Gaji Guru PPPK Paruh Waktu Minim, Solusi Setengah Hati

 



Penulis: Hadiyatul Fitriyah, M.Si.

#FOKUS – Pada 2025, pemerintah resmi meluncurkan skema Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK) Paruh Waktu. Skema ini dimaksudkan untuk menampung honorer atau non-ASN yang belum terakomodasi dalam penerimaan CPNS atau PPPK Penuh Waktu. Keputusan Menteri PANRB 16/2025 menetapkan PPPK Paruh Waktu sebagai perjanjian kerja dengan jam kerja lebih singkat daripada PPPK reguler yang bekerja penuh waktu, dengan rata-rata 4 jam per hari. Dengan skema ini, pemerintah dapat tetap memanfaatkan tenaga kerja honorer tanpa membebani anggaran pegawai secara berlebihan.

Gaji PPPK Paruh Waktu tidak boleh lebih rendah dari gaji terakhir mereka saat masih berstatus honorer atau kurang dari UMP wilayah. Besaran gajinya bervariasi tergantung UMP. Gaji PPPK Paruh Waktu berkisar antara Rp2 juta hingga Rp5,6 juta, tergantung di mana mereka bekerja. Misalnya di DKI Jakarta, gaji PPPK Paruh Waktu setara dengan UMP 2025, atau sekitar Rp5,3 juta per bulan. Di wilayah seperti Jawa Tengah, gajinya berada di kisaran Rp2,1 juta–Rp2,3 juta.

Gaji untuk PPPK Paruh Waktu berbeda dengan gaji honorer maupun PPPK Penuh Waktu. Sistem penggajiannya didasarkan pada jumlah jam kerja per minggu–yang umumnya lebih sedikit dibandingkan PPPK Penuh Waktu yang wajib bekerja 40 jam per minggu. Jika seorang tenaga honorer menerima gaji Rp3 juta/bulan untuk 40 jam kerja per minggu, upah per jamnya sekitar Rp18.750. Jika tenaga honorer tersebut beralih menjadi PPPK Paruh Waktu dan hanya bekerja 20 jam per minggu, estimasi gaji bulanannya menjadi Rp1,5 juta.

Solusi Setengah Hati

Besaran gaji PPPK Paruh Waktu ini sangat memprihatinkan, besarannya sangatlah minim. Bagi seorang guru yang menjadi tulang punggung negara untuk mendidik generasi, apakah layak mendapat gaji hanya belasan ribu per jam? Status kepegawaian guru berubah, tetapi besaran gaji yang diterima ternyata masih sama seperti saat menjadi guru honorer, bahkan jauh di bawah standar. Beban kerja guru tetap sama, sedangkan harapan akan peningkatan kesejahteraan nyaris tidak terpenuhi. Perbedaan penghasilan yang signifikan antarprovinsi pun menambah kekhawatiran soal keadilan dalam kompensasi guru di seluruh Indonesia.

Pemerintah beralasan PPPK Paruh Waktu hadir sebagai solusi bagi ratusan ribu tenaga honorer yang belum terserap menjadi ASN. Padahal sungguh, kebijakan ini setengah hati! Kebijakan ini tidak ubahnya sebagai jalan tengah saja untuk mengatasi masalah honorer dan keterbatasan anggaran. Pemerintah bertarget menghapus sistem honorer pada 2025. Namun kenyataannya, belum semua bisa terserap jadi ASN sehingga guru tidak punya pilihan, pilih di-PHK atau menjadi PPPK Paruh Waktu.

Keterbatasan Anggaran: Alasan Klise

Alasan keterbatasan anggaran merupakan alasan klise yang pemerintah kemukakan sehingga lahirlah istilah PPPK Paruh Waktu. Harusnya, guru tidak boleh “bekerja” paruh waktu, guru harus full time mendidik generasi. Ketiadaan guru penuh waktu dapat berdampak pada kelancaran kegiatan belajar mengajar yang artinya kualitas pendidikan dipertaruhkan. Jika kekurangan guru, mengapa tidak membuka kesempatan selebar-lebarnya untuk mengangkat guru, tidak perlu ada guru PPPK Paruh Waktu.

