Hessy Elviyah
#Bekasi — Di tengah hiruk pikuk politik yang kerap menguras energi rakyat, kabar pemotongan Tunjangan Perbaikan Penghasilan (TPP) Aparatur Sipil Negara (ASN) di Kabupaten Bekasi mencuat. Ironisnya, kabar tersebut datang bersamaan dengan kabar kenaikan pendapatan DPR RI.
Pernyataan pemotongan TPP ASN tersebut datang dari Ketua Komisi I DPRD Kabupaten Bekasi, Ridwan Arifin. Politisi Partai Gerindra ini menegaskan bahwa ancaman goyahnya APBD semakin nyata sehingga TPP ASN terancam dipotong. Hal ini lantaran daerah berpotensi kehilangan pemasukan hingga menembus angka satu triliun rupiah. Situasi itu, salah satunya dipicu oleh kebijakan Gubernur Jawa Barat terkait kebijakan penghapusan denda PBB-P2 serta realisasi BPHTB (Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan) yang belum optimal. Hal ini berdampak langsung pada stabilitas fiskal Kabupaten Bekasi. (radarbekasi.com, 22/08/2025)
Berbeda dengan pendapatan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Menurut Bapak Mahfud MD gaji dan tunjangan DPR yang diterima bisa sampai milyaran rupiah per bulan. Mantan Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) ini menuturkan banyaknya kritik terhadap DPR benar sebab penghasilan DPR telah berlebihan. (cnnindonesia.com, 29/08/2025)
Sebuah kontras yang begitu terlihat nyata, di satu sisi para wakil rakyat menambah kenyamanan hidup dengan tunjangan yang berlimpah, di sisi lain abdi negara lainnya yaitu ASN yang menangani langsung anggota masyarakat justru sedang bersiap menerima pengurangan hak.
Fenomena ini bukan sekadar teknik anggaran, melainkan cermin dari wajah sistem demokrasi-kapitalisme yang lebih piawai dalam memanjakan para elite dari pada menjamin kesejahteraan publik.
Ketimpangan Kian Nyata
Pernyataan Ketua Komisi I DPRD kabupaten Bekasi tersebut sejatinya membuka tabir rapuhnya pengelolaan anggaran daerah di bawah sistem demokrasi kapitalisme sekuler. APBD yang seharusnya menjadi instrumen strategis untuk menjamin layanan publik justru tampak mudah goyah hanya karena satu kebijakan di level provinsi.
Hilangnya satu trilliun rupiah membuat Pemkab Bekasi berada dalam persimpangan sulit: menutup defisit dengan mengorbankan hak ASN melalui pemangkasan TPP atau membiarkan kas daerah melemah tanpa solusi konkret. Kedua pilihan tersebut sama-sama menegaskan bahwa beban krisis selalu dialihkan kepada pihak yang tidak mempunyai daya tawar, sementara elite menikmati hasil dari permainan aturan yang mereka ciptakan sendiri.
Lebih dari itu, demokrasi sekuler menyingkirkan peran moral dan agama dari tata kelola kehidupan, termasuk dari pengelolaan keuangan publik. Anggaran diperlakukan sekadar angka dalam neraca keuangan fiskal, tanpa mempertimbangkan amanah kepemimpinan dan tanggung jawab moral terhadap rakyat. Ketika sekularisme memisahkan agama dari urusan negara, maka hilang pula rambu-rambu yang bisa mencegah ketidakadilan. Alhasil, praktik menambah tunjangan bagi pejabat dan sekaligus memangkas hak pegawai dianggap hal wajar, meskipun jelas-jelas menciptakan ketimpangan dan menumbuhkan ketidakpercayaan publik.
Solusi Islam
Pada dasarnya, ketimpangan/ketidakadilan distribusi kesejahteraan terhadap para pengemban amanah negara ini akibat buruknya sistem kapitalisme-sekuler yang mendasari sistem pemerintahan demokrasi. Maka dari itu, perlu adanya solusi mendasar yang mampu menciptakan keadilan yakni menerapkan sistem berbasis Islam, dengan menerapkan aturan Islam secara menyeluruh dalam bingkai pemerintahan negara Islam.
Dalam Islam sistem, negara mempunyai institusi keuangan yang disebut baitulmal, yang berfungsi mengelola seluruh pemasukan dari pos-pos syar'i seperti zakat, jizyah, kharaj, fai', ganimah, dan sumber daya alam. Dengan mekanisme ini keuangan negara tidak bergantung pada tarik menarik kepentingan politik maupun manipulasi fiskal yang kerap mengorbankan rakyat.
Lebih jauh, penguasa dalam sistem pemerintahan Islam bukanlah sosok yang menikmati fasilitas kekuasaan, melainkan rain (penggembala) yang wajib mengurus umat. Sementara itu, hak-hak aparatur negara yang menjalankan pelayanan publik tidak boleh dipangkas demi menutup defisit, sebab baitulmal telah menyediakan sumber yang syar'i untuk menjamin gaji mereka. Jika satu pos anggaran kosong, maka akan diisi dari pos anggaran yang lain sesuai dengan syariat. Dengan begitu, kesejahteraan aparat negara tetap terjaga tanpa harus mengorbankan kepentingan masyarakat atau memanjakan segelintir elite.
Selain itu, sistem Islam tidak mengenal logika menaikkan tunjangan pejabat politik. Justru yang diutamakan adalah tanggung jawab moral dan ketakwaan penguasa di hadapan Allah Swt.
Pemimpin negara dan para pejabatnya tidak boleh mengambil hak/harta publik kecuali dengan alasan syar'i dan semua pengeluaran harus kembali untuk kepentingan umat. Dengan demikian, ketimpangan antara pejabat pusat yang sejahtera dan aparatur daerah yang ditekan tidak akan pernah muncul dalam sistem negara yang berbasis Islam. Insyaallah. Wallahualam.[]

0 Komentar