Karina Fitriani Fatimah
#TelaahUtama — Jumlah
korban jiwa akibat ambruknya bangunan di Pondok Pesantren (ponpes) al-Khoziny,
Sidoarjo, Jawa Timur terus bertambah. Per Senin (06/10) petang telah tercatat
setidaknya 60 korban meninggal dan 3 (tiga) lainnya masih dalam pencarian
(bbc.com, 06/10/2025). Bangunan yang runtuh merupakan sebuah bangunan musala
tiga lantai di area asrama putra ponpes. Di hari itu, pihak ponpes bersama para
santri tengah bergotong-royong melakukan pengecoran lantai 4 musala hingga
pukul 12.00 WIB pada Senin (29/09). Sekitar pukul 15.35 WIB para santri
melaksanakan shalat Ashar di lantai 2 mushala disusul dengan ambruknya lantai 4
hingga lantai dasar.
Hingga saat ini disebutkan
bahwa penyebab runtuhnya bangunan berlantai 3 tersebut adalah karena kegagalan
konstruksi. Terlihat di tempat kejadian seluruh elemen struktur bangunan hancur
dari mulai beton, pelat hingga balok. Bangunan tersebut ambruk secara vertikal
membentuk tumpukan pancake yang kian menyulitkan petugas melakukan proses
evakuasi korban (kompas.com, 02/10/2025). Dukungan peralatan yang telah
dikerahkan berupa 3 unit crane, 1 unit excavator breaker, 30 unit dump truck, 4
set alat pemotong beton, dan 30 unit ambulans.
Secara teknis, bangunan
publik semisal pesantren seharusnya memang dirancang dengan standar SNI
2847:2019 tentang persyaratan beton struktural untuk bangunan bertingkat; SNI
1727:2020 tentang beban desain minimum dan kriteria terkait; serta SNI
1726:2019 tentang tata cara perencanaan ketahanan gempa struktur bangunan
gedung dan nongedung. Hanya saja, tidak kita mungkiri bahwa masyarakat tidak
banyak yang benar-benar mengikuti standar tersebut. Terlebih dengan longgarnya
pengawasan negara di lapangan, banyak gedung yang dibangun dengan kaidah ‘asal
jadi’ yang ironisnya tidak sedikit di antaranya adalah fasilitas gedung
pendidikan.
Isu sekolah rusak
sejatinya sudah bukan hal baru di negeri ini. Data Kementerian Pendidikan Dasar
dan Menengah (Kemendikdasmen) menyebutkan dari 1,18 juta ruang kelas Sekolah
Dasar (SD) ditemukan setidaknya 60,3% ruang kelas dalam kondisi rusak di tahun ajaran
2024/2025. Sedangkan untuk jenjang pendidikan Sekolah Menengah Pertama (SMP)
sekitar 49,67% ruang kelas dalam kondisi rusak (goodstats.id, 05/07/2025).
Data Pokok Pendidikan
(Dapodik) juga mengungkapkan terdapat sekitar 980 ribu sekolah dalam kondisi
rusak sedang hingga rusak berat yang tersebar di seluruh Indonesia. Provinsi
yang menjuarai ajang sekolah rusak untuk sekolah wajib 9 tahun (SD dan SMP) ialah
Nusa Tenggara Timur (29,93%) disusul Maluku Utara (29,32%) dan Sulawesi
Tenggara (26,65%). Tercatat 14 provinsi yang berada pada ‘zona merah’ sekolah
rusak lebih dari 20% mayoritas berada di wilayah timur Indonesia
(yappika-actionaid.or.id, 03/08/2020). Kondisi tersebut kian menggambarkan
tidak hanya buruknya fasilitas pendidikan di negeri ini, tetapi juga
kesenjangan fasilitas pendidikan terutama di daerah 3T (tertinggal, terdepan,
terluar).
