Gaji DPR Super Mewah, Rakyat Hanya Dapat Ampasnya

 



#FOKUS — Gaji anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) kembali menjadi perbincangan publik setelah anggota DPR RI TB Hasanuddin menyebut gaji mereka mencapai Rp100 juta per bulan atau sekitar Rp3 juta per hari. Bahkan, terdapat isu kenaikan gaji anggota DPR di tengah sulitnya ekonomi rakyat. Namun, kabar itu dibantah oleh Ketua DPR RI Puan Maharani. Ia menegaskan tidak ada kenaikan gaji anggota DPR. Puan juga menyebut anggota DPR mendapat uang kompensasi rumah karena tidak lagi mendapat rumah jabatan atau rumah dinas.

Berdasarkan Surat Edaran Setjen DPR RI No.KU.00/9414/DPR RI/XII/2010 dan Surat Menteri Keuangan Nomor S-520/MK.02/2015 yang tercantum pada berbagai laman media nasional, pendapatan atau gaji DPR dalam sebulan meliputi:

1. Gaji pokok ketua (Rp5.040.000), wakil ketua (Rp4.620.000), dan anggota (Rp4.200.000).

2. Tunjangan DPR RI yang melekat per bulan, seperti tunjangan suami/istri, anak, jabatan anggota, beras, PPh, uang sidang dengan jumlah totalnya mencapai kurang lebih Rp14 juta.

3. Tunjangan DPR RI lain per bulan, terdiri dari tunjangan kehormatan (Rp5.580.000), komunikasi (Rp15.554.000), peningkatan fungsi pengawasan dan anggaran (Rp3.750.000), bantuan listrik dan telepon (Rp7.700.000), serta asisten anggota (Rp2.250.000) dengan total nominal mencapai Rp35 juta.

4. Tunjangan rumah: Rp50 juta.

Jumlah gaji dan tunjangan ketua, wakil ketua, dan anggota DPR bisa mencapai lebih dari Rp100 juta per bulan. Jika gaji Rp100 juta dibagi 30 hari, para anggota dewan mendapat gaji sebesar Rp3 juta per hari. Ini belum mencakup tunjangan perjalanan dinas, seperti uang harian, biaya transportasi, biaya penginapan, uang makan dll., juga dana dari daerah pemilihan yang dikenal dengan istilah uang aspirasi. Hal ini termaktub dalam Peraturan Sekretaris Jenderal DPR RI No. 1/2024 tentang Perjalanan Dinas Sekretariat Jenderal DPR RI. Meski demikian, di dalam aturan tersebut tidak disebutkan secara gamblang nominal yang diterima.

Wakil Rakyat, Mewakili Siapa?

Di tengah sulitnya ekonomi rakyat yang terus mencekik karena berbagai kebutuhan pokok naik, gaji para wakil rakyat yang mencapai lebih dari Rp100 juta per bulan tersebut telah mencederai perasaan masyarakat yang harus banting tulang demi bertahan hidup. Anggota DPR mendapat gaji fantastis, tetapi kinerja minimalis, bahkan tidak berpihak kepada kepentingan rakyat.

Banyak UU yang disahkan di meja DPR tidak berpihak pada kemaslahatan rakyat, semisal UU Perppu Cipta Kerja, UU KPK, UU Minerba, UU Kelistrikan, dan sebagainya. Tidak jarang mereka mengesahkan UU tanpa melibatkan partisipasi publik, seperti RUU TNI yang sudah menjadi UU dan RUU Kementerian yang dirapatkan secara kilat. Kedua produk hukum tersebut mendapat kritik keras dari masyarakat, tetapi para wakil rakyat tetap saja melegalisasinya menjadi UU. Jadi, wakil rakyat itu mewakili siapa jika banyak UU yang disahkan justru ditentang rakyat?

Wajar jika berbagai pihak memberikan kritik kepada DPR, sebab gaji dan tunjangan sebanyak itu benar-benar melukai hati rakyat. Gaji dan fasilitas begitu tinggi, tapi kinerja tidak sesuai ekspektasi. Para wakil rakyat itu mestinya malu kepada rakyat yang mereka wakili sebab apa yang mereka nikmati saat ini sejatinya berasal dari pajak rakyat. Seharusnya mereka benar-benar mewakili suara rakyat. Namun, fakta yang terjadi sebaliknya.

