Fiskal dalam Islam: Jalan Menuju Kesejahteraan Tanpa Batas

 


 

Shazia Alma

 

#TelaahUtama — Menkeu Indonesia hasil reshuffle kabinet 2025, Purbaya Yudhi Sadewa, dipuji karena meluncurkan program prioritas langsung ke rakyat, seperti Makan Bergizi Gratis (MBG), Sekolah Rakyat, dan Cek Kesehatan Gratis (Kementerian Keuangan, siaran pers 10 September 2025).

 

Meski begitu, efektivitas fiskal Purbaya masih menuai catatan. Beberapa ekonom menilai kebijakan fiskalnya cenderung agresif dan harus diarahkan secara produktif agar tidak menggoyang kepercayaan pasar (Kontan, 9 September 2025). Dengan kata lain, meskipun Purbaya menghadirkan program populis yang bersentuhan langsung dengan rakyat, polanya tetap berakar pada logika kapitalistik yang serupa dengan pendahulunya, Sri Mulyani Indrawati — berbasis stimulus fiskal, insentif pajak, dan pengendalian defisit APBN untuk menjaga kredibilitas pasar. Dalam kerangka ini, rakyat masih lebih dipandang sebagai penerima manfaat pertumbuhan, bukan pemilik sah kekayaan publik.

 

Ketika berbicara tentang fiskal, kebanyakan orang langsung terbayang pajak, utang negara, dan defisit anggaran. Itulah realitas yang kita lihat hari ini dalam sistem ekonomi kapitalis. Instrumen fiskal dipandang semata sebagai cara negara mengumpulkan penerimaan lewat pajak dan menutup celah anggaran dengan utang berbunga. Masalahnya, sistem ini telah lama dikritik karena hanya menguntungkan sebagian kecil kelompok. Joseph Stiglitz dalam The Price of Inequality (2012) menegaskan bahwa kebijakan fiskal berbasis pajak dan utang justru memperdalam kesenjangan sosial. Thomas Piketty dalam Capital in the Twenty-First Century (2014) juga menunjukkan bahwa dalam kapitalisme, akumulasi kekayaan selalu lebih cepat daripada pertumbuhan ekonomi, sehingga jurang antara kaya dan miskin makin melebar.

 

Islam menawarkan cara pandang yang berbeda. Fiskal dalam Islam bukan sekadar alat teknis, melainkan bagian dari sistem hidup yang bertujuan menegakkan keadilan. Umer Chapra dalam Towards a Just Monetary System (1985) menekankan bahwa ekonomi Islam dirancang bukan hanya untuk mencapai efisiensi, tetapi juga distribusi yang adil. Di sinilah konsep maqashid syariah atau tujuan-tujuan syariat bekerja: memastikan agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta manusia terlindungi. Dengan dasar itu, fiskal Islam hadir bukan hanya untuk membiayai negara, melainkan untuk menjamin kesejahteraan masyarakat secara menyeluruh (Chapra, 1985).

 

Instrumen fiskal Islam yang paling dikenal adalah zakat. Bagi banyak orang, zakat dianggap sekadar kewajiban ibadah. Padahal, zakat adalah mekanisme distribusi kekayaan yang sangat strategis. Monzer Kahf dalam Economics of Zakah (1995) menjelaskan bahwa zakat mampu menjadi solusi pengentasan kemiskinan jika dikelola secara modern. Penelitian Beik dan Arsyianti dalam Ekonomi Pembangunan Syariah (2016) membuktikan bahwa zakat di Indonesia terbukti meningkatkan pendapatan keluarga miskin dan memperluas usaha mikro. Dengan kata lain, zakat berfungsi sebagai “pajak sosial” yang sifatnya langsung menyentuh kelompok rentan tanpa membebani anggaran negara (Kahf, 1995; Beik & Arsyianti, 2016).

 

Selain zakat, ada juga kharaj (pajak tanah produktif), jizyah (kontribusi warga nonmuslim), dan ushr (pajak hasil pertanian). Semua ini masuk ke baitulmal atau kas negara Islam. Ibn Khaldun dalam Muqaddimah (1377/1967 edisi modern) menegaskan bahwa pemungutan fiskal tidak boleh memberatkan rakyat, karena pajak yang tinggi justru mengurangi produktivitas dan melemahkan basis ekonomi negara. Pemikirannya ini bahkan sejalan dengan teori ekonomi modern yang menyebutkan bahwa beban pajak berlebih mendorong ekonomi bayangan dan melemahkan pertumbuhan (Ibn Khaldun, 1967).

 

Instrumen unik lain dalam fiskal Islam adalah waqf. Berbeda dengan zakat yang sifatnya tahunan, waqf memberikan manfaat jangka panjang lintas generasi. M. Kahf dalam Waqf and Its Socio-Economic Role (2003) menegaskan bahwa waqf adalah cara mendistribusikan kekayaan tanpa mengurangi pokok asetnya. Sejarah mencatat, di era Kesultanan Utsmani, waqf membiayai sekolah, rumah sakit, bahkan infrastruktur umum. Penelitian Amy Singer dalam Constructing Ottoman Beneficence (2002) menunjukkan bahwa hampir sepertiga lahan produktif saat itu dikelola sebagai waqf untuk kepentingan publik. Fakta ini membuktikan bahwa fiskal Islam tidak hanya memikirkan hari ini, tetapi juga kesejahteraan berkelanjutan untuk masa depan (Kahf, 2003; Singer, 2002).