Ketidakseimbangan
fasilitas pendidikan antara wilayah 3T dan area perkotaan besar kian jomplang,
yang sayangnya sudah menjadi keseharian bagi anak didik negeri ini. Tidak
jarang, untuk wilayah 3T bahkan sekolah tidak tersedia sama sekali atau jarak
dari permukiman menuju sekolah terdekat terlalu jauh. Walhasil, kondisi
tersebut kian membuka lebar peluang meningkatnya angka putus sekolah di
Indonesia. Dari sini kita melihat bahwa pemerataan kualitas fasilitas belajar
masih menjadi PR (Pekerjaan Rumah) besar bagi negara.
Padahal, pendidikan adalah
hak setiap warga negara yang dijamin dalam UUD 1945 Pasal 31 yang berbunyi (1)
setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan; (2) setiap warga negara
wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya. Namun,
nyatanya amanat pasal tersebut belum benar-benar dijamin penerapannya oleh
negara dan hanya berhenti pada tataran teori. Pada kenyatannya tidak semua anak
usia sekolah mendapat layanan pendidikan yang layak karena negara tidak
benar-benar memastikan terpenuhinya kebutuhan pendidikan rakyat.
Terdapat setidaknya 3
(tiga) penyebab ambruknya pendidikan negeri ini. Pertama, negara abai
dalam tugasnya menjamin terpenuhinya kebutuhan dasar pendidikan. Sistem
kapitalisme yang dijalankan negeri ini menjadikan watak penguasa jauh dari
aspek pemahaman ra’awiyah (mengurus umat). Para penguasa cenderung
memosisikan dirinya sebagai pemilik priviledge yang tidak berkewajiban
penuh mengayomi masyarakat. Justru kebanyakan dari mereka melihat kursi
kekuasaan sebagai jalan untuk memperkaya diri dan merampok harta negara.
Buruknya konsep negarawan
di benak para penguasa negeri menjadikan Indonesia darurat sekolah rusak. Sejatinya,
kasus bangunan sekolah rusak sudah menjadi isu tahunan yang tak kunjung
diselesaikan. Pengabaian negara dalam sektor pendidikan membuat anak didik
sulit mengakses fasilitas pendidikan layak dan aman. Celakanya, dengan banyak
kasus sekolah rusak karena tidak adanya pengawasan negara yang ketat,
sebagaimana yang terjadi pada ponpes al-Khoziny, justru mengorbankan
keselamatan para peserta didik.
Kedua, dalam tataran sistem
kapitalisme yang dijalankan negeri ini, pendidikan dipandang sebagai komoditas
ekonomi yang patut diperjualbelikan. Negara yang cenderung abai dalam
menyediakan layanan pendidikan justru lebih banyak menyerahkan tugasnya pada
pihak swasta. Akibatnya, hanya segelintir masyarakat yang mampu mengakses
pendidikan layak. Kegiatan belajar mengajar yang menjadi bagian proses
pembentukan generasi emas diabaikan dan hanya fokus mencetak generasi pekerja
guna memenuhi kebutuhan industri. Parahnya lagi, penguasa menganggap pendidikan
menengah dan tinggi sebagai kebutuhan tersier yang tidak harus dijamin
pemenuhannya oleh negara. Oleh karenanya, tidak mengherankan jika biaya
pendidikan untuk sekolah menengah dan tinggi kian menjulang tinggi dari hari ke
hari.
Faktor ketiga penyebab
rusaknya sektor pendidikan negeri ialah pendanaan berbasis pajak dan utang.
Tata kelola ekonomi kapitalis yang lebih mengedepankan peran swasta dalam
mengelola Sumber Daya Alam (SDA) justru menjadi boomerang dalam
pembangunan negeri. Indonesia yang katanya kaya akan SDA justru gagal dalam
membiayai pendidikan sebagai akibat dari monopoli para cuan dalam sektor
industri. Dari sini sistem kapitalisme menumpukan pembiayaan sektor pendidikan
pada jerih payah rakyat melalui skema pajak. Politik APBN ala kapitalis yang
menjadikan pajak sebagai sumber utama pendanaan meniscayakan anggaran defisit
di setiap tahunnya. Pada akhirnya, negara pun ‘terpaksa’ menutupi defisit
anggaran melalui penambahan utang.
