Azizah Retnowati
#Wacana — Program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang
digagas Presiden Prabowo menuai banyak sorotan. Alih-alih dipuji sebagai
inovasi pengentasan gizi, program ini justru menghadapi berbagai persoalan di
lapangan. Di Indramayu, puluhan siswa SD dilaporkan mual dan muntah setelah
menyantap makanan MBG; kasus serupa terjadi di Bojonegoro, Cirebon, dan
Pandeglang. Menurut Tempo (02/10/2025), lemahnya pengawasan
distribusi dan penyimpanan menjadi penyebab utama.
Ironisnya, di tengah berbagai keluhan publik, suara kritis
dari dunia akademik hampir tak terdengar. Beberapa akademisi justru tampil
sebagai pembela kebijakan. Guru Besar Universitas Negeri Jakarta (UNJ), Prof.
Abdul Haris Fatgehipon, misalnya, menyebut MBG sebagai “wujud komitmen Presiden
Prabowo” dan mengajak masyarakat untuk mendukung penuh kebijakan itu (Sindonews,
06/10/2025).
Padahal, kampus seharusnya menjadi pengontrol kebijakan publik dengan landasan
integritas ilmiah. Pernyataan semacam ini menimbulkan pertanyaan serius: di
manakah independensi kampus?
Kooptasi Intelektual di Bawah Legitimasi Politik
Kampus seharusnya menjadi benteng moral bangsa—ruang lahirnya
kritik berbasis riset independen dan argumentasi objektif. Namun, peran ini memudar ketika akademisi
lebih sibuk menjaga relasi kekuasaan ketimbang menjaga integritas keilmuan.
Pernyataan guru besar yang memuji MBG tanpa dasar riset menjadi bukti bagaimana
dunia akademik mudah terkooptasi narasi politik pencitraan.
Hingga kini belum ada kajian komprehensif yang menilai
efektivitas gizi, sistem distribusi, dan keamanan pangan dalam program
tersebut. Kajian ilmiah awal justru menunjukkan masih banyak aspek MBG yang
belum siap secara konseptual maupun teknis. Riset Pusat Kajian Gizi dan
Kesehatan Universitas Indonesia (2024) menegaskan keberhasilan program pangan
anak sekolah sangat bergantung pada rantai pasok dingin (cold chain) dan
standar keamanan makanan. Sementara studi Pusat Kajian Pangan dan Gizi IPB
(2023) menunjukkan 80–90% makanan siap saji di Indonesia tidak memenuhi suhu
penyimpanan ideal, meningkatkan risiko kontaminasi mikroba patogen. LIPI (2024)
pun memperingatkan potensi masalah logistik dan pengawasan gizi jika MBG
dijalankan tanpa sistem distribusi berbasis data dan kapasitas daerah yang
kuat.
Namun, alih-alih mendorong evaluasi berbasis riset, akademisi justru
mengulang narasi politik yang normatif. Perguruan tinggi kehilangan fungsi
kritis dan berubah menjadi corong legitimasi kekuasaan. Inilah konsekuensi dari
sistem kapitalisme sekuler yang menempatkan kekuasaan dan kepentingan ekonomi
di atas kebenaran ilmiah.
Krisis Independensi Kampus: Buah dari Komersialisasi dan
Sekularisasi Pendidikan
Gelombang dukungan akademisi terhadap program pemerintah
bukan sekadar masalah etika, tetapi tanda krisis struktural di dunia pendidikan
tinggi. Tempo (14/08/2025) mencatat sekitar empat ribu perguruan tinggi melalui
Forum Rektor Indonesia dan Majelis Rektor PTN mendeklarasikan dukungan terhadap
program prioritas presiden. Antara News (09/10/2025) juga mengutip akademisi
Universitas Udayana yang menyebut MBG sebagai “proyek peradaban,” sementara
Dekan FISIP Universitas Al Azhar menilainya sebagai bukti keberpihakan presiden
terhadap masa depan bangsa. Pernyataan seperti ini lebih bersifat politis
ketimbang akademis.
