Penahanan Ijazah oleh Sekolah Bukti Abainya Negara

 


Yuliana, M.Pd. 



#Tangsel — Sebanyak 26 lulusan SMK Al-Hidayah Ciputat, ditahan ijazahnya karena belum melunasi tunggakan biaya pendidikan (tangerangupdate.com, 27/08/2025). Bukan hanya di Tangsel, kasus penahanan ijazah juga terjadi di Kota Batu. Namun, berbeda dengan 26 lulusan SMK Al-Hidayah Ciputat, beruntungnya Lily akhirnya mendapat bantuan dari Pemkot Kota Batu (jatimtimes.com, 09/09/2025.



Penahanan ijazah bukanlah hal baru. Sekolah yang melakukan penahan ijazah merasa sudah sesuai aturan. Menurut Dr. Joko Sumaryanto, seorang ahli hukum sekaligus dosen Fakultas Hukum Universitas Bhayangkara Surabaya, "Praktik ini merupakan pelanggaran terhadap peraturan yang berlaku." Hal ini diatur dalam Permendikbud Nomor 75 Tahun 2016 pada Pasal 9 yang menyatakan bahwa ijazah adalah hak peserta didik dan tidak boleh ditahan oleh sekolah dengan alasan apa pun. 



Di sisi lain, sekolah yang menahan ijazah siswanya merasa sudah mengambil keputusan tepat. Sekolah bahkan tidak memberikan salinan ijazah karena melihat pengalaman sebelumnya, yaitu ijazah tidak diambil sama sekali oleh siswa karena sudah ada salinannya. 



Kapitalisasi Pendidikan 


Penahanan Ijazah yang terjadi pada beberapa sekolah karena alasan biaya adalah bentuk kapitalisasi pendidikan. Pendidikan yang bertujuan mencerdaskan anak bangsa terhambat karena tunggakan biaya. Di sisi lain, kualitas pendidikan hanya dilihat dari selembar Ijazah. Saking "sakral"nya selembar kertas ini bisa dibeli dengan uang tanpa harus bersusah payah menempuh pendidikan. Ia tidak lagi mencerminkan kualitas keilmuan seseorang. Banyaknya kasus ijazah palsu bahkan menjerat petinggi negara adalah bukti buruknya kualitas pendidikan kita. Lalu output seperti apa yang diharapkan?



Sekolah swasta yang bergantung pada siswa dalam hal biaya adalah bentuk lepasnya tanggung jawab negara dalam hal operasional pendidikan. Dalam sistem kapitalisme, negara hanya sekedar regulator bukan pelayan dan pengurus rakyat. 



Siswa dinilai hanya dari selembar kertas. Akhirnya, mereka berlomba-lomba mendapatkannya dengan goresan tinta nilai sempurna. Lulus sekolah dituntut oleh aturan sosial agar segera bekerja dan berupaya mengembalikan uang pendidikan. Tak heran jurusan pendidikan yang "laku" adalah jurusan yang nantinya menjamin untuk bekerja dan menghasilkan banyak uang. Alhasil, proses belajar dan menuntut ilmu tak lepas dari aroma rupiah.



Kemiskinan dan tidak bisa melunasi biaya pendidikan merupakan salah satu alasan para orang tua murid. Orang tua murid yang juga rendah pendidikannya menjadikannya sulit lepas dari lingkaran kemiskinan. "Pandai dan jadi orang" merupakan tujuan dari kebanyakan orang tua siswa saat ini. Padahal sebagai seorang muslim tujuan orang tua mendidik anaknya adalah dalam rangka menjadikan anak pribadi yang ber-syakhsiyah islamiah (berkepribadian Islam), yaitu menjadikan pola pikir dan pola sikapnya berdasarkan aturan Islam. Menjadi pribadi yang fakih fiddin dan ahli dalam ilmu dunia. Mewujudkan hal tersebut tidak lepas dari peran negara yang mempunyai visi dan misi sama dengan orang tua. 



Oleh karenanya tujuan pendidikan nasional yang menurut Pasal 3 UU Nomor 20 Tahun 2003, "Untuk mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman, bertakwa..." Seperti jauh panggang dari api. 



Islam dan Ilmu Tidak Terpisahkan 


Islam memandang ilmu sebagai hal wajib yang harus dipelajari, khususnya ilmu agama. Dengan ilmu manusia mampu menggenggam dunia dan sukses di akhirat. Dalam Islam, menuntut ilmu bukan hanya dipelajari tapi harus dipahami, diamalkan, dan bermanfaat untuk masyarakat. Sehingga ilmu yang dipelajari mendapatkan keberkahan dari Allah Swt.



Visi pendidikan dalam Islam bukan sekadar mendapatkan ijazah. Seorang muslim dituntut untuk semangat belajar dan mencari ilmu karena Allah Swt. Dengan demikian, dorongan untuk belajar, yaitu ingin bermanfaat bagi orang lain. Sekolah hanya sekadar mengejar ijazah dengan nilai-nilai sempurna tapi minus adab dan akhlak. Islam menjamin melahirkan output generasi yang cakap ilmu dunia juga pandai dalam ilmu akhirat. Terlebih karena pentingnya ilmu, Islam menjadikan pendidikan hal yang utama. Dimulai dari aspek keluarga, masyarakat dan negara.



Dalam keluarga, ibu adalah madrasah pertama bagi anak-anaknya. Perempuan dan laki-laki berhak mendapatkan pendidikan yang sama. Ilmu yang didapatkan oleh perempuan harapannya mampu menjadi sumber panutan bagi anak-anaknya. Perempuan boleh bekerja dan bermanfaat buat masyarakat tapi tidak melupakan fitrah utamanya sebagai ibu dan manajer rumah tangga.



Di masyarakat, Islam mendidik masyarakat sebagai komunitas yang saling mengingatkan satu sama lain. Ketika terjadi maksiat masyarakat tidak diam tapi berupaya merubahnya. Harapannya berbagai permasalahan generasi, bisa diatasi pada tingkatan ini, seperti tawuran, pacaran, dsb. Ini dilakukan sebagai bentuk pelaksanaan perintah Allah, yaitu amar makruf nahi mungkar.



Terakhir benteng terkuat, yaitu negara. Negaralah yang akan membina dan membawa arah pendidikan masyarakat. Jika ingin masyarakat yang beriman dan bertakwa maka harus diselaraskan dengan kurikulum dan aspek kehidupan lainnya seperti ekonomi, sosial, politik, budaya dsb. berdasarkan aturan Islam.



Dengan demikian, negara akan mampu menghasilkan output pendidikan yang sesuai dengan tujuan nasional. Tidak cukup hanya dengan menyelesaikan kasus penahanan ijazah, juga tidak cukup dengan meminta orang tua siswa segera membayar biaya pendidikan karena permasalahan pendidikan kita saat ini bukan sekadar teknis, melainkan juga sistemis.[]


Posting Komentar

0 Komentar