Tragedi Musala Al-Khoziny: Negara Abai terhadap Pendidikan?

 



Shazia Alma

 

#TelaahUtama — Tragedi runtuhnya bangunan pesantren Al-Khoziny di Sidoarjo, sebagaimana dilaporkan Reuters pada 3–6 Oktober 2025, membuka luka mendalam di tubuh pendidikan Indonesia. Belasan santri wafat, puluhan lainnya luka-luka. Dalam laporan tersebut, otoritas menyebut bahwa bangunan pesantren tidak memiliki izin mendirikan bangunan, dan ribuan pesantren di Indonesia juga mengalami kondisi serupa. Kementerian Agama mencatat hanya sekitar lima puluh pesantren yang memiliki izin konstruksi yang sah dari total lebih dari empat puluh ribu yang beroperasi di seluruh negeri. Fakta ini menunjukkan lemahnya sistem pengawasan dan minimnya perhatian terhadap keselamatan fisik lembaga pendidikan—padahal di dalamnya terdapat generasi penerus bangsa. (Reuters, “Indonesia pesantren collapse kills several students,” 2025).

 

Fakta di atas menambah panjang daftar kelalaian negara dalam menjaga amanah pendidikan. Keamanan sekolah—tempat generasi bangsa menumbuhkan cita-cita—tak seharusnya menjadi isu musiman. Ia adalah hak asasi peserta didik, hak yang dalam pandangan Islam justru dijamin langsung oleh negara, bukan diserahkan pada swasta atau kemampuan individu.

 

Konsep pendidikan Islam tidak hanya memusatkan diri pada kurikulum, tetapi juga pada lingkungan pendidikan—termasuk fasilitas, bangunan, dan pengelolaannya. Al-Ghazali dalam Iḥyā’ ‘Ulūm al-Dīn menekankan bahwa ilmu tidak akan hidup kecuali dalam lingkungan yang menumbuhkan akhlak dan keamanan. Karena itu, setiap sarana pendidikan, mulai dari madrasah, masjid, hingga universitas, harus dibangun dengan prinsip amanah, keberlanjutan, dan kemaslahatan (maṣlaḥah).

 

Paradigma Islam memandang pendidikan bukan semata urusan transfer pengetahuan, melainkan proyek peradaban. Ia berangkat dari prinsip dasar bahwa negara—sebagai pelaksana kekuasaan umat—memikul tanggung jawab penuh dalam menjamin kebutuhan pokok rakyat, termasuk pendidikan. Allah berfirman dalam Surah Al-Hajj Ayat 41, “(Yaitu) orang-orang yang jika Kami beri kekuasaan di muka bumi, mereka menegakkan salat, menunaikan zakat, menyuruh yang makruf, dan mencegah yang mungkar.” Dalam ayat ini, mandat kekuasaan diikat oleh kewajiban pelayanan publik (ri‘ayah syu’un al-ummah), yang mencakup pemeliharaan akidah, moral, dan akal manusia—dan akal inilah yang tumbuh dalam sistem pendidikan yang bermartabat.

 

Dalam hukum Islam, kewajiban penyediaan fasilitas pendidikan berada di bawah tanggung jawab langsung ulil amri. Imam al-Mawardi dalam al-Ahkām as-Sulthāniyyah menegaskan bahwa di antara tugas negara adalah tahqiq al-maslahah ‘āmmah (memenuhi kemaslahatan umum) melalui kebijakan yang menjamin pendidikan, keamanan, dan pelayanan publik. Bukan umat yang membayar negara, tetapi negara yang berkewajiban menyiapkan segala instrumen agar umat bisa belajar, berpikir, dan berkarya dengan aman.

 

Pada tahap perencanaan, sistem pendidikan Islam klasik memberi teladan luar biasa. Pada masa kekhalifahan Abbasiyah, pembangunan madrasah seperti Nizāmiyyah di Baghdad dilakukan dengan perencanaan yang melibatkan ahli bangunan, pendidik, dan ulama. Dana berasal dari wakaf (endowment) yang diatur secara transparan dan diawasi oleh lembaga qāḍī al-quḍāt. Perencanaan fasilitas mencakup analisis kebutuhan: kapasitas ruang, ventilasi, sanitasi, tempat tinggal murid (asrama), hingga fasilitas riset. Fakta sejarah ini direkam oleh George Makdisi dalam karyanya The Rise of Colleges: Institutions of Learning in Islam and the West (1981), yang menunjukkan bahwa universitas modern di Eropa mengambil inspirasi dari model madrasah Islam yang sistematik dan tertata.

