Pertumbuhan Ekonomi: Politik Ekonomi Islam Sejahterakan Rakyat



Ruruh Hapsari

 

#Wacana — Awal Agustus lalu, Badan Pusat Statistik (BPS) mengeluaran data tentang pertumbuhan ekonomi Indonesia pada kuartal II di tahun 2025. Pertumbuhan ekonomi Indonesia tersebut dicatat oleh BPS sebesar 5,12 persen secara tahunan atau year on year (jawapos.com, 05/08/2025). Namun, data BPS itu banyak diprotes oleh para ekonom, mereka mengatakan bahwa data tersebut janggal karena tidak sesuai dengan kenyataan di lapangan. 

 

Kejanggalan tersebut salah satunya dinyatakan oleh Direktur Eksekutif  Center of Economic and Law Studies (Celios), Bhima Yudistira. Ia menyatakan bahwa data BPS tidak menggambarkan kondisi sesungguhnya di masyarakat dan selisih data terlalu jauh berbeda. Seperti pertumbuhan industri pengolahan yang tidak sesuai dengan data BPS.

 

Bhima menyatakan bahwa terpaut angka yang besar antara data BPS dengan PMI Manufaktur Indonesia. PMI menilai bahwa kinerja masa nufaktur selalu turun, dari level 47,4 hingga pada Juni 2025 lalu menjadi 46,9. Fakta lainnya mengungkapkan bahwa PHK masal meningkat di sektor padat karya sedangkan penciptaan lapangan kerja tidak terjadi. Penjualan semen mengalami penurunan, lebih lagi ia menyoroti sektor hilir termasuk smelter nikel yang sebagian berhenti berproduksi. Kemudian konsumsi rumah tangga hanya tumbuh di angka 4,97 persen.

 

Sejurus dengan itu, Teuku Riefky, Peneliti Makro Ekonomi dan Pasar Keuangan Universitas Indonesia menyatakan hal yang sama. Ia katakan bahwa sejak 2017 jumlah kelas menengah turun, daya beli masyarakat juga turun. Sedangkan ekonom BCA, David Sumual memprediksi bahwa ekonomi Indonesia hanya bisa tumbuh sekitar 4,69 hingga 4,81 persen. Ekonom Maybank Indonesia Mydal Gunarto pun menyatakan demikian, bahwa ia mengaku terkejut dan tidak menyangka akan pertumbuhan ekonomi pada kuartal II di atas lima persen. Menurutnya, ia mempunyai sangkaan angkanya tidak mencapai lima persen (CNNIndonesia.com, 6/8/2025).

 

Fakta di tengah janggalnya data yang menjadi sorotan ekonom, pemerintah justru membantah hal tersebut. Menteri Koordinator Bidang Perekonomian,  Airlangga Hartarto menyangkal bahwa presiden telah  mengutak-atik data BPS. Ada beberapa poin sangkalannya, yaitu pertama bahwa data BPS menyatakan konsumsi masyarakat tumbuh tinggi sekitar 4,97 persen. Kedua, konsumsi rumah tangga berkontribusi besar dalam Produk Domestik Bruto (PDB) pada kuartal II di tahun ini.

 

Ketiga, ia menyatakan bahwa investasi tumbuh 6,99 persen, transaksi uang elektronik juga meningkat sekitar 6,25 persen kemudian ia juga menyatakan bahwa marketplace tumbuh quarter to quarter (qtq) 7,55 persen. Selain itu, Airlangga berkomentar bahwa perjalanan wisatawan lokal tumbuh sebanyak 22,3 persen dan mancanegara sekitar 23,32 persen. Akibatnya lapangan pekerjaan tercipta sebanyak 3,6 juta tersebab pertumbuhan tersebut.

