikan menghancurkan keadilan sosial—pelajar miskin makin jauh tertinggal, padahal Islam menekankan pemerataan.

 

Islam sebagai agama sekaligus ideologi yang bersumber dari wahyu, memandang bahwa korupsi yang merajalela dan bahkan menjerat generasi penerus peradaban bukan sekadar persoalan moral individu, tetapi merupakan akibat langsung dari diterapkannya sistem sekuler. Sistem ini memisahkan agama dari kehidupan, sehingga aturan Allah ﷻ ditinggalkan dalam pengelolaan negara, politik, ekonomi, dan hukum. Akibatnya, hukum buatan manusia yang rapuh baik secara fundamental (falsafah dan asasnya bertumpu pada hawa nafsu dan kepentingan elite) maupun secara operasional (mudah disiasati, tumpul terhadap yang berkuasa, tajam kepada rakyat kecil) melahirkan ruang luas bagi praktik korupsi.

 

Sebaliknya, Islam dengan aturan kehidupan yang kafah menegaskan bahwa seluruh aspek kehidupan—individu, masyarakat, dan negara—harus diatur dengan syariat. Dalam pandangan Islam, korupsi termasuk ghulul (pengkhianatan amanah), dan negara wajib menindak dengan hukuman tegas tanpa pandang bulu.

 

Hukum korupsi dana pendidikan dalam Islam masuk kategori jarīmah takzīr, hukumannya ditentukan hakim dalam sistem Islam sesuai maslahat, bisa berupa penjara, denda sekaligus pengembalian kerugian, pemecatan jabatan, dan dalam kasus sangat berat—hukuman mati (jika dianggap pengkhianatan besar terhadap umat).

 

Alhasil, Islam tidak hanya menekankan larangan secara moral untuk tidak melakukan korupsi, tetapi juga membangun sistem pemerintahan, peradilan, ekonomi, dan pengawasan masyarakat yang bersih dari sekularisme. Dengan penerapan syariat secara total dalam bingkai pemerintahan Islam Khilafah ‘ala minhaj an-nubuwwah, korupsi dapat dicegah secara sistemik, bukan sekadar dikecam secara normatif. Wallahualam bissawab.[]

 

 

 

 

 

Posting Komentar

0 Komentar