Umar r.a.: Contoh Teladan Pemimpin Sepanjang Masa



Ruruh Hapsari


#Tarikh — Akhir bulan Agustus hingga awal bulan September lalu terjadi aksi demonstrasi di banyak  wilayah di negeri ini. Hingga saat ini pun, panas dan efek yang ditimbulkan dari demonstrasi tersebut masih terasa. Masyarakat akhirnya banyak yang paham bahwa suara dari bawah untuk menuntut hak rakyat harus disampaikan, inilah yang dinamakan amar makruf nahi mungkar kepada penguasa. 


Aksi tersebut terjadi didasarkan pada ketidakpuasan rakyat terhadap pelayanan penguasa yang terus menumpuk dari sekian lama. Nyatanya rakyat selalu menjadi korban, dilupakan, disingkirkan, dan dikambinghitamkan. 


Begitulah kenyataan katidakadilan yang selalu tampak nyata di dalam sistem kapitalisme—sistem buatan manusia yang berusaha untuk tampak baik dan sempurna. Namun, tak pernah ada wujudnya sampai kapan pun keadilan dan pelayanan kepada rakyat terlihat. 


Kenyataan ini bukan hanya di Indonesia, melainkan juga di negeri Paman Sam—dedengkot demokrasi yang tentunya menggunakan demokrasi jauh lebih dulu dibanding negeri kita, tapi kesejahteraan hanya di pegang dan dinikmati oleh satu persen rakyatnya saja. 


Dahulu sebelum muncul dan diterapkan demokrasi sebagai sistem yang menurut penciptanya adalah sistem penuntasan segala masalah manusia, Islam telah lebih dahulu tegak dan manusia di dalamnya terayomi dengan sangat baik. Tentu hal ini terjadi karena syariatlah yang menjadi dasar dari segala kebijakan Daulah Khilafah. 


Banyak contoh yang bisa dipaparkan bagaimana penguasa memberikan pelayanan mereka kapan pun dan di saat apa pun, pelayanan pada rakyat harus menjadi urusan nomor satu. Seperti halnya Khalifah Umar r.a. yang dikenal sebagai pemimpin yang selalu mengedepankan urusan rakyat karena  iman pada Penciptanya. 


Saat Umar menjadi seorang khalifah pernah terjadi musim paceklik yang panjang. Saat itu di bulan Dzulhijjah tahun ke 18 H, Hijaz mengalami kekeringan yang parah. Selama 10 bulan lamanya hujan tidak turun, akibatnya pepohonan pun banyak yang kering terlebih lagi hewan juga banyak yang mati kepanasan. Tahun itu disebut dengan tahun arang, tanah di tempat tersebut menjadi hitam bagaikan abu diakibatkan dari hujan yang tak kunjung datang. Tentu masyarakat sangat kesulitan mendapatkan makanan dan akibatnya mereka kelaparan.


Melihat hal tersebut, Umar sebagai kepala negara tentu tidak bisa tinggal diam. Tanggung jawab menjadi seorang Amirul Mukminin ia jalankan sesuai bagaimana Allah Swt. telah menetapkan untuk pemimpin melayani rakyat apa pun dan bagaimanapun kondisinya. Setiap hari ia menginstruksikan bawahannya untuk menyembelih unta dan disebarkan kepada seluruh rakyat. Tidak hanya itu, Umar juga membantu mengolah adonan roti dicampur dengan minyak zaitun.  


Tidak lama kemudian, berbondong-bondonglah masyarakat untuk memakan hidangan yang sudah disediakan. Umar merasakan kesulitan rakyatnya demikian besar, ia pun berkata, ”Ya Allah, jangan sampai umat Nabi Muhammad saw. menemui kehancurannya di tangan ini.”


Umar sangat khawatir terhadap kurangnya pasokan makanan rakyat hingga ia pun tidak memakan daging, minyak samin juga susu. Ia hanya menyantap sedikit roti dengan minyak zaitun, yang berakibat perutnya panas. Lalu dimasaklah minyak zaitun tersebut guna mengurangi panasnya. 


Namun, setelah dimakan minyak zaitun itu justru menambah panas dan berbunyi nyaring di perutnya. Umar pun menabuh perutnya sendiri dengan jemarinya seraya berkata, ”Berkeronconganlah sesukamu dan kau akan tetap menjumpai minyak ini sampai rakyatku  kenyang dan hidup dengan wajar.”


Ibnu Sa’ad meriwayatkan dari Abu Umamah bin Sahl bin Hunaif dikatakan bahwa dalam kurun waktu yang lama Umar tidak makan atau tidak mengambil dari harta baitulmal. Pada saat paceklik melanda ia meminta pendapat kepada para sahabat, “Aku telah menyibukkan diri dengan urusan khilafah, jadi bolehkah aku mengambil dari baitulmal?” Ali menjawab, ”Engkau bisa mengabil  logistik untuk makan siang dan makan malam,” lalu ia pun mengikuti saran dari Ali.


Dengan panas yang tidak berkesudahan tersebut, penduduk Hijaz banyak yang mengungsi ke Madinah. Mereka sudah tidak mempunyai bahan makanan untuk dimakan. Umar lalu membagi-bagikan makanan dan uang dari baitulmal hingga gudang makanan dan baitulmal pun sama sekali kosong. 


Tidak hanya itu, Umar juga meminta bantuan kepada para walinya. Ia pun mengirimkan surat kepada Abu Musa di Bashrah dan Amr bin al-’Ash di Mesir untuk mengirimkan bantuan dari darat dan laut ke Madinah. Kemudian mereka pun mengirimkan bantuan ke Madinah berupa makanan dalam jumlah besar dan bahan makanan pokok.


Abu Ubaidah sebagai wali di Syam juga mengirimkan empat ribu unta yang bermuatan penuh bahan makanan. Kemudian Mu’awiyah dari Syam juga mengirim tiga ribu ekor unta, sedangkan Sa’ad bin Abi Waqash di Irak mengirimkan seribu unta bermuatan tepung, mantel, selimut, dan pakaian serta bahan makanan. 


Begitulah usaha Umar sebagai seorang khalifah untuk melayani rakyatnya bukan hanya sekadar memberi bantuan secara simbolis, tapi juga hadir dalam kesulitan yang melanda. Ia sangat khawatir jika hak rakyat tidak ditunaikan.


Hal itu telah disabdakan oleh Nabi, ”Setiap kamu adalah pemimpin dan setiap kamu akan ditanya tentang apa yang diimpinnya. Imam (waliyul amri) yang memerintah manusia adalah pemimpin dan ia akan ditanya tentang bagaimana ia mengurusi rakyatnya.”


Apa yang dilakukan Umar bukan hanya sekadar dari dorongan moral, melainkan lebih dalam lagi yaitu dorongan iman yang bisa menggerakkan manusia hingga beraktivitas di luar batas akal manusia. Wallahualam bissawab.[]


 

Posting Komentar

0 Komentar