Ketika rakyat menolak UU Cipta Kerja, mereka malah mengesahkannya. Ketika rakyat ingin harga bahan pokok turun, mereka tidak sepenuh hati menyuarakannya kepada penguasa. Kalaupun ada yang berpihak pada kepentingan rakyat, jumlahnya minoritas. Pantaslah bila banyak sindiran dan kritik tajam untuk para anggota dewan.

Mereka wakil rakyat, tapi faktanya tidak merakyat. Kekecewaan publik barangkali terwakili dengan sindiran berikut, “DPR telah melaksanakan tugas-tugasnya sebagai wakil rakyat. Rakyat ingin punya rumah dan hidup mewah, sudah terwakili mereka. Rakyat ingin dihormati, sudah terwakili mereka. Rakyat ingin tidur nyenyak dan makan enak, sudah terwakili mereka. Rakyat ingin pelesiran ke luar negeri, juga sudah terwakili mereka.”

Wakil rakyat dimanja dengan subsidi mewah dari negara, sedangkan rakyat merana dipaksa mandiri oleh negara. Kesenjangan ini sangat lumrah di dalam negara yang mempraktikkan ideologi sekuler kapitalisme.

Kapitalisme Melahirkan Kesenjangan

Sistem kapitalisme melahirkan kesenjangan sosial dan ketimpangan ekonomi. Mereka yang bermodal dan berpotensi menguasai sumber daya bisa memperkaya diri atas segala kebutuhan primer, sekunder, dan tersier.

Dengan konsep kebebasan kepemilikan yang diemban dalam ideologi kapitalisme, kekayaan hanya berputar di kalangan orang-orang kaya atau pemodal sehingga sangat tampak ketimpangan ekonomi antara si kaya dan si miskin. Hidup sederhana sepertinya tidak ada dalam kamus sistem sekuler kapitalisme. Sistem ini memang mengajarkan gaya hidup hedonistik dan konsumtif, tidak terkecuali para pejabat negara. Mereka merasa harus mendapat kemudahan sarana, fasilitas, serta berbagai tunjangan selama menjabat amanah sebagai wakil rakyat.

Sementara itu, rakyat terus-menerus dikejar pajak yang menjadi sumber terbesar pendapatan negara. Tidak ada tunjangan apa pun untuk rakyat. Beras, listrik, telepon, bahkan pekerjaan harus rakyat tanggung sendiri. Kalaulah ada bantuan sosial, itu hanya dirasakan sesaat. Sungguh berbanding terbalik dengan tunjangan anggota DPR. Ini sama halnya rakyat menghidupi berbagai kemewahan para wakilnya, tetapi orang yang diwakili justru hanya mendapat ampasnya, yakni kesulitan ekonomi.

Hilangnya Sense of Crisis

Mungkin karena sudah sering mendapat banyak tunjangan dan fasilitas mewah, sense of crisis para wakil rakyat pun turut sirna. Kepekaan dan empati yang tinggi entah ada di mana. Dalam sistem sekuler kapitalisme, sungguh sulit menemukan sosok wakil rakyat atau penguasa yang benar-benar peduli pada rakyat. Kebanyakan para pejabat itu hanya cari muka kepada rakyat saat kontestasi pemilu. Setelah terpilih, rakyat dilupakan dan diabaikan bagai kacang lupa kulitnya.

Sistem sekuler kapitalisme yang menjauhkan Islam dari kehidupan menjadikan para pejabat terlena dengan berbagai kenikmatan dunia yang ditawarkan dari kebobrokan sistem ini. Lahirlah anggota dewan yang nirempati, kebijakan pun sarat kepentingan politik sehingga apatis terhadap kondisi rakyat.

Jabatan dan kekuasaan menjadi alat untuk meraih kekayaan. Meski diberi gaji dan tunjangan mewah, hal itu tidak mencegah mereka berbuat khianat kepada rakyat. Contohnya, kasus korupsi yang kerap menyeret wakil rakyat. KPK mencatat terdapat 385 anggota DPR/DPRD yang terjerat kasus tindak pidana korupsi sepanjang 2004—2024. Itu baru data yang terungkap, sedangkan yang tidak terungkap dan tertangkap bisa jadi lebih banyak.