Krisis independensi kampus tumbuh dari akar komersialisasi
dan sekularisasi pendidikan. Ilmu tak lagi dipandang sebagai jalan mencari
kebenaran dan kemaslahatan umat, tetapi sebagai alat ekonomi dan legitimasi politik. Kampus
bergantung pada dana industri dan pemerintah, sehingga kehilangan keberanian
untuk bersikap kritis. Menurut QS World University Rankings (2025), mayoritas
perguruan tinggi Indonesia kini bertahan lewat kerja sama industri dan subsidi
pemerintah—ketergantungan ini justru menumpulkan daya kritis akademik.
Sekularisasi pendidikan pun menjauhkan ilmu dari nilai moral
dan spiritual. Akibatnya, intelektual kehilangan visi ideologis, mudah
diarahkan oleh kepentingan pragmatis, dan kampus yang seharusnya menjadi
penyeimbang kekuasaan justru berubah menjadi bagian dari sistem yang
menopangnya. Ilmu pun bergeser dari orientasi kebenaran menjadi alat
pembenaran.
Islam Mengembalikan Marwah Ilmu dan Peran Intelektual
Dalam pandangan Islam, ilmu tidak terpisah dari iman,
sebagaimana politik tidak terpisah dari syariat. Aktivitas ilmiah dan politik
harus berlandaskan hukum Allah. Politik dalam Islam adalah ri‘ayah syu’unil
ummah—mengurus urusan umat berdasarkan syariat, bukan demi citra kekuasaan.
Akademisi memiliki tanggung jawab politik, tapi bukan dalam arti mendukung rezim dan
ikut proyek kekuasaan, melainkan menegakkan kebenaran dan mengoreksi penguasa
ketika menyimpang.
Ketika ilmu dipisahkan dari wahyu sebagaimana dalam sistem
sekuler, kebenaran menjadi relatif dan tunduk pada kepentingan politik.
Akademisi kehilangan peran sebagai penyeru kebenaran (qaulan sadīda) dan
berubah menjadi birokrat ilmu yang menyesuaikan arah kekuasaan. Rasulullah ﷺ
bersabda: “Sebaik-baik jihad adalah perkataan yang benar di hadapan penguasa
yang zalim.” (Hadis Riwayat Ahmad)
Para ulama seperti Imam Abu Hanifah, Imam Malik, dan Imam
Ahmad bin Hanbal menjadi teladan keberanian menjaga kemurnian ilmu. Mereka rela
disiksa bahkan dipenjara demi mempertahankan kebenaran, karena bagi mereka ilmu
bukan untuk menjilat kekuasaan, melainkan untuk menegakkannya.
Kampus hari ini telah kehilangan ruh tersebut. Banyak
akademisi lebih sibuk menjaga harmoni politik daripada menjaga integritas
ilmiah. Ini bukan sekadar krisis etika, melainkan krisis paradigma. Selama
sistem sekuler kapitalisme menjadi dasar kehidupan, ilmu akan terus tunduk pada
kepentingan penguasa dan modal. Sistem ini juga memisahkan ilmu dari iman,
sehingga lahirlah intelektual yang kering ruhnya, mudah dibeli, dan kehilangan
keberpihakan kepada umat. Sesungguhnya, kemuliaan ilmu hanya lahir dari keimanan.
Allah ﷻ berfirman: “Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di
antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu beberapa derajat.” (Surah
Al-Mujādilah Ayat
11)
Dalam sistem Islam (Khilafah), kebebasan berpikir dijamin
dalam koridor wahyu. Pendidikan dibiayai penuh oleh baitulmal, sehingga tidak tunduk pada
sponsor atau tekanan politik. Akademisi diberi ruang untuk berijtihad dan
menasihati penguasa tanpa takut kehilangan jabatan atau pendanaan. Inilah
hakikat independensi akademik sejati—terikat pada kebenaran, bukan pada kekuasaan.
Krisis independensi kampus hari ini mencerminkan kerusakan
sistem sekuler yang menempatkan kekuasaan di atas kebenaran. Selama ilmu
dikendalikan oleh logika kapitalisme, suara kritis akan terus dibungkam dan
kampus kehilangan jiwanya sebagai pelita peradaban. Hanya dengan menegakkan
sistem Islam secara kafah, marwah ilmu dan peran intelektual dapat dipulihkan.
Dalam naungan sistem Islam, ilmu kembali menjadi cahaya yang menuntun umat pada
kebenaran, menegakkan keadilan, dan menjadikan kampus mercusuar peradaban—bukan bayangan kekuasaan. Wallahualam bissawab.[]

0 Komentar