Penerimaan pajak yang
senantiasa diwacanakan sebagai ‘jalan satu-satunya' dalam memperbaiki ekonomi
negeri, nyatanya kian menumpulkan empati penguasa terhadap rakyatnya. Lihatlah
bagaimana kenaikan pajak semisal PPN (Pajak Pertambahan Nilai) dan PBB-P2 (Pajak
Bumi dan Bangunan Pedesaan dan
Perkotaan) sangat membebani ekonomi rumah tangga yang berdampak langsung pada
melemahnya daya beli masyarakat. Pajak tinggi yang benar-benar mencekik rakyat
pun nyatanya tidak benar-benar dikembalikan manfaatnya untuk kepentingan
rakyat. Buktinya hingga kini subsidi rakyat makin dikurangi dan biaya hidup
kian hari kian menjulang tinggi.
Di sisi lain, pemerintah
justru tampak asyik menambah utang negara. Pada 2026 nanti, Presiden Prabowo
berencana menambah utang negara sebesar Rp781,9 miliar (cnnindonesia.com,
18/08/2025). Utang bernilai fantastis tersebut ialah yang terbesar sejak
pandemi COVID-19. Total pembayaran bunga utang pada 2024 saja sudah hampir
Rp500 triliun atau 15% dari pagu APBN. Pemodelan APBN dalam sistem kapitalisme
yang bersandar pada skema utang membuat negara mengharuskan negara
mengalokasikan anggaran besar guna membayar bunga utang yang kian membengkak.
Padahal dana tersebut seharusnya dialokasikan untuk memenuhi kebutuhan dasar
rakyat terutama dalam sektor pendidikan.
Sayangnya, di tengah
minimnya anggaran pendidikan, negara justru kian menunjukkan sikap nonempati.
Terbukti pada awal 2025 lalu Prabowo justru menyampaikan adanya efisiensi
anggaran negara yang menyasar pula pada sektor pendidikan. Tidak hanya terimbas
efisiensi anggaran, dunia pendidikan harus ikut menanggung beban pembiayaan
program populis semisal Makan Bergizi Gratis (MBG). Dari sini, tidaklah
mengherankan jika keberadaan sekolah dan kelas rusak di negeri ini kian
menjamur.
Pendidikan adalah salah
satu kebutuhan pokok yang wajib dipenuhi oleh negara. Negara harus memastikan
tiap individu rakyat mendapat hak pendidikan melalui pengadaan fasilitas
pendidikan yang layak, aman, dan merata di seluruh penjuru Indonesia. Negara
juga sepatutnya mengelola penuh seluruh sektor penting industri yang manfaatnya
dikembalikan kepada warga, salah satunya dengan menyediakan pendidikan
terjangkau bahkan gratis bagi seluruh rakyat Indonesia. Karena sejatinya
pemenuhan kebutuhan pendidikan bagi rakyat ialah prasyarat terciptanya
peradaban tinggi masyarakat.
Islam bahkan mewajibkan
negara untuk memaksimalkan seluruh potensinya dalam menjamin pengadaan
kebutuhan sarana dan prasarana pendidikan. Dalam Muqaddimah ad-Dustur
(Pasal 179), syekh Taqiyuddin an-Nabhani bahkan menuliskan, "Negara
menyediakan perpustakaan, laboratorium, dan sarana ilmu pengetahuan lainnya
selain gedung-gedung sekolah dan universitas untuk memberi kesempatan bagi
mereka yang ingin melanjutkan penelitian dalam berbagai cabang pengetahuan,
seperti fikih, usul fikih, hadis, dan tafsir. Termasuk di bidang ilmu murni,
kedokteran, teknik, kimia, dan penemuan-penemuan baru sehingga lahir di
tengah-tengah umat sekelompok besar mujtahid dan para penemu.” Wallahualam
bissawab.[]
0 Komentar