Anggota DPR adalah wakil rakyat, tetapi tidak mewakili suara rakyat. Kebanyakan para wakil rakyat itu bekerja sama dengan pemerintah membuat UU yang menguntungkan dan mengamankan kepentingan mereka sendiri. Para wakil rakyat yang seharusnya menjadi wadah aspirasi masyarakat justru menjadi wadah bagi kepentingan partai, penguasa, dan kroninya.

Di sisi lain, modal yang harus dikeluarkan untuk menjadi wakil rakyat tidaklah sedikit. Berkaca dari pemilu sebelumnya, biaya kampanye untuk seorang calon anggota legislatif bisa mencapai miliaran rupiah.

Hal ini sudah lumrah terjadi karena sistem demokrasi merupakan sistem pemerintahan yang berbiaya mahal sehingga para anggota dewan akan memanfaatkan jabatan dan kedudukannya untuk mengembalikan modal kampanye sekaligus mencari keuntungan. Ini tentu berbeda secara diametral dalam sistem pemerintahan Islam.

Wakil Rakyat dalam Islam

Dalam struktur pemerintahan Islam (Khilafah) terdapat struktur bernama majelis umat yang terdiri dari orang orang yang mewakili suara (aspirasi) kaum muslim agar menjadi pertimbangan khalifah dan tempat khalifah meminta masukan dalam urusan-urusan kaum muslim. Mereka mewakili umat dalam melakukan muhasabah (kontrol dan koreksi) terhadap para pejabat (hukam).

Hal ini diambil dari pengkhususan Rasulullah saw. terhadap 14 orang pemimpin yang terdiri dari kaum ansar dan muhajirin untuk menjadi tempat rujukan dan meminta masukan dalam berbagai persoalan. Semuanya menunjukkan kebolehan membentuk majelis khusus yang mewakili umat dalam melakukan kontrol dan koreksi terhadap para pejabat, serta dalam syura (mengambil pendapat) yang telah ditetapkan dalam Al-Qur’an dan Sunah. Majelis ini disebut dengan sebutan majelis umat karena merupakan wakil umat dalam melakukan muhasabah dan syura.

Orang nonmuslim yang menjadi warga negara Khilafah boleh menjadi anggota majelis umat. Hal itu dalam rangka menyampaikan pengaduan tentang kezaliman penguasa kepada mereka, buruknya penerapan Islam terhadap mereka, atau dalam masalah tidak tersedianya berbagai pelayanan bagi mereka, dan yang semisalnya.

Hanya saja, orang nonmuslim tidak boleh menyampaikan pendapat dalam masalah perundang-undangan karena undang-undang yang islami hanya bisa digali dari akidah Islam. Ini karena ia merupakan hukum syarak yang bersifat operasional dan digali dari dalil-dalilnya yang rinci. Di samping karena merupakan hukum yang berfungsi untuk memecahkan setiap masalah manusia sesuai dengan pandangan yang telah ditentukan oleh akidah Islam. Padahal, nonmuslim jelas memeluk akidah yang bertentangan dengan akidah Islam serta pandangan hidup yang bertentangan dengan pandangan hidup Islam sehingga pendapatnya dalam masalah perundang-undangan tidak bisa diambil (Syekh Abdul Qadim Zallum, Nizham al-Hukmi fi al-Islam hlm. 498).

Selain itu, keberadaan majelis umat jelas berbeda dengan wakil rakyat dalam sistem pemerintahan demokrasi sekuler. Dalam sistem demokrasi, wakil rakyat bertugas membuat dan mengesahkan UU. Sedangkan majelis umat, meski mereka mewakili suara umat, tugasnya melakukan koreksi atas kebijakan penguasa, bukan membuat UU lalu melegalisasinya. Adapun fungsi legislasi dalam sistem Khilafah bersifat mengadopsi hukum yang bersumber dari Al-Qur’an dan Sunah, bukan membuat hukum baru yang berasal dari pemikiran manusia.

Adapun pada aspek gaji, para penguasa dan pejabat diberi santunan sesuai kebutuhan hidup keluarga pada umumnya, tidak bermewah-mewah dan berfoya-foya memanfaatkan harta rakyat dan negara untuk kepentingan pribadi. Mereka berfokus pada perannya dalam melakukan riayatusy syuunil ummah (mengurusi urusan umat). Ini karena mereka memahami bahwa jabatan, kekuasaan, dan harta akan dipertanggungjawabkan di hadapan Allah Swt.

