Menyoroti Jurus Sakti Menkeu Purbaya dalam Pertumbuhan Ekonomi Indonesia



Karina Fitriani Fatimah 


#TelaahUtama — Menggantikan Sri Mulyani, Menteri Keuangan (Menkeu) RI yang baru dilantik, Purbaya Yudhi Sadewa, menyampaikan target pertumbuhan ekonomi berada di angka 6–7% pada rapat kerja bersama komisi XI DPR RI. Sedangkan dalam pagu RAPBN 2026 pemerintah sebelumnya menargetkan pertumbuhan ekonomi berada di angka 5,4% (detik.com, 10/09/2025).   


Guna mencapai target pertumbuhan ekonomi minimal 6%, Menkeu Purbaya mengguyurkan dana Rp200 triliun yang mengendap di Bank Indonesia (BI) untuk 6 (enam) bank pada Jumat (12/09). Bank yang mendapat dana segar tersebut terdiri dari 4 (empat) bank umum konvensional dan 2 (dua) bank umum syariah. Pengalihan dana pemerintah di BI bertujuan untuk mendorong likuiditas, pertumbuhan kredit hingga pengembangan aktivitas ekonomi sektor riil. Dari sini Purbaya berharap suntikan dana dengan jumlah fantastis ke sektor perbankan bisa membalikkan perekonomian Indoenesia yang lesu (cnnindonesia.com, 12/09/2025). 


Target optimis Purbaya sebetulnya bukanlah hal yang aneh mengingat Presiden Prabowo sendiri menargetkan pertumbuhan ekonomi selama masa jabatannya hingga mencapai 8%. Namun, tidak dapat kita mungkiri pula bahwa angka 8% atau bahkan 6% saja terlihat seperti mimpi di siang bolong. Pasalnya selama 10 tahun pemerintahan presiden sebelumya, Jokowi, pertumbuhan ekonomi Indonesia tertahan pada level 5%. Sedangkan 10 tahun masa jabatan Susilo Bambang Yudhoyono hanya berhasil mencapai angka 6%. 


Untuk mencapai pertumbuhan ekonomi instan sebagaimana yang diinginkan Prabowo ataupun Purbaya, Indonesia setidaknya membutuhkan suntikan dana jumbo. Jika kita berhitung di angka pertumbuhan 8%, Indonesia membutuhkan setidaknya suntikan dana segar sebesar Rp13.000 triliun dalam 5 tahun. Dana tersebut ditargetkan berasal dari penyertaan moal asing (PMA) dan dalam negeri (PMDN). Akan tetapi pada faktanya realisasi investasi RI baru berada di kisaran Rp1.800–2.000 triliun per tahunnya (finance.detik.com, 24/10/2024). Oleh karenanya pengambilan dana BI yang dilakukan Purbaya senilai Rp200 triliun untuk disuntikkan pada enam lembaga perbankan masih berada dalam ‘jalur’ perekonomian yang digariskan Prabowo. 


Prabowo sendiri sepertinya tengah berkaca pada masa kejayaan perekonomian mantan mertuanya dulu, Soeharto. Sepanjang sejarahnya, Indonesia pernah mengalami pertumbuhan ekonomi lebih dari 8% sebanyak lima kali, yakni di tahun 1968 sebesar 10,92%, tahun 1973 di angka 8,10%, 1977 sebesar 8,76%, 1980 sebesar 9,88%, dan di tahun 1995 sebanyak 8,22%. Pertumbuhan ekonomi fantastis era Orde Baru tidak terjadi begitu saja. Pada masanya, Soeharto secara agresif menghamparkan karpet merah aliran bantuan keuangan terutama dari pihak asing untuk membiayai pembangunan Indonesia. Mekanisme pasar bebas di Indonesia kemudian diatur dalam implementasi Undang-Undang (UU) Penanaman Modal Asing (1967) dan UU Penanaman Modal Dalam Negeri (1968). Dari sini pertumbuhan ekonomi di tahun 1968 melonjak hingga menembus angka di atas 10%.   


Percepatan ekonomi Indonesia dalam dua dekade kepemimpinan Orde Baru kemudian diuntungkan secara signifikan oleh dua fenomena oil boom sebagai imbas situasi geopolitik Timur Tengah. Melonjaknya harga minyak dunia pada masa itu membuat Indonesia yang merupakan negara penghasil minyak ketiban durian runtuh. Antara tahun 1973–1974 dan 1974–1975 pemasukan Indonesia dari sektor minyak naik sampai tiga kali lipat. Kenaikan pendapatan yang cukup luar biasa di masa kepemimpinan Soeharto pada akhirnya meniscayakan pemerintahan Orde Baru melakukan pembangunan skala besar serta meningkatkan pertumbuhan ekonomi negara rata-rata di atas 7%. 


Dari sini wajar jika kemudian Prabowo tampak berusaha menjiplak keberhasilan Soeharto melalui penggenjotan pemasukan dari investasi baik luar maupun dalam negeri. Pada 100 hari pertama kepemimpinannya Prabowo cukup getol melakukan kunjungan kenegaraan dengan lawatan dalam KTT APEC (Asia-Pacific Economy Cooperation) dan G20. Melalui pendekatan intensif, Indonesia juga berhasil bergabung dalam BRICS Plus bersama dengan Rusia dan Tiongkok. Seluruh rangkaian agenda ekonomi Prabowo tidak lain adalah demi menggaet dana segar asing melalui skema investasi. 