Pemerintah terkesan tidak serius mengatasi masalah ini. Guru merasa bosan dengan janji-janji pemerintah yang tidak kunjung terealisasi dan hanya berganti kebijakan/program. Masalah rekrutmen guru, kesejahteraan guru, kekurangan guru, distribusi guru, ketimpangan akses dan sarana pendukung pendidikan hingga saat ini tidak kunjung tuntas terselesaikan.

Kondisi ini makin membuka mata kita bahwa inilah dampak diterapkannya sistem kapitalisme di dunia pendidikan. Dalam sistem ini, negara melepaskan tanggung jawabnya untuk mengurus seluruh urusan rakyatnya, termasuk pendidikan. Guru sebagai salah satu komponen penting dalam pendidikan, belum mendapat perhatian serius. Sistem ini nyata-nyata abai terhadap kesejahteraan guru. Guru dibiarkan hidup di bawah standar layak sehingga mereka harus berjibaku mencari sampingan lainnya demi menyambung hidup. Jika kondisi ini terus berlanjut, tentu guru tidak akan fokus mendidik generasi. Kita bisa membayangkan dampaknya terhadap kualitas generasi.

Islam Menjamin Kesejahteraan Guru

Jika kita menelaah penerapan sistem pendidikan dalam Islam, sungguh sangat berbanding terbalik dengan kondisi saat ini. Negara (Khilafah) bertanggung jawab menjamin penyelenggaraan pendidikan. Jaminan diwujudkan dengan cara menyediakan berbagai sarana dan prasarana pendidikan yang memadai dan berkualitas.

Negara juga berkewajiban menyediakan tenaga-tenaga pendidik yang ahli di bidangnya, di seluruh penjuru negeri. Posisi guru sangat strategis bagi masa depan generasi. Guru dimuliakan dengan diberikan dukungan berupa gaji, fasilitas, dan penghargaan. Kesejahteraan guru akan diprioritaskan. Semua itu adalah tanggung jawab negara.

Dalam Khilafah, para guru akan mendapatkan gaji dari Baitulmal. Mekanisme dalam Baitulmal memiliki sumber yang kokoh dan berkelanjutan. Dalam kitab Al-Amwal fi Daulah al-Khilafah (Sistem Keuangan Negara Khilafah), Syekh Abdul Qadim Zallum rahimahullah menjelaskan bahwa Baitulmal dalam Islam memiliki sumber pemasukan yang terdiri dari tiga pos besar, yaitu (1) pos fai dan kharaj (terdiri dari ganimah, kharaj, tanah, usyur, rikaz, dan dharibah); (2) pos kepemilikan umum (seperti minyak dan gas, listrik, hasil tambang, laut, sungai, perairan, mata air, hutan, padang rumput penggembalaan, dan tempat khusus berupa hima); dan (3) pos zakat yang menjadi tempat penyimpanan dan pendataan harta-harta dari zakat wajib. Alokasi harta zakat hanya boleh untuk delapan golongan sebagaimana ketentuan di dalam Al-Qur’an.

Pos pemasukan ini, kecuali pos zakat, digunakan untuk kepentingan rakyat, termasuk menjamin pendidikan dan kesejahteraan guru. Dengan demikian, negara tidak pernah beralasan keterbatasan anggaran sebagaimana terjadi dalam sistem kapitalis saat ini karena Islam telah menetapkan mekanisme yang menjamin ketersediaan dana bagi pendidikan. Allah ﷻ berfirman,

مَآ اَفَاۤءَ اللّٰهُ عَلٰى رَسُوْلِهٖ مِنْ اَهْلِ الْقُرٰى فَلِلّٰهِ وَلِلرَّسُوْلِ وَلِذِى الْقُرْبٰى وَالْيَتٰمٰى وَالْمَسٰكِيْنِ وَابْنِ السَّبِيْلِۙ

“Apa saja harta rampasan (fai) yang diberikan Allah kepada Rasul-Nya (dari harta benda) yang berasal dari penduduk kota-kota, maka itu adalah untuk Allah, Rasul, kerabat Rasul, anak-anak yatim, orang-orang miskin, dan orang-orang yang dalam perjalanan.” (QS Al-Hasyr: 7).

