Ummu Afsana
#Bekasi — Saat ini Indonesia tengah menghadapi situasi krisis keamanan
anak dan perempuan pada ruang publik. Arifah Fauzi, Menteri Pemberdayaan
Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) kepada pihak cnnnews.com, menyatakan bahwa angka kekerasan yang menimpa
anak-anak di Indonesia, bahkan di lingkungan keluarga yang dirasa paling aman
pun menunjukkan angka yang sangat memprihatinkan.
Terkait hal ini, pihaknya menambahkan berdasarkan hasil survei nasional
pengalaman hidup anak dan remaja, satu dari dua anak Indonesia pernah mengalami
kekerasan. Bentuk kekerasan yang paling sering menimpa korbannya adalah
kekerasan emosional. Hal ini menjadi peringatan bahwa perisai perlindungan
terhadap anak masih memiliki banyak celah untuk ditembus.
Arifah dalam konferensi pers perayaan hari anak nasional di gedung
kemenPPPA Jakarta pusat, Rabu (16/7) menjelaskan penyebab utama kekerasan
terhadap anak di lingkungan keluarga berasal dari tiga faktor utama, yaitu pola
asuh yang keliru, penggunaan gawai yang berlebihan, serta lingkungan sekitar
yang tidak mendukung tumbuh kembang anak secara sehat.
Kondisi yang memprihatinkan pun tak ketinggalan menimpa Bekasi. Kota yang
mendapat predikat sebagai Kota Layak Anak ini ternyata belum mampu memberikan
penjagaan dan perlindungan yang layak. Seperti yang dilansir oleh pihak Detiknews.com,
sopir angkot di Kota Bekasi, Jawa Barat, berinisal AA dengan bejat memperkosa
penumpangnya KJS yang masih berusia remaja. Pada saat melakukan aksi bejatnya
pelaku mengancam akan menghilangkan nyawa korban dengan pisau. Pihak polres Bekasi
Kota menjelaskan kronologi peristiwa ini bahwa pelaku melakukan aksinya di
rumah kontrakannya di Jalan Damai, Jatiasih, Kota Bekasi.
Masih di Bekasi yang menjadi puncak fakta dari peristiwa kekerasan pada
anak dan perempuan yang terungkap adalah oknum guru olahraga yang berinisial JP
yang ternyata merupakan anggota Tim Pencegahan dan Penanganan Kekerasan (TPPK)
justru terlibat kasus pelecehan seksual yang terjadi di SMPN 13 Kota Bekasi.
Fakta bahwasannya seorang anggota tim yang seharusnya menjadi pelindung
utama siswa dari tindak pelecehan justru menjadi pelaku kekerasan. Hal ini
lantas menimbulkan pertanyaan selanjutnya tentang pengawasan dan penjagaan
pihak sekolah pada siswanya, serta keefektifan dari pembentukan tim ini.
Akibatnya korban sampai mengalami gangguan mental akibat peristiwa yang
menimpanya.
Pelecehan Seksual di Ruang
Publik Buah Sistem Kehidupan yang Salah
Bila kita membahas secara mendalam tentang kasus pelecehan dan kekerasan
yang terjadi pada perempuan dan anak, sebenarnya berkaitan dengan hal ini sejak
2013 beragam regulasi telah diberlakukan untuk menanganinya, seperti UU
perlindungan anak yang bahkan sudah direvisi sebanyak dua kali, yakni menjadi
UU TPKS (Tindak Pidana Kekerasan Seksual), ataupun KUHP. Namun, ternyata hal
ini tidak mampu membendung badai kekerasan dan pelecehan yang mengancam
perempuan dan anak-anak, semuanya masih terus terjadi.
Selain itu negara juga lemah dalam mengatur segala urusan yang berkaitan
dengan media. Segala bentuk tontonan yang mengandung unsur seksual dan mengumbar
aktivitas pornografi tidak ditindak secara tegas. Negara bahkan terkesan
membiarkan ini semua terus bergulir atas nama kebebasan berperilaku dan
berkespresi. Jumlahnya terus bertambah tanpa ada kontrol apalagi sanksi.
Sejak awal negara tidak pernah tegas dalam mendefiniskan poin-poin
penting yang menjadi perusak moral dan mental generasi dan masyarakat. Akhirnya,
berujung pada kegagalan dalam mendefinisikan solusi yang tepat untuk menanggulangi
masalah kejahatan seksual yang mengintai generasi.