 

Konsep wakaf publik (al-waqf al-‘ām) dalam hukum Islam tidak identik dengan “swasta”. Akan tetapi adalah mekanisme pendanaan sosial yang diatur negara, di bawah kontrol qāḍī al-quḍāt (hakim agung). Al-Kasani dalam Bada’i al-Sana’i menjelaskan bahwa jika wakaf menyangkut fasilitas publik—seperti madrasah, rumah sakit, atau jalan—pengelolaannya menjadi tanggung jawab pemerintah, karena ia termasuk haqq al-jamā‘ah (hak kolektif masyarakat). Dengan demikian, negara dalam sistem Islam bukan hanya regulator, melainkan provider dan guardian terhadap semua sarana publik.

 

Bentuk tanggung jawab negara juga mencakup monitoring dan pemeliharaan berkelanjutan. Pada masa Umar bin Abdul Aziz, negara membentuk diwan al-madaris (semacam departemen pendidikan) yang mengawasi mutu pengajaran dan kondisi bangunan sekolah. Sejarawan al-Tabari mencatat bahwa khalifah mengeluarkan anggaran rutin dari baitulmal untuk perawatan fasilitas agar tidak roboh atau rusak. Prinsipnya: keselamatan peserta didik adalah tanggung jawab negara, bukan belas kasihan masyarakat.

 

Dalam pembangunan madrasah atau sekolah, pekerjaan konstruksi harus dilakukan oleh tenaga ahli (ahl al-khibrah), dengan pengawasan ketat agar tidak terjadi pengurangan material atau pengelabuan mutu. Islam melarang keras praktik gharar (ketidakjelasan) dan ghasyy (penipuan) dalam pembangunan, sebagaimana sabda Rasulullah ﷺ: “Barangsiapa menipu kami, maka ia bukan dari golongan kami.” (Hadis Riwayat Muslim)

 

Pandangan ini diperkuat oleh pemikir politik Islam modern, Syekh Taqiyuddin an-Nabhani (1909–1977). Dalam Nizham al-Islam dan Asy-Syakhsiyyah al-Islamiyyah, ia menegaskan bahwa pendidikan termasuk kebutuhan dasar (al-hajat al-asasiyyah) yang wajib ditanggung negara. Ia menulis, “Negara berkewajiban menyediakan pendidikan gratis untuk seluruh rakyat, karena akal manusia adalah milik umat, dan penjagaannya merupakan amanah syariat.” Bagi an-Nabhani, negara Islam bukan entitas ekonomi, melainkan institusi politik yang menegakkan hukum Allah dalam seluruh urusan publik. Ketika pendidikan diserahkan kepada swasta, negara telah melepaskan peran politiknya dalam menjaga akal umat—dan ini, dalam terminologi Islam, merupakan bentuk taqshir ad-daulah (kelalaian negara).

 

Gagasan serupa juga diungkap Abul A‘la al-Maududi dalam The Islamic Law and Constitution, bahwa fungsi negara Islam adalah “melayani kebutuhan umat dalam semua sektor yang menjamin hidup bermartabat, termasuk pendidikan dan ilmu pengetahuan.” Ia memandang negara bukan alat kekuasaan elite, melainkan khadim al-ummah—pelayan rakyat. Sedangkan Muhammad Asad dalam The Principles of State and Government in Islam menegaskan bahwa tanggung jawab negara terhadap pendidikan bersifat moral dan struktural; tanpa itu, negara kehilangan legitimasi syariat.

 

Sejarah Islam memperlihatkan bukti nyata bagaimana amanah ini dijalankan. Pada masa Khalifah Harun al-Rasyid dan al-Ma’mun, pendidikan menjadi prioritas peradaban. Madrasah, perpustakaan, dan lembaga penelitian dibangun dengan dana baitulmal—kas negara yang bersumber dari zakat, fai’, jizyah, dan kharaj. Tak ada biaya pendidikan yang dibebankan kepada rakyat. Bahkan, para penuntut ilmu diberi fasilitas tempat tinggal, buku, hingga tunjangan hidup. Dalam sistem ini, negara hadir bukan sebagai regulator netral, tetapi pelayan utama peradaban.