 

Prasetyo Hadi, Menteri Sekreteris Negara mengimbuhkan bahwa realisasi ekonomi tersebut merupakan hasil dari kerja keras pemerintah yang salah satunya adalah membuat program dalam hal kebijakan dan stimulus ekonomi. Padahal saat pemerintah menyangkal dengan melebih-lebihkan data BPS, maka akan tidak tepat sasaran kebijakan kepada masyarakat. Selain itu, pemerintah juga menganggap bahwa masyarakat dan negara dalam kondisi baik-baik saja. Padahal hal ini mejadi berbahaya karena pemerintah akan menunda stimulus ekonomi ataupun bantuan kepada masyarakat.

 

Pertumbuhan Ekonomi

Wajar saja bila para ekonom menyatakan bahwa data BPS tidak sesuai kenyataan karena bila dibandingkan dengan teori pertumbuhan ekonomi versi Walt Whitman Rostow dalam bukunya The Stages of Economic Growth yang menjadi patokan dari pertumbuhan ekonomi modern ala kapitalis saja sudah tidak memenuhi syarat.

 

Menurut Rostow terdapat lima tahapan yang mengakibatkan tumbuhnya ekonomi suatu negara, ia menggambarkan mulai dari masyarakat tradisional hingga modern. Pada tahap keempat, Rostow menyatakan bahwa perekonomian akan tumbuh bila lapangan usaha bertambah seiring dengan penerapan teknologi. Fakta penting menurutnya adalah tabungan masyarakat dan  investasi meningkat hingga 20 persen.

 

Kemudian ditahapan kelima, Rostow menyatakan bahwa yang memimpin dari pertumbuhan ekonomi adalah sektor industri karena adanya komsumsi yang tinggi dari masyarakat. Dengan demikian, diharapkan masyarakat mengalami pendapatan riil  dan per kapita pun juga meningkat.

 

Oleh sebab itu, bisa ditarik kesimpulan dari teori di atas bahwa ada tiga faktor yang berkaitan satu dan lainnya yang menjadi pendorong peningkatan pertumbuhan ekonomi. Ketiganya yaitu produksi, kemajuan teknologi, dan adanya ideologi terbuka yang menerima teknologi baru.

 

Akan tetapi, kesemuanya itu adalah perkembangan ekonomi perspektif kapitalis. Terlebih karena menggunakan akal manusia, maka keuntunganlah yang menjadi prioritas utama bukan lagi kesejahteraan masyarakat, termasuk riba merupakan faktor penting dari sistem ekonominya.

 

Seharusnya landasan pembangunan sebuah industri haruslah datang dari Sang Empunya aturan yang bisa menyelesaikan segala masalah manusia, yaitu Allah Swt. Dalam buku Politik Ekonomi Islam karya Abdurrahman al-Maliki ditulis bahwa politik ekonomi Islamlah yang menjadi landasan politik ekonomi sebuah negara. 

 

Pengadaan proyek-proyek industri juga harus mengikuti pandangan hidup Islam dan harus diperhatikan salah satunya tentang kepemilikan. Pabrik yang terkait dengan kepemilikan umum dikuasai oleh negara dan tidak boleh dimiliki oleh individu. Begitu juga pabrik yang tidak terkait dengan kepemilikan umum, termasuk kepemilikan individu, negara boleh memilikinya. 

 

Hal ini terkait dengan industri mana saja yang boleh dimiliki oleh oleh individu. Misalnya industri tambang, karena tambang merupakan hak milik umum, maka kepemilikannya pun tidak boleh dimiliki oleh swasta ataupun individu. Hak pengelolaannya saja yang diserahkan oleh negara, kemudian rakyat dapat menikmati hasil tambang tersebut.

 

Oleh karenanya, sistem ekonomi yang harus digunakan oleh negara adalah sistem yang selalu berusaha mengayomi rakyat, sehingga rakyat tidak selalu menjadi korban dari makin melonjaknya harga barang yang makin tidak masuk akal. Wallahualam.

Posting Komentar

0 Komentar