Rayhana Radhwa
#Bekasi — Ketua Komisi I DPRD Kabupaten Bekasi, Ridwan Arifin mendorong penerapan sistem digital dalam penagihan dan transaksi pajak serta retribusi untuk mencegah kebocoran Pendapatan Asli Daerah (PAD). Sistem pajak digital yang dikenal sebagai smart tax ini bertujuan juga untuk meningkatkan transparansi, seperti yang telah berhasil diterapkan di Kota Bandung. Gagasan inovasi penerapan smart tax ini akan mulai diterapkan di Kabupaten Bekasi tahun 2026 yang akan datang. Ridwan menekankan perlunya transparansi data wajib pajak agar potensi pajak dapat dipantau secara presisi. Sistem digital ini diharapkan membuat setiap transaksi tercatat secara real-time dan memudahkan penindakan terhadap wajib pajak yang belum membayar (radarbekasi.id, 14/08/2025).
Bebenah pajak tidak hanya di Kabupaten Bekasi. Berbagai kabupaten melakukan bermacam-macam manuver pajak. Pengenalan sistem pajak digital hanya salah satunya. Beberapa daerah memilih menaikkan pajak daerah dan retribusi hingga berkali-kali lipat. Contohnya pajak yang mengalami kenaikan adalah Pajak Bumi dan Bangunan Perkotaan dan Pedesaan (PBB-P2). Belum lama warga Pati bergejolak dengan kenaikan 250%, terkuak pula kenaikan 1.000% di Cirebon, dan 800–1200% di Jombang (bbc.com, 15/08/2025). Tercatat di beberapa kabupaten di Sulawesi Selatan seperti Kabupaten Pare-pare juga naik 800% dan di Kabupaten Bone naik 65% hingga menyulut kericuhan (detik.com, 22/08/2025).
Pajak Penopang Keuangan Negara Kapitalis
Tak hanya APBN yang ditopang sebagian besar oleh pajak, APBD juga secara tidak langsung sama saja. Saat APBN mengalami efisiensi, dana transfer daerah kena imbasnya. Berbagai manuver dilakukan oleh Pemerintah Daerah untuk mendongkrak pendapatan daerah setelah dana transfer daerah dipangkas. Wakil Direktur INDEF, Eko Listiyanto menghimbau pemerintah agar tidak memotong anggaran transfer ke daerah karena berisiko tinggi, terutama bagi daerah dengan kapasitas fiskal rendah. Pengurangan anggaran tiba-tiba otomatis akan membuat pemerintah daerah kelabakan mencari substitusi dana alternatif (tempo.co, 14/08/2025). Ujung-ujungnya tetap pajak daerah yang diutak-atik. Baik besarannya yang ditingkatkan, variannya diperluas, hingga cara pengelolaannya dipercanggih.
Sungguh ironis, di tengah situasi ekonomi yang makin pelik, negara justru makin menggebu mengencangkan tali kekang pajak yang melilit rakyat. Presiden Prabowo memastikan bakal terus memaksimalkan rasio pajak demi penguatan ruang fiskal negara. Sebagaimana yang sudah diduga, pajak masih menjadi pos pemasukan utama bagi APBN Indonesia tahun 2026 mendatang. Lihat saja, dari keseluruhan target pendapatan negara sebesar Rp3.147,7 triliun, pemasukan dari pajak digadang-gadang mencapai 65% yakni sebesar Rp2.062 triliun.
Di sisi lain, anggaran digelontorkan untuk pengeluaran yang tidak efektif dan proporsional. Padahal masyarakat justru menunggu banyak program untuk pemulihan kesejahteraan setelah pandemi Covid. Wajar apabila rakyat beranggapan bahwa penarikan pajak hanya menghisap harta rakyat saja. Tengok saja pengeluaran negara untuk tunjangan perumahan anggota DPR yang mencapai 50 juta/orang. Anggaran kunjungan luar negeri presiden dan kabinet yang lebih sering dibanding kunjungannya ke IKN.
Kesenjangan makin menganga tapi penguasa masih percaya diri berpesta. Penarikan pajak membabi buta, tapi guru honorer tak digaji sewajarnya. Wajar rakyat bertanya di kemanakan uang pajak mereka? Dari sini, tampak bahwa sistem ekonomi kita tak baik-baik saja. Ekonomi negara kapitalis menjadikan pajak sebagai pendapatan utama, dikenakan secara luas, bahkan atas berbagai macam barang dan jasa. Penarikan pajak dalam kapitalisme ini bertentangan dengan syariat Islam karena membebani rakyat dan melanggar hak milik.
Pajak dalam Islam
Dalam Islam, hukum asal menarik pajak (dharîbah) adalah haram, tapi diperbolehkan dalam kondisi darurat jika kas negara tidak mampu memenuhi kebutuhan rakyat. Singkatnya, Islam tak pernah menetapkan penarikan pajak sebagai pilar utama keuangan negara.
Pajak dalam sistem Khilafah hanya ditarik dari warga yang mampu, tidak akan dikenakan terhadap masyarakat miskin. Pajak juga harus bersifat sementara. Artinya, bila kondisi darurat terselesaikan maka penarikan pajak harus berhenti.
Pengelolaan khas ini hanya ada dalam baitulmal, suatu institusi yang mengelola keuangan negara dalam Islam. Secara ringkas, syariat Islam menetapkan tiga sumber utama pemasukan baitulmal. Pertama, dari kepemilikan individu yang meliputi sedekah, hibah, dan zakat. Kedua, dari kepemilikan umum yang tidak boleh diprivatisasi, misalnya tambang, minyak, gas, batu bara, dan hutan. Ketiga, dari kepemilikan negara seperti jizyah, kharaj, ganimah, fai, dan ‘usyur. Kepemilikan negara ini menjadi pemasukan yang bersifat tetap. Konsep keuangan negara sesuai syariat ini dibahas secara mendalam oleh Syekh Abdul Qadim Zalum pada kitabnya Al-Amwal fi Daulah Khilafah (Sistem Keuangan Daulah Khilafah).
Pengelolaan pengeluaran baitulmal pun memiliki aturan tersendiri. Khalifah berwenang mengatur belanja negara dengan mempertimbangkan kemaslahatan dan keadilan sesuai syariat Islam. Anggaran pada pos kepemilikan umum hanya boleh digunakan untuk kepentingan publik, seperti pendidikan, kesehatan, keamanan, subsidi energi, biaya jihad, dan kebutuhan masyarakat lainnya. Sementara itu, dana untuk gaji aparat, hakim, santunan penguasa, serta kondisi darurat diambil dari kepemilikan negara. Adapun zakat hanya disalurkan kepada delapan golongan yang berhak menerimanya.[]
0 Komentar