Kita tentu sudah banyak mendengar kisah kesederhanaan para pejabat di sistem Islam yang patut menjadi teladan. Sebagai contoh, sahabat terkaya, yaitu Abdurrahman bin Auf pernah menangis tatkala diberi makan untuk berbuka. Ia menangis karena mengingat Rasulullah saw. dan keluarganya belum pernah makan roti sampai kenyang hingga akhir hayatnya. Ada pula kesederhanaan Khalifah Umar bin Abdul Aziz yang tidak mau menggunakan uang negara sekadar untuk membeli makanan bagi dirinya sendiri.

Dalam sistem Islam, negara akan memperhatikan kebutuhan rakyat, bukan melayani kepentingan pejabat atau penguasa. Negara akan menetapkan kebijakan yang menyejahterakan dan memberi keadilan bagi masyarakat.

Sistem Islam Menghilangkan Kesenjangan

Kesejahteraan akan berjalan seiring dengan penerapan paradigma tentang rakyat dan penguasa. Islam memandang rakyat adalah pihak yang wajib dilayani dan dipenuhi kebutuhannya. Sedangkan penguasa bertindak sebagai pelayan, pengelola, dan penjamin kebutuhan dasar rakyat berupa sandang, pangan, papan, pendidikan, kesehatan, dan keamanan.

Dalam perspektif Islam, distribusi kekayaan yang adil merupakan kunci untuk mengatasi kesenjangan sosial dan ketimpangan ekonomi. Untuk menghilangkan kesenjangan sosial dan ketimpangan ekonomi, Islam mengatur distribusi kekayaan secara adil agar harta tidak beredar di kalangan orang-orang kaya saja. Allah Swt. berfirman, “Supaya harta itu jangan hanya beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kamu.” (QS AlHasyr: 7).

Islam membolehkan kepemilikan pribadi, tetapi menentukan bagaimana cara memilikinya. Islam juga telah memberikan izin kepada individu untuk mengelola harta yang menjadi hak miliknya dan telah menentukan bagaimana cara mengelolanya. Islam juga memperhatikan perbedaan kuat dan lemahnya akal serta fisik individu manusia sehingga karena perbedaan tersebut, Islam selalu membantu individu yang lemah serta mencukupi kebutuhan orang yang membutuhkan. Islam mewajibkan zakat bagi orang kaya yang hartanya telah mencapai nisab dan haul karena di dalam harta orang-orang kaya itu terdapat hak bagi fakir miskin.

Islam telah menjadikan harta yang senantiasa dibutuhkan oleh masyarakat sebagai hak milik umum bagi seluruh kaum muslim. Seseorang tidak boleh memilikinya, mempertahankannya untuk kepentingan pribadi, atau yang lain. Islam telah menjadikan negara sebagai penanggung jawab terhadap terpenuhinya kekayaan untuk rakyat, baik berupa harta maupun jasa (Syekh Taqiyuddin an-Nabhani, AnNizham al- Iqtishadiy fi al-Islam, hlm. 563).

Pemanfaatan harta milik umum dan negara serta pengelolaan zakat akan disalurkan dan diberikan pada orang-orang yang berhak menerimanya sesuai ketentuan syariat Islam. Adapun terkait kebutuhan primer seputar sandang, pangan, papan, kesehatan, dan pendidikan, negara harus menjamin kemudahan dalam pemenuhannya, semisal akses sandang, pangan, dan papan yang mudah dan murah. Dalam aspek pendidikan dan kesehatan, negara memberikannya secara gratis kepada seluruh rakyat. Pembiayaan layanan pendidikan dan kesehatan dapat diambil dari pemasukan baitulmal yang bersumber dari pengelolaan harta milik umum semisal barang tambang, SDA, dll.

Dengan begitu, keadilan dan kesejahteraan masyarakat dapat terwujud. Beban rakyat juga akan berkurang tatkala kebutuhan asasi mereka terpenuhi dan terlayani dengan baik. Sistem Islam kafah akan menciptakan pejabat yang amanah serta wakil rakyat yang menjalankan tugasnya dalam melakukan kontrol dan pengawasan terhadap jalannya pemerintahan.

Posting Komentar

0 Komentar