Karina Fitriani Fatimah
#TelaahUtama — Setelah
berhari-hari bernegosiasi, gencata senjata mulai berlaku untuk perang Gaza.
Presiden AS, Donald Trump, secara langsung mengumumkan baik Tel Aviv maupun
Hamas telah menyetujui tahap pertama
kesepakatan damai. Tidak lama setelahnya militer Zionis menyebutkan pihaknya
memberlakukan gencatan senjata sejak Jumat (10/10) pukul 12.00 waktu setempat
(10.00 BST). Tahap pertama kesepakatan Trump diperkirakan dimulai dengan
pembebasan 20 sandera Zionis yang masih hidup dengan timbal balik berupa
pembebasan 1.700 tahanan dari Gaza (bbc.co.uk, 09/10/2025).
Memang benar kaum muslim
pada umumnya dan rakyat Gaza khususnya patut ‘berbahagia’ akan berakhirnya
perang. Namun, keterlibatan negara adidaya Amerika dalam ‘perdamaian’ Palestina
harus diwaspadai. Sekalipun teks lengkap perjanjian gencatan senjata antara Tel
Aviv–Gaza belum dipublikasikan, tetapi sebagian teks di antaranya telah
diumumkan oleh media Zionis. Dokumen berjudul “Langkah-langkah implementasi
untuk proposal Presiden Trump demi mengakhiri Perang Gaza secara komprehensif”
terlihat kurang rinci bahkan dalam beberapa poin justru terkesan samar dan
ambigu.
Secara garis besar, dokumen
Trump untuk Perang Gaza menyatakan bahwa perang telah berakhir. Hanya saja
terdapat beberapa poin penting yang layak dipertanyakan seperti misalnya
tuntutan Tel Aviv agar Hamas melucuti senjata, skala penarikan pasukan Zionis,
rencana Barat tentang siapa yang akan memerintah Gaza. Dokumen Trump juga tidak
menyebutkan adanya jaminan bahwa konflik tidak akan terjadi lagi, atau apa
konsekuensi yang didapat jika salah satu pihak memulai pertempuran. Padahal
selama ini pihak Zionis dikenal sebagai pendusta yang selalu melanggar
kesepakatan damai.
Sementara itu, Netanyahu
sendiri belum secara terbuka menyatakan bahwa perang telah berakhir. Setelah
kesepakatan damai disetujui oleh Tel Aviv, Netanyahu justru merilis video
ancaman pihaknya akan menggunakan kekerasan jika tuntutan Zionis, termasuk di antaranya
pelucutan senjata Hamas, tidak dipenuhi (bbc.com, 11/10/2025).
Dari sini, jelas terlihat
bagaimana dokumen Trump justru memberi ruang kembalinya pasukan Zionis ke
wilayah-wilayah yang telah mereka tinggalkan jika Hamas dianggap tidak ‘patuh’
dengan kesepakatan damai. Dokumen tersebut juga tidak merinci definisi
‘pelanggaran’ yang dimaksud. Celakanya, teks Trump tidak secara eksplisit
mengesampingkan serangan udara. Selama ini sekalipun pihak Yahudi menyatakan
gencatan senjata, nyatanya hal tersebut tidak mencegah mereka untuk melakukan
serangan udara seperti halnya yang terjadi pada Lebanon. Serangan udara Tel
Aviv hingga detik ini secara agresif menyasar target politik Zionis semisal
Hizbullah, milisi Syiah, dan gerakan politik lain yang dianggap ‘membahayakan’
Zionis.
Perlu diketahui bersama
bahwa dokumen Trump atas penghentian perang di Gaza tidak lebih dari upaya
negeri Paman Sam untuk menyukseskan implementasi rencana 20 poin yang diumumkan
Trump di Gedung Putih seminggu sebelumnya. Rencana 20 poin memuat makar jahat
yang bertujuan meletakkan Gaza di genggaman tangan Amerika. Rencana 20 poin
Trump secara nyata memiliki kerangka kolonial yang jelas. Amerika secara
eksplisit menyatakan bahwa Gaza ke depannya akan diawasi oleh negara adidaya
secara langsung. US juga menunjuk mantan Perdana Menteri Inggris, Tony Blair,
dan beberapa pihak Barat lainnya sebagai "trustees" (wali
amanat) untuk pembangunan pemerintahan Palestina baru. Di sisi lain, status
kenegaraan Palestina ditangguhkan tanpa batas waktu (aljazeera.com,
08/10/2025).
Dari sini jelas bahwa
pendekatan US dalam penyelesaian masalah Palestina masih mengulang pendekatan
Anglo–Amerika yang terbukti telah menghancurkan Palestina. Logika Paman Sam
yang tertuang dalam rencana 20 poin Trump menjiplak gaya penjajahan Barat
terhadap tanah Palestina yang sudah berlangsung seabad lamanya. Perjanjian
damai ala Anglo–Amerika telah dimulai sejak Perjanjian Versailles pada tahun
1919 ketika Inggris memperoleh mandat atas tanah Palestina. Kondisi ini
berlanjut melalui intervensi AS secara terus-menerus di wilayah tersebut sejak
tahun 1945.
Rencana 20 poin Trump juga
menjadi bukti pengkhianatan para penguasa muslim Arab atas Palestina. Amerika
secara eksplisit menyebut negeri-negeri
Teluk sebagai mitra diplomatik yang akan bergandengan tangan dengan Zionis
dalam proses perdamaian Tel Aviv–Palestina. Untuk saat ini, negeri muslim yang
secara terbuka mendukung penuh rencana Trump ialah Mesir, Yordania, Turki, dan
Qatar. US bahkan menyebut Mesir sebagai pihak yang akan menjamin dalam mencegah
masuknya amunisi perang ke wilayah Gaza. Selebihnya, manuver politik Trump akan
secara terbuka mendesak negeri-negeri Arab lainnya untuk menyetujui langkah
‘damai’ Amerika.
Tidak hanya berencana
membangun wilayah kolonial di Gaza melalui tangan-tangan penguasa muslim Arab,
US juga mencanangkan proses deradikalisasi Gaza. Masih dalam rencana 20 poin
Trump, Amerika akan berperan aktif dalam proses dialog antaragama yang katanya
menjunjung tinggi nilai-nilai toleransi ala kapitalisme Barat dengan tujuan
agar rakyat Palestina mampu hidup berdampingan dengan para pembunuhnya, yakni
Zionis. Target akhir AS sangat jelas, mereka menginginkan Gaza tidak hanya
‘bersih’ dari amunisi perang tetapi juga semangat jihad fii sabilillah dalam
mempertahankan tanah mereka. Oleh
karenanya, baik dokumen perjanjian damai Trump maupun rencana 20 poin Trump
bukanlah solusi tuntas permasalahan Palestina.
Dengan demikian, kaum
muslim tidak sepatutnya benar-benar bergembira akan kebebasan semu yang
ditawarkan Amerika. Negara adidaya secara eksplisit membuka niat jahatnya dalam
memporak-porandakan Palestina. Ironisnya, negeri-negeri muslim Arab justru
menunjukkan sikap ketundukan pada rencana Paman Sam. Namun, ingatlah wahai para
musuh Allah Swt. dan para pengkhianat muslim, Dia telah menyatakan dalam Firman-Nya,
"Orang-orang kafir itu membuat tipu daya, dan Allah membalas tipu daya
mereka itu. Dan Allah sebaik-baik pembalas tipu daya." (Surah Al-Imran
Ayat 54) Wallahualam bissawab.[]
0 Komentar