Masa Depan MBG: Harapan atau Halu




NR. Nuha



#CatatanRedaksi — Program Makanan Bergizi Gratis (MBG) yang diluncurkan Januari 2025 bertujuan meningkatkan gizi anak sekolah, ibu hamil, dan kelompok rentan. Namun, sejak awal, program ini menuai sorotan. Kasus keracunan massal di beberapa daerah memunculkan pertanyaan serius terkait kualitas bahan, rantai distribusi, dan standar higienitas (Kompas, 19/09/2024; Tempo, 22/09/2024).



Di sejumlah wilayah, menu MBG bukan makanan siap santap, melainkan bahan mentah atau camilan ringan. Temuan ini menunjukkan ketimpangan antara konsep dan praktik lapangan (UM Surabaya, 2024). Sistem kesehatan nasional pun belum siap menghadapi risiko—tanggap darurat keracunan massal, sementara isu kehalalan—misalnya dugaan penggunaan nampan yang dilapisi minyak babi—mengguncang kepercayaan publik (Republika.co.id, 2025). Bagi masyarakat muslim, makanan harus halal–thayyib: halal, baik, dan aman.



Ketahanan pangan juga menjadi masalah utama. Ketergantungan Indonesia pada impor komoditas utama meningkatkan kerentanan distribusi MBG, terutama di daerah terpencil (BPS, 2023). Distribusi sentralistik berisiko terlambat dan tidak merata, sementara bahan lokal yang dekat masyarakat belum optimal, padahal dapat memperkuat ketahanan pangan dan memberdayakan petani (Prof. Subejo, UGM).



MBG tetap potensial jika dijalankan profesional. Program ini bisa menurunkan stunting dan meningkatkan gizi anak-anak, asalkan menu tepat dan pengawasan konsisten. Keterlibatan ahli gizi dan pemanfaatan bahan lokal menjadi kunci, tapi belum cukup bila sistem ekonomi, kesehatan, dan sosial-budaya tidak terintegrasi sebagai bagian dari pelayanan negara, bukan sekadar regulator (RRI, 2025).



Dalam perspektif Islam, pemenuhan pangan adalah tanggung jawab negara. Rasulullah ﷺ bersabda: “Imam (pemimpin) adalah pengurus rakyat dan ia bertanggung jawab atas mereka.” (Hadis Riwayat Bukhari–Muslim)



Negara tidak boleh menyerahkan urusan pangan pada mekanisme pasar atau proyek jangka pendek; wajib menjamin kebutuhan dasar rakyat secara langsung. Konsep “turun tangan” pemerintah—dari program tepat sasaran, pelaksanaan struktural, hingga distribusi merata—menjamin kelompok rentan benar-benar merasakan manfaat, sesuai teladan Khalifah Umar bin Khattab r.a. pada masa paceklik.



Al-Qur’an menegaskan, “Wahai manusia! Makanlah dari apa yang ada di bumi yang halal lagi baik.” (Surah Al-Baqarah Ayat  168). Kasus pelanggaran halal menunjukkan rapuhnya pengawasan. Ketergantungan impor, distribusi sentralistik, dan pola proyek-sentris memperlihatkan bahwa MBG belum berada dalam kerangka tanggung jawab negara yang menyeluruh. Tanpa itu, program ini berisiko tetap menjadi retorika politik, bukan instrumen strategis membangun generasi sehat dan berdaya saing.



Dengan demikian, MBG hanya akan menjadi harapan jika dijalankan dengan integritas, pengawasan konsisten, distribusi merata, dan fokus pada halal–thayyib. Tanpa itu, ia tetap berisiko menjadi halu—cita-cita indah di atas kertas, tetapi rapuh dalam realitas rakyat.[]




Posting Komentar

0 Komentar