Selain itu, Khilafah mengelola SDA secara mandiri dipergunakan untuk kepentingan rakyat, termasuk mengelola pendidikan. SDA tidak boleh diserahkan kepada individu, kelompok, atau asing, karena hal itu merupakan hak seluruh kaum muslim. Sebagaimana Rasulullah ﷺ bersabda, “Kaum muslim itu berserikat dalam tiga hal, yaitu air, padang rumput, dan api.” (HR Abu Daud).

Dalam kitab Sistem Ekonomi Islam karya Syekh Taqiyuddin an-Nabhani, guru ditempatkan sebagai pegawai negara dengan gaji yang diambil dari Baitulmal. Gaji mereka bukan sekadar kompensasi jam kerja, melainkan bentuk penghargaan atas peran vital mereka dalam mencetak generasi[1].

Rasulullah ﷺ bersabda,

اَلْإِمَامُ عَلَى النَّاسِ رَاعٍ وَهُوَ مَسْؤُوْلٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ

“Imam (khalifah) adalah pemelihara dan pengurus rakyat, dan ia akan dimintai pertanggungjawaban atas rakyat yang dipimpinnya.” (HR Bukhari dan Muslim).

Hadis ini menunjukkan bahwa dalam Islam, kesejahteraan guru adalah kewajiban negara, bukan sekadar kebijakan opsional. Politik pendidikan dalam Islam diarahkan untuk membentuk kepribadian Islam, menguasai tsaqafah Islam, serta mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi. Negara Khilafah memastikan pendidikan dapat diakses seluruh warganya secara gratis tanpa diskriminasi.[2] Hal ini berbeda dengan sistem kapitalisme yang menjadikan pendidikan sebagai komoditas.

Allah ﷻ berfirman,

يَرْفَعِ اللّٰهُ الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا مِنْكُمْۙ وَالَّذِيْنَ اُوْتُوا الْعِلْمَ دَرَجٰتٍۗ

“Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat.” (QS Al-Mujadilah: 11).

Ayat ini menegaskan keutamaan ilmu dan ulama (termasuk guru) sehingga negara wajib mengangkat derajat mereka dengan kesejahteraan yang layak. Oleh karena itu, dalam Khilafah, Khalifah sebagai pemimpin umat akan mengelola pendidikan bukan semata untuk memenuhi target administratif, tetapi sebagai bagian dari amanah syar’i dalam mengurus urusan rakyat.

Khalifah berkewajiban menjamin pendidikan bermutu, memuliakan guru dengan gaji yang layak, serta memastikan mereka bisa fokus penuh mendidik generasi. Dengan konstruksi Islam yang menyeluruh, pendidikan akan melahirkan generasi unggul, beriman, dan berilmu yang siap memimpin peradaban.

Realitas yang kita hadapi hari ini membuktikan bahwa sistem kapitalisme hanya melahirkan kebijakan tambal sulam, seperti PPPK Paruh Waktu, yang tidak menyelesaikan akar persoalan guru maupun pendidikan. Selama negara masih berasaskan pada paradigma kapitalisme, pendidikan akan terus dipandang sebagai beban anggaran, bukan kewajiban asasi negara terhadap rakyatnya.

Berbeda halnya dengan Islam. Dalam sistem Khilafah, pendidikan ditempatkan sebagai hak mendasar setiap warga, guru dimuliakan sebagai penopang peradaban dan kesejahteraan mereka dijamin oleh baitulmal. Dengan konstruksi Islam yang menyeluruh inilah, hanya Khilafah yang mampu memberikan solusi tuntas, mewujudkan pendidikan berkualitas; dan melahirkan generasi berilmu, beriman, berakhlak, dan siap memimpin peradaban dunia. Wallahualam bissawab.

Posting Komentar

0 Komentar