Perang Kasta BBM: Swasta vs. Pertamina



Karina Fitriani Fatimah 


#TelaahUtama — Jagat maya tengah dihebohkan dengan tersebarnya video-video yang memperlihatkan beberapa karyawan SPBU Shell berjualan kopi hingga makanan. Pemandangan tak biasa tersebut memunculkan spekulasi adanya pemutusan hubungan kerja (PHK) di SPBU swasta, khususnya Shell Indonesia, imbas kosongnya stok BBM (Bahan Bakar Minyak) sejak bulan lalu. Kondisi tersebut menyebabkan kelangkaan BBM di sejumlah SPBU swasta seperti Shell, Vivo, dan BP-AKR (okezone.com, 08/09/2025). 


Fenomena ini memicu ramainya perburuan BBM terutama di area Jabodetabek. Antrean kendaraan tampak mengular hingga ke jalan raya di beberapa outlet SPBU swasta. Antrean mulai memanjang sejak jam pulang kerja dan pagi hari. Di Bekasi misalnya, beberapa pengendara kendaraan bermotor bahkan tidak sedikit yang datang dari luar daerah demi mendapatkan stok terakhir (bekasiterkini.net, 19/09/2025).  


Menanggapi hal tersebut Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Bahlil Lahadalia membantah adanya kelangkaan BBM di vendor energi milik swasta. Ia bahkan menyebut pemerintah telah menambah kuota impor sebanyak 10% dibanding dengan kuota di tahun 2024 untuk pihak swasta. Bahlil kemudian memberikan masukan bagi pemain energi swasta untuk mengajukan kerjasama business-to-business (B2B) dengan Pertamina bila ingin menambah stok BBM. Ia menambahkan hingga kini stok cadangan BBM nasional masih tersedia (okezone.com, 16/09/2025). 


Pihak Shell Indonesia sendiri tidak secara gamblang membantah isu kosongnya stok BBM. President Director & Managing Director Mobility Shell Indonesia, Ingrid Siburian menyebut perusahaan tengah melakukan penyesuaian jam operasional dan karyawan. Inggrid menambahkan pihaknya tidak melakukan penutupan gerai SPBU mana pun di seluruh Indonesia (bisnis.com, 16/09/2025). 


Kian bergulirnya bola panas isu kelangkaan BBM di sejumlah SPBU swasta pada akhirnya mendorong pihak pemerintah dan sejumlah pelaku usaha energi swasta untuk membahas fenomena tersebut lebih lanjut. Dalam rapat yang diadakan di kementerian ESDM pada Jumat (19/09) terdapat setidaknya 4 (empat) poin yang disepakati kedua belah pihak. Pertama, pihak SPBU swasta setuju membeli bahan baku BBM (base fuel) dari Pertamina guna memenuhi stok. Kedua, dua belah pihak bersepakat melakukan joint surveyor dalam proses pengadaan minyak impor guna memastikan kualitas BBM. Ketiga, harga pembelian BBM dari pihak swasta ke Pertamina dilakukan secara B2B dengan pertimbangan harga rata-rata minyak mentah Indonesia (Indonesian Crude Price). Terakhir, pemerintah akan menjamin ketersediaan bahan baku BBM yang diimpor ke Indonesia dalam tujuh hari ke depan (cnnindonesia.com, 19/09/2025). 


Habisnya stok BBM di SPBU swasta sesungguhnya sudah bisa diprediksi. Pasalnya sejak Februari lalu masyarakat mulai kehilangan kepercayaan pada Pertamina imbas mencuatnya megaskandal kasus korupsi tata kelola minyak mentah dan produk kilang. Tidak tanggung-tanggung, dalam kasus korupsi tersebut negara mengalami kerugian mencapai Rp968,5 triliun (kompas.com, 27/02/2025). 


Kasus megakorupsi tersebut membuat was-was masyarakat setelah terungkap adanya praktik blending Pertamax (RON 92) dengan produk BBM lain yang memiliki RON lebih rendah semisal Pertalite (RON 90). Praktik tersebut benar-benar merugikan masyarakat secara langsung karena merusak mesin kendaraan bermotor. Tidak hanya itu, ditemukan pula adanya mark up harga Pertamax serta besaran subsidi yang tidak sesuai aturan di beberapa wilayah. Hal tersebut kemudian membuat masyarakat beralih dari Pertamina ke penyedia BBM swasta guna memenuhi kebutuhan energi mereka. 