 

Yang tak kalah penting, fiskal Islam dibangun di atas larangan riba. Sistem fiskal modern kerap terjebak dalam lingkaran utang berbunga, yang justru membebani anggaran negara dengan kewajiban pembayaran bunga setiap tahun. Nejatullah Siddiqi dalam Riba, Bank Interest and the Rationale of Its Prohibition (2004) menegaskan bahwa riba menciptakan ketidakadilan karena hanya satu pihak yang menanggung risiko. Alternatifnya, ekonomi Islam mendorong pembiayaan berbasis profit-and-loss sharing (PLS) seperti mudharabah dan musyarakah, yakni risiko dan keuntungan dibagi secara adil berdasarkan syariat muamalah. Dengan pendekatan ini, negara tidak harus terus-menerus bergantung pada utang berbunga yang menguras kas publik (Siddiqi, 2004).

 

Bukti penerapan fiskal Islam secara nyata terlihat dalam sejarah Kekhilafahan. Abdul Qadim Zallum dalam Al-Amwal fi Dawlat al-Khilafah (1995) menegaskan bahwa baitulmal menjadi pusat pengelolaan fiskal negara yang sumbernya berasal dari zakat, kharaj, jizyah, fai, ganimah, hingga harta milik umum seperti minyak, gas, dan tambang besar. Sistem ini tidak hanya mampu membiayai kebutuhan administrasi negara, tetapi juga menjamin pendidikan, kesehatan, dan kesejahteraan rakyat tanpa perlu mengandalkan pajak rutin atau utang. Taqiyuddin an-Nabhani dalam Nizham al-Iqtishadi fi al-Islam (1953) juga menekankan bahwa pengelolaan harta dalam Islam membuat negara memiliki kemandirian, karena sumber daya alam dikelola langsung oleh negara untuk kemaslahatan umat, bukan diserahkan kepada swasta atau asing (Zallum, 1995; Nabhani, 1953).

 

Sejarah mencatat bahwa pada masa Khalifah Umar bin Khattab, baitulmal mampu membiayai program sosial luas, mulai dari gaji guru, biaya hidup para lansia, hingga bantuan untuk keluarga yang membutuhkan. Abdul Qadim Zallum menuliskan bahwa pada masa Umar bin Abdul Aziz, distribusi zakat dan harta baitulmal begitu merata sehingga sulit ditemukan orang miskin yang berhak menerima zakat. Fakta ini memperlihatkan bagaimana fiskal Islam pernah mewujudkan kesejahteraan nyata dalam skala negara (Zallum, 1995).

 

Tujuan akhir fiskal Islam adalah maslahat atau kemaslahatan umum. Abu Yusuf dalam Kitab al-Kharaj (abad ke-8) menulis bahwa penguasa berkewajiban memastikan kebutuhan dasar rakyat—pangan, kesehatan, dan pendidikan—dengan memanfaatkan sumber daya baitulmal. Indikator keberhasilan fiskal dalam Islam bukan sekadar pertumbuhan PDB, tetapi terpenuhinya kebutuhan masyarakat secara adil. Studi empiris dari Ali dan Hatta dalam Journal of Islamic Economics, Banking and Finance (2014) menunjukkan bahwa program zakat produktif di Indonesia berhasil meningkatkan pendapatan mustahik hingga 40% dalam dua tahun. Temuan ini menguatkan analisis Asutay dalam Islamic Economics as Ethical Economy (2007) bahwa fiskal Islam, dengan kombinasi zakat, waqf, dan keuangan syariah, mampu menciptakan keseimbangan antara pertumbuhan dan distribusi (Abu Yusuf, 8th century; Ali & Hatta, 2014; Asutay, 2007).

 

Dari semua instrumen itu, jelas terlihat bahwa fiskal Islam memiliki fondasi yang kokoh untuk menciptakan kesejahteraan yang berkelanjutan. Zakat menjamin distribusi tahunan, waqf melindungi generasi mendatang, larangan riba menjaga negara dari jebakan utang, kharaj memastikan produktivitas tanah, dan baitulmal mengelola sumber daya untuk seluruh umat. Keseluruhannya berpijak pada nilai keadilan, keberlanjutan, dan tanggung jawab sosial (Chapra, 1985; Zallum, 1995; Nabhani, 1953).

 

Fiskal Islam bukanlah utopia. Ia pernah menjadi realitas sejarah, memiliki bukti empiris, dan makin relevan di tengah krisis fiskal modern. Dunia yang kini resah dengan utang publik, ketimpangan, dan beban pajak yang mencekik sebenarnya punya pilihan: belajar dari prinsip fiskal Islam. Jalan menuju kesejahteraan manusia yang berkelanjutan ternyata sudah digariskan sejak berabad-abad lalu. Tinggal pertanyaannya: apakah kita berani mengambil pelajaran dan menerapkannya?

Wallahualam bissawab.[]

 

 

Posting Komentar

0 Komentar