Ummu Zhafira
#Bekasi — Event Colour Run akhir-akhir ini ramai jadi perbincangan. Di Bekasi, event ini direncanakan akan diadakan pada Minggu (07/9) mendatang. Bertajuk "Bekasi Colour Run Lightfest 2025", event yang diadopsi dari negeri-negeri Barat tersebut akan diadakan di Decathlon Summarecon Bekasi. Fun run 5K ini menyuguhkan pengalaman lari dengan suasana penuh warna disertai pesta lampu dan euforia warna. Dikabarkan harga tiket prajual sekitar Rp250 ribu, dengan kuota terbatas, kemungkinan akan naik menjadi sekitar Rp350 ribu. (Colourrunfestival.id)
Mengetahui adanya event tersebut, berbagai ormas melakukan protes. Menanggapi isu yang berkembang, Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kota Bekasi mengklarifikasi bahwa MUI tidak melakukan pelarangan acara tersebut. Ketua MUI Kota Bekasi Saifuddin Siroj menyampaikan bahwa pihaknya hanya sekadar menyampaikan aspirasi dari ormas Islam yang keberatan dengan adanya event yang diduga ada kaitannya dengan lgbete tersebut. (Detik.com, 21/08/2025)
Namun, secara umum tidak sedikit masyarakat, khususnya anak muda yang menganggap event ini adalah event yang menyenangkan. Karena event ini mampu menggabungkan antara olahraga dengan hiburan seperti musik, warna, dan cahaya. Mereka bahkan juga menilainya sebagai sarana healing, refreshing, sekaligus gaya hidup sehat dengan pengemasan yang lebih seru daripada olahraga biasa.
Sudah begitu, event ini sering mereka anggap sebagai kesempatan berkumpul bersama keluarga, teman, atau bahkan komunitas. Ditambah lagi, nuansa visual penuh warna dan cahaya menjadikan event ini populer sebagai ajang self-branding di media sosial. Makanya tidak mengherankan banyak peserta hadir hanya demi mendapatkan pengalaman estetik sebagai bahan unggahan ke Instagram ataupun TikTok.
Di balik euforianya, event semacam ini justru patut diwaspadai. Sebab sebenarnya ia muncul dari kultur kapitalisme—olahraga, musik, cahaya, dan hiburan menjadi bagian dari kemasan industri gaya hidup. Tujuannya jelas bukan semata kesehatan, tapi bisnis hiburan. Indikasi komersialisasi ini terlihat dengan adanya tiket, sponsor, merchandise, dan branding. Aspek kesehatan di sini sering kali hanyalah bungkus luar, sedangkan bisnis hiburan merupakan substansinya.
Dalam kitabnya At-Tafkir dan Nizham al-Islam, Syekh Taqiyuddin an-Nabhani menegaskan bahwa budaya atau tsaqafah di dalam Islam tidak boleh dipandang netral. Setiap budaya yang lahir dari rahim sekularisme—semisal event dengan ingar-bingar musik, mix gender bebas, dan gaya hidup liberal—pada hakikatnya membawa nilai-nilai Barat. Maka event semacam ini meski tampak menyenangkan dengan aspek kesehatannya, tapi sungguh pada hakikatnya terdapat infiltrasi gaya hidup liberal-sekuler yakni bebas berekspresi dan bercampur baur, serta menjadikan hiburan sebagai tujuan hidup.
Secara eksplisit memang tidak ditemukan afiliasi antara penyelenggara Bekasi Colour Run Lightfest dengan komunitas lgbete. Tapi menurut pandangan Syekh Taqiyuddin an-Nabhani, setiap event massal di era kapitalisme sering kali memiliki agenda ideologis. Sebagaimana dalam colour run event ini, mereka mengusung inklusivitas visual dan emosional yang membentuk gaya hidup, menormalisasi pergaulan bebas, bahkan membuka ruang bagi kampanye lain termasuk feminisme, inklusi lgbete, atau sekadar konsumerisme.
Hal ini dibuktikan dengan keterlibatan kaum pelangi di beberapa event Colour Run di Barat. Seperti pada Juni 2016, di Beale Air Force Base (AS) diselenggarakan lgbete colour run untuk merayakan Pride Month. Di dunia kampus juga sama, pada April 2025, Lakeland University (AS) menyelenggarakan lgbeteq Colour Run dengan tujuan mengedukasi tentang sejarah, isu, dan komunitas lgbete. Mahasiswa di HSDC (Inggris) juga mengadakan agenda serupa untuk penggalangan dana bagi lgbete+ Switchboard, lembaga layanan dan dukungan bagi komunitas lgbete.
Olahraga memang mubah bahkan dianjurkan di dalam Islam. Tapi kalau dilakukan dengan ikhtilath tanpa batas, musik yang berbau maksiat, dan pesan gaya hidup liberal, maka jelas itu haram karena bertentangan dengan syariat. Sudah semestinya event semacam ini tidak diikuti bahkan ditolak, karena mengandung pelanggaran syariat bahkan bahaya pemikiran bagi generasi muda. Karena keberadaannya justru akan menjebak mereka pada gaya hidup yang makin liberal, menyesatkan pemikiran mereka, serta menjauhkan mereka dari nilai-nilai Islam.
Apalagi event ini ada indikasi kuat menjadi alat hegemoni budaya Barat ke dunia Islam. Maka, tidak cukup hanya ditolak saja, harus ada peran dakwah yang dilakukan untuk menyadarkan dan memberi pencerahan pada umat—mana hiburan atau olahraga yang mubah, mana yang membawa mudarat bahkan maksiat. Lebih dari itu, umat juga harus diajak kritis terhadap nilai-nilai yang sedang ditanamkan melalui berbagai event. Dengan begitu, umat tidak mudah fomo, lebih berhati-hati agar tidak terseret arus normalisasi gaya hidup liberal.
Kaum muslim diperbolehkan mengadakan event olahraga islami, misalnya lari sehat dengan aturan syarak. Peserta harus menutup aurat menggunakan pakaian sesuai syarak, jalur dipisah antara laki-laki dan perempuan, tanpa musik maksiat, tanpa sponsor kapitalis. Dengan mekanisme seperti ini maka kesehatan tetap terjaga, syiar Islam juga ditampakkan. Akhirnya, masyarakat juga jadi punya pilihan selain event gaya hidup Barat.
Lebih dari itu, wajib ada penyadaran pada umat bahwa penyebab menjamurnya tawaran gaya hidup liberal adalah diterapkannya sistem sekularisme liberal di tengah kehidupan mereka. Maka, sudah seharusnya ada juga dorongan yang kuat agar umat mau memperjuangkan sistem Islam dengan tegaknya Khilafah sebagai institusinya. Sistem inilah yang kelak akan mengatur aktivitas publik, termasuk olahraga dan hiburan agar tetap segaris dengan syariat.[]

0 Komentar