Shiha Utrujah
#Wacana — Beberapa bulan yang lalu terjadi kontroversi besar terhadap pembangunan pagar laut di perairan kabupaten Tangerang, Banten. Pagar laut itu membentengi sepanjang 30,16 km, melintasi 16 desa di 6 kecamatan, yaitu teluk Naga Kosambi, Mauk, Kronjo, Pakuhaji dan Sepatan. Kini, muncul pembangunan tanggul beton di laut perairan Cilincing, Jakarta Utara. Tanggul beton itu dibangun sepanjang 2–3 km. Pembangunan ini sangat berdampak terhadap masyarakat pesisir dan kritik legalitas proyek tersebut.
Setelah viral dan heboh di medsos, Gubernur DKI Jakarta Pramono Anung pun meminta PT KCN memberikan jaminan akses nelayan ke wilayah tangkap ikan dalam menyikapi polemik keberadaan tanggul beton tersebut. Pramono menginstruksikan lembaga terkait untuk mengundang perusahaan tersebut meskipun telah memiliki surat izin pemanfaatan ruang laut dari Kementerian Kelautan dan Perikanan. Pemerintah DKI memprioritaskan keberlangsungan aktivitas nelayan di lokasi tersebut tanpa gangguan.
Pramono mengemukakan bahwa Pemprov DKI tidak memiliki otoritas untuk menerbitkan izin pendirian pagar laut beton, karena itu merupakan domain KKP (Kementerian Kelautan dan Perikanan) yang diberikan kepada PT Karya Cipta Nusantara (KCN).
Oligarki Mengendalikan Negara
Kasus tanggul beton di laut perairan Cilincing, Jakarta Utara, memperlihatkan bagaimana negara gagal menjalankan perannya dalam melindungi kepentingan publik dan justru oligarki yang mengendalikan negara. Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) telah memberikan izin untuk pembangunan tanggul beton yang dilakukan oleh PT Karya Cipta Nusantara.
Memang benar rakyat diberi akses untuk tetap bisa beraktivitas menangkap ikan. Namun, dengan adanya tanggul beton akan merusak ekosistem laut dan ikan pun sulit didapatkan.
Kasus tanggul beton menjadi contoh konkrit bagaimana kepentingan oligarki dapat mengambil ruang publik untuk kepentingan privat, mengabaikan dampak sosial dan lingkungan yang ditimbulkan. Kuatnya pengaruh oligarki dalam pemerintah tidak hanya tercermin pada kasus ini saja. Pun dengan tambang, gas, timah, batubara, dan lainnya juga telah dikuasai oleh oligarki.
Dominasi oligarki di negara ini sangat dipengaruhi oleh sistem demokrasi dan kapitalisme yang saling menguatkan. Dalam demokrasi pemilihan legislatif dan eksekutif membutuhkan dana besar yang sebagian besar berasal dari oligarki. Sistem ini juga menjadikan manusia sebagai pembuat hukum urusan publik. Oligarki dan modal mereka berpengaruh besar dalam memastikan kepentingan mereka terakomodasi dalam regulasi. Sementara itu, kapitalisme dengan konsep kebebasan ekonominya menempatkan negara hanya sebagai regulator sambil mendorong penguasaan ekonomi oleh swasta.
Merampas Kepemilikan Umum
Harta publik dalam perspektif Islam merujuk pada kekayaan yang secara eksplisit ditetapkan oleh Allah dan Rasul-Nya sebagai milik bersama kaum muslim, tanpa batasan kepemilikan individu. Terhadap sumber daya alam (laut, pantai) adalah bagian dari kepemilikan umum. Dalam Islam, lautan dan pantai adalah kekayaan umum yang harus dapat digunakan masyarakat, selama tidak merusak atau melanggar syariat. Infrastruktur (seperti betonisasi) yang menghalangi akses rakyat ke laut bisa menjadi masalah keadilan dan pelestarian alam (hifdz al-bi’ah). Keterbatasan akses ekonomi laut: berarti kehilangan peluang untuk masyarakat miskin pesisir dalam mencari nafkah (nelayan, tambak, garam, usaha kelautan kecil).
Risalah Islam hadir menjaga manusia dan menjamin peliharaan kekayaan alam. Kekayaan alam ini adalah milik Allah yang Allah izinkan untuk dimanfaatkan oleh hamba-hamba-Nya dengan sebaik mungkin. Oleh karena itu, syariat Islam menetapkan regulasi kepemilikan yang mencakup entitas individu, kolektif, dan negara.
Islam pun mengatur cara meraih dan menggunakan kepemilikan. Seluruhnya wajib sejalan dengan aturan Allah. Pelanggaran terhadap parameter kepemilikan yang telah Allah tetapkan merupakan bentuk ketidakadilan yang nyata. Para oligarki yang telah merampas milik masyarakat umum kemudian diberi izin oleh negara dalam memilikinya merupakan suatu kezaliman terhadap rakyat.
Zalim Merampas Hak Rakyat
Salah satu peringatan Rasulullah saw. kepada penguasa yang bekerjasama dengan oligarki adalah peringatan untuk tidak berbuat zalim kepada rakyatnya. Mu'adz bin Jabal r.a. yang diangkat sebagai gubernur (wali) di Yaman menuturkan bahwa Rasullullah saw. bersabda kepada dirinya: "Takutlah pada doa orang yang dizalimi. Sungguh tidak ada hijab antara doanya dan Allah." (Hadis Riwayat Muttafaqun 'alayh)
Kalimat "tiada hijab" dalam hadis ini menunjukkan bahwa doa orang yang dizalimi mustajab, pasti dikabulkan Allah. Islam secara eksplisit menuntut penguasa untuk menegakkan keadilan dan kesetaraan dalam setiap aspek kehidupan. Memberikan perlindungan dari oligarki yang merampas kepemilikan umum. Bukan sebaliknya, malah melayani oligarki melegalkan insfratruktur (membangun tanggul beton), membatasi rakyat menggunakan kepemilikan umum.[]

0 Komentar