Dari sini wajar jika sekalipun pemerintah telah meningkatkan kuota impor BBM bagi pihak swasta sebanyak 10%, penambahan tersebut tidak mampu memenuhi seluruh kebutuhan energi masyarakat. Di sisi lain, Pertamina justru kehilangan pembeli dan mengalami penumpukan stok BBM. Oleh karenanya, wajar jika pemerintah tampak ‘memaksa’ pihak swasta untuk menghabiskan stok BBM milik Pertamina melalui skema B2B. 


Perlu dipahami bersama bahwa Sumber Daya Alam (SDA) Indonesia yang kaya akan minyak tidak serta-merta dapat dirasakan manfaatnya oleh masyarakat banyak. Melalui UU No. 21/2001 tentang Migas, pemerintah membuka peluang sebesar-besarnya bagi perusahaan asing untuk mengeksploitasi migas negeri ini. Sebagai efek domino, perusahaan asing semisal Shell kini dapat menguasai perdagangan minyak dan gas di sektor hilir. 


Di sisi lain, negara harus menyesuaikan harga BBM yang dijual Pertamina dengan harga pasar dunia. Hal ini dilakukan agar harga BBM yang dijual pihak swasta dapat berkompetisi dengan Pertamina. Seterusnya seluruh pelaku usaha energi tidak terkecuali negara sendiri harus tunduk pada harga pasar. Namun, dengan buruknya kualitas serta service yang diberikan oleh Pertamina, tidak mengherankan jika kini warga justru lebih memilih untuk membeli BBM dari pihak swasta. 


Padahal jika sumber daya energi Indonesia dikelola dengan benar oleh negara, Indonesia seharusnya mampu menyediakan BBM murah bagi masyarakat. Sekalipun memang benar produksi dan cadangan minyak Indonesia menurun setiap tahunnya, tetapi cadangan minyak yang belum tereksplorasi masih besar. Hingga kini Indonesia memiliki 128 cekungan minyak dan baru 60 cekungan yang sudah dieksplorasi. Cekungan lainnya masih belum terjamah karena terletak di perairan dalam.  


Sayangnya kondisi tersebut tidak mendorong pemerintah untuk berkomitmen penuh dalam penyediaan energi negeri ini. Sejak era reformasi terlihat tidak ada penambahan jumlah kilang minyak yang menyebabkan produksi minyak domestik rendah dan terus menurun. Pemerintah justru kian bergantung pada impor minyak. Data Badan Pusat Statistik (BPS) memperlihatkan adanya peningkatan ekspor minyak mentah Indonesia sebesar 27,39% sepanjang 2024. Nilai ekspor minyak mentah RI mencapai Rp36,9 triliun. Ironisnya, impor BBM justru kian menjadi, yakni dari Singapura, Amerika, dan negara-negara Timur Tengah. Bahlil menyebut impor BBM RI dari Singapura mencapai 50% senilai US$11.404.019.938 sepanjang 2024 (cnbcindonesia.com, 27/05/2025). 


Demikianlah wajah asli sistem kapitalisme yang meniscayakan negara untuk lepas tangan dalam pemenuhan kebutuhan energi masyarakat. Di dalam sistem kapitalisme, negara tidak berperan sebagai ra’in (pengurus) rakyat, tetapi sebatas regulator dalam membuat kebijakan. Regulasi yang ditelurkan sistem kapitalisme adalah kebijakan hasil buatan manusia yang berpotensi menimbulkan kekacauan dan pertikaian. Celakanya, regulasi yang dibuat justru lebih banyak menguntungkan oligarki bersama para cuan. Penerapan sistem kapitalisme kemudian melegalkan liberalisasi migas yang sama sekali tidak bertujuan mewujudkan kemaslahatan rakyat. 


Padahal yang sepatutnya dilakukan negara adalah menjamin terpenuhinya kebutuhan energi rakyat melalui tersedianya BBM dengan harga terjangkau. Hal tersebut tidak mungkin tercapai tanpa adanya komitmen yang serius dari pemerintah dalam pengelolaan energi. Negara juga tidak sepatutnya membuka peluang seluas-luasnya bagi pihak swasta terutama asing untuk menguasai industri energi domestik. Negara justru wajib untuk mengambil alih pengelolaan BBM guna memenuhi kebutuhan energi masyarakat, bukan untuk mencari keuntungan. Wallahualam bissawab.[]

Posting Komentar

0 Komentar