 

Fasilitas pendidikan dibangun bukan sembarangan. Islam mengenal konsep ihsan fi al-‘amal—melakukan pekerjaan dengan sebaik-baiknya. Maka perencanaan fasilitas pendidikan harus berbasis maslahat dan efisiensi: lokasi yang aman, bangunan yang kokoh, lingkungan yang sehat, serta sarana yang memudahkan interaksi guru dan murid. Di masa klasik, khalifah menunjuk para insinyur dan ahli bangunan untuk merancang madrasah sesuai fungsi sosialnya, sementara lembaga hisbah bertugas mengawasi standar kualitas, keamanan, dan pemeliharaan fasilitas. Al-Mawardi mencatat, muhtasib (petugas hisbah) wajib menegur siapa pun yang lalai membangun fasilitas publik dengan aman. Dengan begitu, pengawasan fasilitas pendidikan merupakan bagian dari amar makruf nahi mungkar dalam ranah kebijakan publik.

 

Negara Islam juga tidak membiarkan pendidikan menjadi komoditas. Ibn Taymiyyah dalam Majmū‘ al-Fatāwā menyatakan, “Setiap kebutuhan umat yang tak bisa terpenuhi kecuali dengan negara, maka negara wajib memenuhinya.” Pendidikan, dengan segala infrastrukturnya, termasuk dalam kategori dharuriyyat—kebutuhan primer umat. Maka menyerahkan pembangunan dan pengelolaan fasilitas pendidikan kepada swasta atau individu, apalagi menjadikannya ladang bisnis, adalah bentuk pengalihan tanggung jawab negara yang tidak dibenarkan syariat.

 

Konsep ini sejalan dengan prinsip maslahah mursalah dalam pemikiran Imam al-Shatibi, bahwa segala kebijakan publik harus diarahkan pada penjagaan agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta. Sekolah, madrasah, dan universitas sejatinya berfungsi menjaga akal dan peradaban manusia. Karenanya, membiarkan fasilitas sekolah roboh karena kelalaian anggaran sama dengan membiarkan akal umat terpuruk karena abainya negara.

 

Dalam konteks kekinian, paradigma Islam menuntut perubahan cara pandang terhadap peran negara. Negara bukan sekadar “penyedia izin” bagi sektor pendidikan, tetapi pemikul amanah untuk menjamin fasilitas pendidikan yang aman dan berdaya guna di setiap jenjang. Ketika peran ini digantikan oleh mekanisme pasar—dengan alasan efisiensi atau otonomi—yang terjadi justru ketimpangan akses, penurunan kualitas, dan pengingkaran tanggung jawab sosial. Nurcholish Madjid pernah menegaskan, “Negara yang berjarak dari urusan pendidikan akan kehilangan legitimasi moral di hadapan rakyatnya.” Pendidikan tidak boleh tunduk pada logika ekonomi; tapi harus berdiri di atas asas kemaslahatan umat.

 

Islam telah menunjukkan bahwa sistem pendidikan yang kokoh tak lahir dari sekadar niat baik, melainkan dari tatanan politik yang memuliakan ilmu dan manusia. Ketika negara memandang pendidikan sebagai amanah syariat, bukan proyek anggaran, maka setiap bata yang diletakkan di bangunan sekolah menjadi bagian dari ibadah. Maka sesungguhnya, kejatuhan fasilitas musala sekolah bukan hanya akibat lemahnya konstruksi fisik, tetapi juga runtuhnya kesadaran politik negara atas amanah penjagaan generasi.

 

Kita memerlukan perubahan paradigma: dari negara yang “membiarkan” menjadi negara yang “menanggung”. Islam telah menegaskan jalannya—negara adalah penanggung jawab utama, umat adalah penerima hak, dan ilmu adalah cahaya yang wajib dijaga dengan segala fasilitas terbaiknya. Karena dari sanalah peradaban dibangun. Maka, ketika sistem Islam diterapkan secara menyeluruh, fasilitas pendidikan tidak sekadar berdiri—tetapi akan menjaga jiwa, menumbuhkan akal, dan membangun peradaban. Wallahualam.[]

 

Posting Komentar

0 Komentar