Siti Rima Sarinah
#MutiaraAl-Qur'an —
Manusia diciptakan Allah Swt. dengan bentuk yang sempurna. Kesempurnaan manusia
karena diberikan akal yang menjadikannya
sebagai makhluk yang paling mulia di antara makhluk lainnya. Dengan akal inilah
diharapkan manusia menjalani kehidupan sesuai tujuan penciptaannya sebagai
hamba yang senantiasa terikat dengan perintah dan larangan dari Zat yang
menciptakannya. Agar manusia bersikap dan bertingkah laku dengan cara yang
makruf di antara sesama manusia.
Allah Swt. berfirman
yang artinya, ”Wahai orang-orang yang beriman, janganlah suatu kaum
mengolok-olok kaum yang lain (karena) boleh jadi mereka (yang diolok-olokan
itu) lebih baik daripada mereka (yang mengolok-olok) dan janganlah kamu saling
mencela dan saling memanggil dengan julukan yang buruk. Seburuk-buruk panggilan
adalah (panggilan) fasik setelah beriman. Siapa yang tidak bertobat, mereka
itulah orang-orang yang zalim." (Surah Al Hujurat Ayat 11)
Ayat di atas telah
menerangkan bahwa orang-orang mukmin adalah bersaudara, agar persaudaraan ini
terjaga maka, sesama muslim dilarang untuk mencela saudaranya yang lainnya
dengan ucapan, perbuatan atau isyarat yang nilai buruk sehingga menyakiti hati
saudaranya. Sejatinya, dihadapan Allah Swt. yang membedakan manusia satu dengan
manusia lainnya adalah dari sisi ketakwaannya. Oleh karenanya, tidak dibenarkan
kita menghina, mencela atau merendahkan muslim yang lainnya karena menganggap
kita lebih baik dari mereka.
Walaupun seseorang
memiliki jabatan, kekuasaan, dan harta tidak dibolehkan menghina orang yang
tidak memiliki harta sedikit pun. Apalagi merasa lebih mulia dibandingkan orang
lain yang tidak memiliki harta dan kekuasaan seperti dirinya. Rasulullah saw. juga
mengingatkan hal yang sama dalam sabdanya, ”Hendaklah orang yang beriman
kepada Allah dan Hari Akhir berbicara yang baik atau diam.” (Hadis Riwayat
Bukhari dan Muslim)
Berbicara yang
makruf/baik menjadi kewajiban bagi setiap muslim. Apalagi bagi seorang yang
diamanahi kekuasaan di tangannya, wajib baginya mengurusi rakyat dengan cara
yang makruf dan senantiasa berbicara yang ahsan/baik kepada rakyat. Ia telah
dipilih untuk mengemban amanah menjadi pelayan bagi rakyat yang seharusnya
diurus dengan sikap, perilaku, dan senantiasa menjaga lisannya agar tak satu
pun perkataannya akan menyakiti hati rakyatnya.
Kondisi penguasa dan
pejabat yang suka mencela, memaki, dan menghina rakyat menjadi tontonan yang
sering kita lihat. Dengan mudahnya lisan mereka mengeluarkan sumpah serapah dan
kata-kata yang sering kali menyakiti hati rakyat. Mereka menghina penderitaan
dan kemiskinan yang mencengkeram rakyat. Padahal mereka bisa merasakan duduk di
kursi kekuasaan karena suara dari rakyat. Tatkala kekuasaan berada didalam
gengamannya, dengan seenaknya mereka menghina dan mencela rakyat yang
memperjuangkan nasib mereka menjadi pejabat yang berjanji akan mendengarkan
aspirasi dari rakyat.
Tanpa ada rasa iba
dan peduli kepada nasib rakyat, mereka justru tertawa dan menari di atas
penderitaan rakyat. Rakyat yang menuntut haknya dengan menyampaikan aspirasinya
dibungkam dengan cara yang sadis, seakan nyawa rakyat tidak ada harganya untuk
kepentingan mereka. Hal ini terjadi karena sistem yang menihilkan peran agama
dari kehidupan (sekularisme), telah mencetak penguasa dan para pejabat yang tak
memiliki hati nurani. Mereka terlena dengan silaunya kekuasaan dan harta,
sehingga abai terhadap amanahnya sebagai pelayan rakyat.
Mereka pun lupa
bahwa rakyat memiliki peran besar bagi mereka untuk menikmati berbagai
kemewahan yang mereka dapatkan. Mereka juga abai terhadap tanggung jawabnya
karena yang mereka pikirkan hanyalah bagaimana semua kepentingannya bisa
tercapai tanpa ada hambatan sedikit pun. Kehadiran mereka inilah yang membuat
kubangan kemiskinan dan penderitaan yang dialami rakyat makin menghimpit
kehidupan.
Padahal kelak mereka
akan mempertanggungjawabkan semua perilaku buruk mereka kepada rakyatnya.
Terlebih lagi akan mendapatkan balasan yang setimpal di sisi Allah. Namun
sayangnya, hilangnya iman dalam diri mereka menyebabkan matinya hati nurani
mereka dan tujuan hidupnya hanyalah untuk mengejar harta dan kekuasaan yang
menjadi tujuan hidupnya.
Kisah para penguasa
dan pejabat pelayan rakyat di masa kejayaan Islam sangat bertolak belakang
dengan potret pejabat hari ini. Landasan keimanan dan ketakwaan inilah yang
menjadi pondasi dasar bagi mereka untuk sangat berhati-hati melayani dan
memenuhi kebutuhan rakyatnya. Tidak ada satu pun yang keluar dari lisan mereka
kecuali kebaikan. Tak ada sumpah serapah, cacian, hinaan, dan sebutan buruk
yang diberikan kepada rakyat karena meraka sangat takut beratnya
pertanggungjawaban di hadapan Allah Swt. kelak.
Hal ini seharusnya
menjadi momen bangkitnya kesadaran umat akan rusaknya aturan kehidupan buatan
manusia hari ini. Hanya penderitaan, kesengsaraan, dan keburukan yang hadir di
kehidupan kita. Padahal Allah Swt. telah menciptakan kita dengan sebaik-baik bentuk
dan memberikan aturan hidup yang sempurna agar predikat sebagai mahkluk mulia
senantiasa melekat pada diri kaum muslim.
Dengan menggunakan
akal untuk mentadaburi setiap ayat-ayat Al-Qur’an untuk dipelajari, diamalkan,
dan didakwahkan ke tengah umat manusia. Dengan demikian, umat bisa melihat dan
berpikir dengan jernih mana jalan dan aturan hidup yang benar untuk diperjuangkan.
Kemudian, yang hadir dihadapan kita
adalah penguasa yang peduli dan peka terhadap setiap persoalan kehidupan
rakyatnya. Rakyat mencintai pemimpinnya, begitu pun sebaliknya pemimpin
mencintai rakyatnya. Hubungan harmonis penguasa dan rakyat seperti ini akan
terwujud nyata apabila Islam yang menjadi satu-satunya aturan yang diterapkan
dalam setiap lini kehidupan kita. Wallahualam.[]
0 Komentar