Padahal, meraih tangan asing dengan kedok investasi secara pasti akan menjadi boomerang bagi perekonomian Indonesia. Buktinya pada masa Soeharto saja, sistem finansial Indonesia di akhir tahun 1980an telah kehilangan kontrol sebagai akibat dari pembengkakan utang luar negeri. Sebelum digulingkan, pemerintahan Orde Baru mengalami krisis moneter yang benar-benar memukul perekonomian negeri. Sayangnya, pemerintahan Prabowo tampak tidak belajar dari kesalahan pendahulunya. Prabowo berencana menambah utang negara sebesar Rp781,9 miliar untuk 2026 (cnnindonesia.com, 18/08/2025). Utang tersebut adalah yang terbesar sejak pandemi COVID-19. 


Di sisi lain, solusi ekonomi yang ditawarkan Purbaya guna mencapai angka pertumbuhan ekonomi 6–7% tidak lain adalah solusi ekonomi khas kapitalis yang jelas-jelas tidak akan memperbaiki perekonomian rakyat secara hakiki. Sistem ekonomi kapitalis menawarkan solusi ekonomi melalui 2 (dua) strategi utama yakni kebijakan moneter dan fiskal. Kebijakan moneter adalah kebijakan yang dijalankan oleh bank sentral dalam hal ini BI melaui penurunan tingkat suku bunga dan pembelian surat-surat berharga pemerintah. Dirasa tidak cukup, kini Purbaya mengupayakan pengguyuran dana segar BI senilai Rp200 triliun kepada enam lembaga perbankan sebagai perpanjangan tangan bank sentral. 


Kebijakan moneter ala kapitalis yang sesungguhnya bertujuan meningkatkan jumlah uang yang beredar di tengah masyarakat jelas akan menambah masalah baru. Pasalnya upaya tersebut dilakukan dengan jalan memikat masyarakat untuk terjerat utang-piutang ribawi. Padahal Allah Swt. secara gamblang melaknat orang-orang yang memakan harta riba sebagaimana yang tercantum dalam firman-Nya, “Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila.” (Surah Al-Baqarah Ayat 275) 


Tidak hanya itu, obral utang ribawi akan menjerumuskan masyarakat dalam gaya hidup konsumtif. Hanya saja pola semacam ini wajar terjadi dalam sistem ekonomi kapitalis karena memang struktur ekonomi kapitalis lebih banyak ditopang oleh konsumsi. Artinya, mesin-mesin penggerak roda perekonomian justru ditumpukan pada pola konsumsi masyarakat bukan pertumbuhan ekonomi sektor riil. Dari sini negara justru akan lebih mendorong rakyatnya untuk berbelanja daripada membangun sektor perekonomian riil di bidang pertambangan, perikanan, peternakan, dan pertanian. 


Celakanya, kebijakan fiskal yang diterapkan negara pun sama sekali tidak mampu menyelesaikan permasalahan ekonomi rakyat. Dalam kebijakan fiskal ala kapitalis, pemerintah diharuskan melakukan pengaturan dan pembaharuan pendapatan serta pengeluaran negara. Oleh karenanya, pemerintah Prabowo menjalankan kebijakan ekonomi nonpopulis melalui efisiensi anggaran 2025 yang ironisnya berimbas pula pada sektor penting semisal pendidikan dan kesehatan. Di tengah himpitan ekonomi yang kian berat, negara justru kian rajin menyedot darah rakyat melalui kenaikan tagihan pajak. Di sisi lain, para anggota dewan justru sempat dijanjikan mendapat kenaikan tunjangan sebelum akhirnya ditangguhkan pascakerusuhan di akhir Agustus lalu. 


Sedangkan Menkeu Purbaya tampak kurang peka dengan keresahan masyarakat. Purbaya justru menekankan adanya pengelolaan fiskal yang tidak optimal sepanjang tahun 2024 dan awal 2025. Ia menyoroti keterlambatan pemerintah dalam membelanjakan anggaran negara (kontan.co.id, 10/09/2025). Pernyataan tersebut sayangnya keluar tatkala Indonesia tengah mengencangkan ikat pinggang imbas deflasi terus-menerus yang disertai dengan menurunnya daya beli masyarakat. Padahal, yang menjadi masalah bukanlah berapa banyak uang yang dibelanjakan negara, melainkan berapa banyak uang negara yang benar-benar digunakan penguasa untuk mensejahterakan masyarakat. 


Dari sini terlihat jelas bagaimana solusi yang ditawarkan pemerintah atas permasalah ekonomi yang tengah melanda rakyat tidak benar-benar menyentuh akar masalah ekonomi negeri. Negara justru menumpukan solusi ekonomi pada kebijakan-kebijakan ribawi melalui skema investasi dan perbankan yang jelas-jelas akan membawa kebinasaan. Sayangnya negara justru melupakan sektor ekonomi riil yang sesungguhnya berdampak langsung pada pertumbuhan ekonomi rakyat kecil. Selain itu negara justru rajin menghisap darah rakyat dengan tingginya pajak dan pembelanjaan uang rakyat secara ugal-ugalan. 


Sejatinya, kesejahteraan ekonomi rakyat hanya akan dapat tercapai melalui distribusi kekayaan berkeadilan. Di dalam Islam, negara berkewajiban menjamin distribusi kekayaan untuk orang per orang tanpa kecuali agar seluruh anggota masyarakat mampu memenuhi kebutuhan dasarnya. Negara pun membuka lebar peluang bagi rakyatnya untuk memenuhi kebutuhan sekunder serta tersier. Pemenuhan kebutuhan yang dilakukan negara tidak akan mungkin dapat terlaksana tanpa adanya pengambilalihan peran dalam pengelolaan Sumber Daya Alam (SDA) dari pihak swasta kepada negara. Dari sini negara berkewajiban mengelola seluruh objek vital negeri tanpa campur tangan pihak swasta dan seluruh keuntungan yang diterima negara kemudian dikembalikan kepada rakyat melalui pembangunan. Wallaahualam bissawab.[]

Posting Komentar

0 Komentar