Kegagalan ini sejatinya bersumber pada paradigma berpikir ala sekuler
kapitalisme. Gambaran kehidupan yang serba bebas menjadikan segala aspek yang
terpampang di depan mata dijadikan komoditas untuk menghasilkan materi. Bahkan
bisnis syahwat pun tak jarang dinormalisasi. Sistem sekuler telah mengembangkan
gaya hidup bebas tanpa batas. Tayangan sensual dengan mudah diakses siapa pun,
bahkan anak di bawah umur, sebab konten-konten yang bermuatan seksual semacam
ini seperti sengaja dibuka seluas-luasnya
Kondisi buruk ini juga seolah menunjukkan kepada kita kegagalan sistem
pendidikan ala sekuler kapitalisme dalam memproduksi insan beriman yang
senantiasa terjaga dari aktivitas kemaksiatan dan keburukan. Sistem ini justru
telah begitu berhasil menyulap generasi beserta pendidiknya menjadi manusia
yang diselimuti syahwat yang membuat mereka berperilaku keji, tega, bahkan
sadis. Sistem pendidikan ini pun telah berhasil menghilangkan perisai iman dan
agama yang seharusnya ampuh mencegah mereka dari perbuatan yang sarat akan
kemaksiatan .
Negara lagi-lagi tertangkap lemah dalam melakukan aktivitas kontrol di
tengah-tengah masyarakat. Negara hanya berperan sebagai penyelenggara aktivitas
pendidikan, tapi berperan minimalis dalam melakukan kontrol, bahkan terkesan
berperan seadanya. Sebab persoalan pendidikan justru dikembalikan kepada
kontrol masing-masing individu atau orang tua.
Islam Menutup Semua Pintu Pelecehan
Seksual
Kontras dengan pemaparan sebelumnya, dalam Islam, negara memiliki peran
yang begitu besar dalam menjaga dan melindungi generasi. Terutama dalam
menciptakan ruang publik yang aman. Rasulullah saw. menjelaskan bahwa penguasa
bertanggung jawab atas rakyatnya sebagai pengurus sekaligus sebagai pelayan
urusan rakyat. Dari Abdullah bin umar r.a., Nabi saw. bersabda, ”Ingatlah setiap kalian adalah pemimpin dan setiap
kalian akan bertangg jawab atas apa yang dipimpinnya. Imam yang memimpin
manusia adalah pemimpin dan dia bertanggung jawab atas apa yang dipimpinnya…”
(Hadis Riwayat Bukhari)
Adapun Islam memiliki mekanisme yang menggambarkan tanggung jawab negara
dalam soal pengurusan sebagai berikut: pertama, negara menjamin hak-hak
anak, yakni mendapat pendidikan yang layak, nafkah yang cukup, makanan yang
bergizi seimbang, rumah yang layak dan sehat, lingkungan yang baik untuk tumbuh
dan berkembang, serta yang tak kalah penting adalah keluarga yang harmonis
serta penuh kasih sayang. Kedua, negara akan menetapkan regulasi yang
akan menjamin adanya pemeliharaan informasi yang sesuai dengan ketentuan
syariat. Negara tidak akan membiarkan informasi yang mengandung konten
pornografi, kekerasan seksual dan sejenisnya berkembang dan mempengaruhi
kondisi ruang publik.
Ketiga, khalifah akan memberlakukan sanksi yang tegas terhadap para
pelaku kekerasan seksual. Untuk mencegah manusia yang masih tetap melakukan
tindak kekerasan seksual, kemaksiatan dan juga pelanggaran meskipun sudah
dilakukan pencegahan secara maksimal.
Islam memiliki definisi yang jelas atas kejahatan. Dalam kitab Nizham al-Uqubat Wa al-Ahkam al-Bayyinat fil
Islam hlm. 3, Syekh Abdurrahman al-Maliki Rahimahullah menjelaskan, kejahatan adalah perbuatan-perbuatan yang
tercela (al-qabih). Tercela (al-qabih) adalah apa yang allah mencelanya pula.
Itu sebabnya suatu perbuatan tidak dianggap kejahatan kecuali jika ditetapkan
oleh syariat bahwa perbuatan itu tercela. Ketika syariat telah menetapkan
perbuatan itu tercela maka sudah pasti perbuatan itu disebut kejahatan. Hal itu
tanpa memandang tingkat tercelanya, yakni tanpa melihat besar kecilnya
kejahatan. Hokum syara telah menetapkan perbuatan tercela sebagai dosa yang
harus dikenai sanksi.
Demikianlah, sistem sanksi yang tegas dalam Islam akan makin memberikan
efek jera bagi para pelaku kekerasan. Negara akan memberikan jaminan penjagaan
terhadap generasi dari segala bahaya yang akan mengancam keberlangsungan
hidupnya.[]
0 Komentar