Tambal Sulam Demokrasi: Reshuffle Selamatkan Rakyat?

 



Annisa

#Wacana — Pada Senin (8/9/2025) di Kantor Presiden, Kompleks Istana Kepresidenan Menteri Sekretaris Negara (Mensesneg), Presiden Prabowo memutuskan melakukan perombakan atau mereshuffle susunan sejumlah jajaran Kabinet Merah Putih di lima kementerian. Hal tersebut telah melalui berbagai pertimbangan, masukan dan evaluasi yang telah dilakukan oleh Presiden Prabowo. (nasional.kompas.com, 08/09/2025)

 

Dari laman timesindonesia.co.id (11/09/2015) memberitakan reshuffle kabinet ini menyedot perhatian publik dengan beragam reaksi, mulai dari optimisme hingga skeptisisme. Terlebih pergantian menteri ini dilakukan di tengah gejolak politik dan sosial yang cukup panas yaitu setelah pascagelombang protes besar-besaran terkait tunjangan rumah anggota DPR sebesar Rp50 juta per bulan. Langkah ini tidak hanya berdampak pada konfigurasi kekuasaan di lingkaran eksekutif, tetapi juga pada dinamika politik antarpartai serta persepsi publik terhadap komitmen pemerintah.

 

Pertanyaannya adalah apakah reshuffle ini benar-benar mampu menghadirkan solusi atas problem ekonomi yang menekan masyarakat, atau sekadar kosmetik politik yang tidak menyentuh akar persoalan?

 

Dalam Islam, reshuffle memang sah-sah saja, tetapi hanya jika ditujukan untuk memperbaiki amanah kepemimpinan. Sebab dalam Islam seorang khalifah berkewajiban mencopot penguasa yang terbukti lalai, tidak kompeten, atau bahkan berkhianat terhadap rakyat. Namun, jika reshuffle hanya dijadikan alat politik untuk mengamankan kekuasaan, menjaga koalisi, atau sekadar meredam kemarahan publik, maka solusi yang dilakukan tidak akan pernah menyentuh akar masalah. Memang benar reshuffle menteri meredakan kegaduhan sesaat, tapi gagal memberikan perubahan substantif kehidupan rakyat.

 

Oleh karena itu, meski berulang kali mereshuffle menteri, tapi selama sistem yang diterapkan masih kapitalisme maka tidak akan pernah bisa memperbaiki masalah hingga akar-akarnya. Rasulullah saw. juga bersabda dalam hadis riwayat Bukhari, yang artinya bahwa jika suatu urusan diserahkan pada orang yang bukan ahli dalam bidangnya, maka tinggal menunggu saat kehancurannya saja.

 

Sama halnya untuk jabatan menteri, menyerahkan urusan negara kepada orang yang tak kompeten di bidang yang dipimpinnya, maka hanya akan mempercepat kerusakan negara tersebut. Imbasnya, rakyat kembali menjadi korban sekaligus kelinci percobaan dari berbagai kebijakan yang ditetapkan.

 

Inilah sebabnya reshuffle sering dipandang sebagai sekadar langkah tambal sulam dalam demokrasi. Evaluasi perihal buruknya kinerja tidak harus selalu membutuhkan reshuffle jika memang dasar sistem yang dipakai sesuai dengan landasan sahih. Sebab, evaluasi kinerja justru menjadi kesempatan bagi para pejabat yang bersangkutan bekerja jadi lebih baik. Sebaliknya, reshuffle justru berpotensi membuat sistem dan kerja tim menjadi makin rapuh.

 

Namun, tentu saja perubahan karakter seorang pejabat tidak begitu mudah terjadi ketika sistemnya kental dengan berbagai kepentingan politik dan ekonomi. Pejabat tersebut akan turut tergerus sehingga lebih mementingkan dirinya sendiri selama menjabat, sebagaimana upaya memperkaya diri yang dilakukan sejumlah pejabat.

 

Sistem yang akan melahirkan sosok pejabat yang amanah sehingga lebih mudah untuk dievaluasi saat dirinya melakukan kesalahan jelas hanyalah sistem Islam. Hal ini karena standar yang digunakan saat menjabat adalah halal dan haram yang bersumber dari Al-Qur'an dan sunah.

 

Sistem Islam (Khilafah) juga memiliki standar kelayakan dalam pemilihan seorang pejabat negara, terlebih kriteria seorang khalifah. Kriteria-kriteria tersebut dilandaskan pada hukum syarak sehingga tidak mungkin diselisihi oleh kepentingan-kepentingan tertentu yang mengandung syahwat kekuasaan. Dalam Islam, jabatan berarti kepemimpinan, dan setiap pemimpin akan dimintai pertanggungjawaban di akhirat.

 

Dengan demikian, tentu tidak cukup ketika evaluasi kinerja pejabat pemerintahan hanya berwujud reshuffle kabinet. Artinya, bukan hanya pejabat yang dievaluasi, melainkan juga sistem yang menaunginya perlu diganti. Sistem demokrasi sudah berulang kali mengecewakan dan tidak layak dipertahankan. Sudah waktunya mengenal lebih dalam sistem Islam, sistem sahih dan menyejahterakan dengan jaminan wahyu. Wallahualam.[]

Posting Komentar

0 Komentar